Pelonggaran PSBB Korbankan Keluarga di Kota Bogor
Jabodetabek seharusnya bekerja sama erat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pergerakan orang antarkawasan Jabodetabek amat tinggi karena urusan pekerjaan dan lainnya. Tanpa kolaborasi, wabah tak akan mati.
Jauh hari sebelum Kota Bogor, Jawa Barat, masuk zona merah atau tingkat risiko penularan tinggi, Pemerintah Kota Bogor sudah mewanti-wanti jika kesadaran, kepatuhan, dan kedisiplinan rendah terhadap protokol kesehatan, akan terjadi lonjakan kasus.
Antisipasi menghadapi lonjakan pun disiapkan Pemerintah Kota Bogor, seperti memasifkan tes usap massal secara acak hingga pembukaan data ke publik agar warga mengetahui dan mewawas diri terhadap situasi perkembangan Covid-19. Namun, sejumlah upaya untuk menangani pandemi Covid-19 belum mampu menekan penularan.
Enam bulam pandemi Covid-19 menerpa Kota Bogor, Jawa Barat, hingga saat ini Pemerintah Kota Bogor terus berupaya menekan penularan. Berbagai kebijakan yang dibuat selalu beririsan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kebijakan tersebut berdampak besar menekan penularan atau jumlah angka kasus positif tidak hanya di Jakarta, tetapi juga kawasan satelit Ibu Kota lainnya, seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Akibat penerapan PSBB yang ketat, ekonomi bergerak mundur dan memukul semua sektor usaha, termasuk masyarakat kecil. Tidak ingin kondisi ekonomi semakin lemah, pemerintah daerah pun membuat kebijakan pelonggaran PSBB. Semua sektor kembali beroperasi dan roda perekonomian mulai tumbuh lagi. Masyarakat bereuforia dengan pelonggaran tersebut setelah cukup lama menjalani aktivitas di rumah. Jalan kembali macet karena warga mulai beraktivitas mulai dari pagi hingga malam.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, setelah PSBB ketat di Jabodetabek, bergeser pelonggoran PSBB tanpa sikap disiplin dan kepatuhan protokol kesehatan. Ledakan kasus positif pun terjadi sehingga menyebabkan Kota Bogor masuk ke zona merah pada 29 Agustus.
”Kata kuncinya disiplin. Kedisiplinan protokol kesehatan di lingkungan masyarakat tidak mungkin terkendali jika pemerintah daerah di Jabodetabek tidak berkolaborasi. Tren PSBB secara ketat di Jabodetabek membuat warga ikut terbit dan angka penyebaran bisa ditekan, tapi ketika PSBB dilonggarkan, ada relaksasi, dan pengawasan terkait kepatuhan protokol kesehatan longgar, kasus perlahan naik,” kata Bima, Rabu (9/9/2020).
Kedisiplinan protokol kesehatan di lingkungan masyarakat tidak mungkin terkendali jika pemerintah daerah di Jabodetabek tidak berkolaborasi. (Bima Arya)
Terintegrasi langsung dengan Jakarta sebagai pusat episentrum Covid-19 disadari betul oleh Bima dan kepala daerah di Bodebek. Langkah sinergi dan kolaborasi menjadi penting dalam menangani pandemi Covid-19 yang terus meningkat jumlah kasus positifnya. Banyaknya warga Kota Bogor yang bekerja di Jakarta memberikan efek domino ketika mereka kembali pulang, kembali ke kota asal dengan membawa virus korona baru penyebab wabah bersama mereka.
Baca juga: Jam Malam Kembalikan Kota Bogor ke Zona Oranye
Upaya kolaborasi pun dibuat oleh Pemkot Bogor dan Pemprov DKI Jakarta, seperti memberikan layanan bus gratis agar tidak terjadi antrean dan kepadatan di stasiun yang sangat berisiko tinggi terjadi penularan. Namun, upaya itu saja tidak cukup menekan angka kasus positif di Kota Bogor. Apalagi kedisiplinan dan pengawasan protokol keseharan setelah pelonggaran PSBB semakin rendah.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, 70 persen kasus positif di Kota Bogor karena kasus imported case atau penularan dari luar. Dari kasus tersebut kemudian merambat ke lingkungan rumah yang mengakibatkan terjadi kluster keluarga. Saat ini, kluster keluarga masih menjadi kasus tertinggi di Kota Bogor, yaitu mencapai 58 persen.
Bima melanjutkan, berdasarkan data, 60 persen pasien positif merupakan kategori usia produktif dari 20 tahun hingga 60 tahun yang memiliki aktivitas di luar rumah. Sementara 80 persen warga lansia dan 15 persen anak-anak yang terkonfirmasi positif juga mempunyai riwayat aktif di luar rumah.
Sedangkan jika melihat tren kenaikan positif di Kota Bogor yang berujung pada status zona merah, pada Maret-April ada 107 persen kasus positif. Persentase kasus cukup tinggi karena pada bulan pertama belum ada PSBB. Setelah ada kebijakan PSBB pada April-Mei, kasus positif turun 50 persen.
Namun, setelah ada pelonggaran dengan kebijakan relaksasi dari Mei-Juni, kasus positif naik 154 persen. Tren kenaikan drastis pada Agustus adalah 215 persen. Hingga Rabu (9/9/2020), tercatat total terkonfirmasi positif 798 kasus, 284 kasus masih sakit atau dalam perawatan, 479 orang sembuh, dan 35 orang meninggal.
Bima menilai, PSBB proporsional atau transisi tidak cukup kuat untuk membendung penyebaran virus korona baru dan penambahan jumlah kasus di Jabodetabek. Oleh karena itu, sejak ditetapkan zona merah, Pemkot Bogor menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala mikro dan komunitas (PSBMK). Dalam kebijakan tersebut berlaku pembatasan aktivitas warga dan pembatasan jam operasional unit usaha.
Langkah yang terbukti mampu mengubah status Kota Bogor dari zona merah menjadi zona oranye pada 7 September silam. Meski begitu, warga Kota Bogor tetap diingatkan untuk tetap waspada dan patuh pada protokol kesehatan karena risiko penularan belum berhenti.
Baca juga: Melebur dengan Korona: Refleksi Setengah Tahun Pandemi di Ibu Kota
Tidak hanya penanganan secara kesehatan, Pemkot Bogor selama masa pandemi ini juga memperhatikan roda ekonomi kerakyatan, terutama para pelaku ekonomi kecil, seperti PKL dan UMKM. Bima mengatakan, hingga saat ini mereka sudah mengalokasikan biaya tak terduga (BTT) Rp 312 miliar. Sebesar 60 persen sudah dialokasikan untuk kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi.
Bima mengakui, pandemi Covid-19 sangat berdampak pada perekonomian di wilayahnya. Selama ini perekonomian Kota Bogor bertumpu pada pendapatan asli daerah (PAD) di dua sektor utama, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, serta sektor usaha kuliner. Kegiatan warga mulai dibuka, ternyata tidak cukup menghidupkan kembali roda perekonomian daerah.
Tri melanjutkan, penanganan pandemi Covid-19 Kota Bogor dinilai cukup baik karena Pemkot Bogor langsung merespons dengan kebijakan PSBMK dengan pembatasan aktivitas warga dan pembatasan jam operasi unit usaha. Tidak hanya sekadar mengeluarkan kebijakan, perangkat Satuan Tugas Covid-19, satpol PP, hingga Wali Kota Bima Arya dan Wakil Wali Kota Dedie A Rachim mau langsung terjun ke lapangan.
Sebagai pimpinan daerah, Bima dan Dedie turun ke lapangan tidak hanya saat PSBMK, tetapi saat masih dalam masa PSBB dan PSBB proporsional. Keterilibatan langsung kepala daerah ini bisa menjadi cermin atau contoh yang dapat dilihat masyarakat bahwa sosialisasi tidak sekadar melalui aturan dan kebijakan, tidak sekadar omongan atau imbauan, tetapi juga menyosialisasikan langsung ke tengah masyarakat. Pembuat kebijakan atau aturan harus mengerti kondisi di lapangan dan permasalahan di masyarakat. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat bisa aplikatif dan dijalankan.
”PSBMK cukup berhasil. Kota Bogor sebelumnya masuk zona merah, sekarang zona oranye. Jika pengawasan terus ditingkatkan, ketegasan dan pengambilan kebijakan yang aplikatif, tak lama lagi Kota Bogor masuk zona kuning,” kata Tri.
Kota Depok
Tidak seperti Kota Bogor, penanganan pandemi Covid-19 serta keputusan mengambil kebijakan di Kota Depok dinilai lambat dan kurang tegas. Wali Kota Depok dinilai tidak aplikatif dalam menjalankan aturan pengawasan dan kontrol pembatasan aktivitas warga serta pembatasan jam operasional unit usaha.
”Tak heran dari awal Kota Depok angka kasus terus naik. Penurunan jumlah kasus akan lama. Kita lihat dalam seminggu ke depan apakah pembatasan di Depok akan efektif,” kata Tri.
Tri menegaskan, sama seperti Kota Bogor, tingginya kasus di Kota Depok berasal dari imported case sebesar 70 persen. Oleh karena itu, Jabodetabek harus duduk bersama berpikir bahwa Jabodetabek merupakan satu kesatuan sehingga sangat perlu kepala daerah bersinergi dan berkolaborasi.
Tri mengimbau para kepala daerah perlu membuat kebijakan cepat dalam pandemi Covid-19 yang korbannya terus meningkat beberapa hari belakangan. Salah satu kebijakan yang harus segera diambil adalah pembatasan jam kantor dan jumlah karyawan harus 30-40 persen.
”Masifkan tes kesehatan. Pemerintah harus menyediakan fasilitas ruang isolasi mandiri. Sebab, jika membiarkan suspek atau warga yang terkonfirmasi positif mengisolasi di rumah tanpa pengawasan sangat berisiko tinggi menularkan ke keluarga lain. Sekali lagi, jangan main-main dengan PSBB. Lakukan PSBB yang benar menyentuh tingkat RW/kelurahan,” kata Tri.