Tangerang Raya Meredam Covid-19 Bersenjatakan PSBB Semu
Pemerintah daerah di Tangerang Raya kurang menaruh perhatian terhadap pembatasan sosial untuk meredam persebaran Covid-19. Kendati wilayahnya berbatasan langsung dengan episentrum Covid-19 DKI Jakarta.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·6 menit baca
Tangerang Raya sebagai wilayah satelit episentrum Covid-19 belum mengoptimalkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB untuk meredam penyebaran virus korona. PSBB yang digunakan sebagai instrumen melawan wabah justru PSBB semu, bukan PSBB ketat yang mampu membuat warga patuh terhadap protokol kesehatan.
Kasus positif Covid-19 pertama di Tangerang Raya diumumkan pada 16 Maret 2020 oleh Gubernur Banten Wahidin Halim. Saat itu, Wahidin menyampaikan ada 5 warga Banten yang terjangkit Covid-19. Satu orang di antaranya meninggal merupakan warga Pondok Aren, Tangerang Selatan (Tangsel).
Pada masa-masa awal Covid-19 merebak, Kota Tangsel dan Kota Tangerang menjadi dua wilayah dengan kasus positif terbanyak di Tangerang Raya. Kondisi itu disebabkan letak kedua wilayah itu yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, episentrum Covid-19. Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany menyebut lebih dari 50 persen warganya bekerja dan beraktivitas di DKI Jakarta.
Sebagai wilayah satelit atau penyangga Ibu Kota, Tangerang Raya berupaya meredam ”limpahan” virus korona baru (SARS-CoV-2 ) penyebab Covid-19 dari DKI Jakarta dengan menerapkan instrumen PSBB. Wilayah Tangerang Raya secara resmi menerapkan PSBB pada 18 April 2020 atau sepekan setelah DKI Jakarta menerapkan PSBB untuk kali pertama.
Segala bentuk kegiatan dibatasi selama PSBB. Acara yang mengundang massa, sekolah, kegiatan di kantor, tempat ibadah, dan pusat-pusat perbelanjaan ditutup. PSBB diharapkan dapat meminimalisasi pertemuan orang banyak yang bisa menyebabkan kontak fisik dan penularan Covid-19.
Minimya jumlah tes membuat jumlah penambahan kasus di suatu daerah seolah-olah kecil. Bila sudah begitu, penanganan Covid-19 yang diklaim berhasil boleh jadi semu dan tidak pantas dibanggakan.
Penerapan PSBB di Tangsel pada masa awal Covid-19 merebak tergolong ketat. Pemerintah cukup konsisten menegakkan aturan PSBB. Satuan Polisi Pamong Praja Tangsel menutup hingga 200 tempat usaha yang tetap beroperasi kendati dilarang.
Hasilnya, hingga PSBB tahap ketiga, penemuan jumlah kasus positif terus menurun. Pada PSBB tahap pertama ditemukan 70 kasus positif. Jumlah itu turun menjadi 60 kasus pada PSBB tahap kedua dan kembali turun menjadi 31 kasus di PSBB tahap ketiga.
Memasuki PSBB tahap keempat, sejumlah pelonggaran mulai terjadi. Titik pemeriksaan (check point) yang sebelumnya disebar Pemerintah Kota Tangsel di sejumlah titik ditiadakan. PSBB yang awalnya kuat berubah menjadi PSBB semu. Pos-pos pemeriksaan yang dulu didirikan di tepi jalan untuk memeriksa penerapan protokol kesehatan bagi warga ditarik.
Langkah serupa juga dilakukan Kota Tangerang. Titik pemeriksaan di Kota Tangerang per 1 Juni 2020 telah ditiadakan dan diganti dengan pos pantau yang disebar di enam pusat keramaian. Kendati Arief dan Airin sama-sama mengatakan kasus Covid-19 di wilayah mereka disebabkan pergerakan orang luar yang masuk wilayahnya, tindakan yang diambil justru membiarkan arus orang keluar-masuk Tangerang Raya tanpa kontrol sama sekali.
Penegakan hukum lemah
Selain itu, penegakan hukum bagi pelanggar aturan PSBB juga semakin lemah. Meski memiliki peraturan wali kota sebagai landasan hukum menjatuhkan denda kepada pelanggar protokol kesehatan, nyatanya sanksi denda belum berlaku. Pelanggar hanya diberikan sanksi sosial seperti menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”, menyapu jalan, atau menyebutkan sila-sila Pancasila.
Analis Kebijakan Publik dan Politik Universitas Islam Syekh Yusuf, Tangerang, Adib Miftahul, menyoroti tidak ada penegakan aktif di lapangan soal peraturan PSBB. Ia mencontohkan kerumunan warga di pusat perbelanjaan CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, pada Minggu (17/5/2020). Atas kejadian tersebut, Pemkot Tangerang hanya memberikan sanksi penutupan sementara.
”Tidak ada penegakan aktif oleh petugas di lapangan kepada pelanggar PSBB. Semakin diperpanjang, PSBB semakin longgar,” kata Adib.
Sementara itu, warga yang mulai jenuh berada di dalam rumah kemudian mendatangi sejumlah taman dan tempat wisata di Kota Tangsel. Sejak siang hingga sore hari, banyak warga berkumpul tanpa menerapkan protokol kesehatan. Satpol PP Tangsel sebagai penegak peraturan wali kota hanya bisa membubarkan. Esok harinya, warga kembali berkerumun.
Akibat adanya pelonggaran, jumlah temuan kasus di setiap fase PSBB berikutnya menjadi terus naik. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Tangsel, jumlah temuan kasus di PSBB tahap keempat atau setelah adanya pelonggaran kembali naik menjadi 56 kasus. Jumlah kasus turun menjadi 36 kasus di PSBB tahap kelima dan kembali naik menjadi 61 kasus pada PSBB tahap keenam dan 109 kasus di PSBB tahap ketujuh.
Tren kenaikan kasus terus terjadi. Setiap harinya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Tangerang Raya melaporkan temuan kasus baru. Total jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Tangerang Raya per 9 September 2020 sebanyak 2.693 kasus. Rinciannya Kota Tangerang mencatatkan total 954 kasus terkonfirmasi, Kabupaten Tangerang 886 kasus, dan Tangsel 853 kasus.
Kemampuan tes
PSBB semu nyatanya juga tidak diimbangi dengan upaya memperbanyak tes usap untuk mendeteksi Covid-19. Pemerintah daerah di Tangerang Raya belum dapat mencapai standar tes Covid-19 sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ada ketidaksesuaian satuan yang digunakan Pemerintah Kota Tangsel dengan rekomendasi WHO. WHO merekomendasikan jumlah orang yang dites, bukan spesimen. Sebab, satu orang bisa saja menjalani tes lebih dari sekali sehingga bisa menghasilkan lebih dari satu spesimen.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, tes Covid-19 dengan metode reaksi rantai polimerasi atau PCR setidaknya mencapai 1 per 1.000 orang per minggu. Kurang dari standar tersebut menyebabkan upaya pelacakan kontak semakin sulit dilakukan. Akibatnya, penyebaran virus belum dapat dikendalikan dan makin meluas.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Tangsel Deden Deni mengungkapkan, hingga 4 September 2020, total jumlah tes PCR di Tangsel sebanyak 19.285 spesimen. Deden mengklaim jumlah tes tersebut sudah memenuhi standar WHO.
”Jumlah itu total tes usap yang dilakukan puskesmas, rumah sakit, dan secara massal oleh pemerintah provinsi atau lembaga lain,” kata Deden, Selasa (8/9/2020).
Akan tetapi, ada ketidaksesuaian satuan yang digunakan Pemkot Tangsel dengan rekomendasi WHO, yaitu spesimen dan orang. WHO merekomendasikan jumlah orang yang dites, bukan spesimen. Sebab, satu orang bisa saja menjalani tes lebih dari sekali sehingga bisa menghasilkan lebih dari satu spesimen.
Situasi tidak jauh berbeda juga dialami Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang. Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Tangerang, Hendra Tarmizi, mengungkapkan, jumlah tes usap yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tangerang baru mencapai 18.000 orang. Sementara, kata Hendra, jika mengikuti rekomendasi WHO, tes usap di Kabupaten Tangerang paling tidak harus mencapai minimal sekitar 40.000 orang.
Adapun Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah menyampaikan, hingga saat ini jumlah tes usap dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR) di Kota Tangerang telah memeriksa sekitar 24.000 spesimen. Dalam sepekan, jumlah spesimen yang bisa diperiksa di Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Tangerang mencapai hingga 2.500 spesimen.
Arief menilai, jumlah itu masih kurang banyak. Maka dari itu, ia mendorong semua rumah sakit (RS) swasta di Kota Tangerang bisa memiliki mesin pemeriksaan PCR sendiri. Apabila terwujud, Arief berencana menjadikan pemeriksaan tes usap di Labkesda hanya untuk keperluan pelacakan kontak (tracing).
Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, mengatakan, kapasitas tes yang minim akan menyebabkan upaya pencegahan menjadi terlambat. Bila diagnosis cepat, upaya pencegahan akan bisa dilakukan dengan cepat. Proses isolasi terhadap pasien pun bisa segera dilakukan tanpa perlu menunggu hasil tes yang terlalu lama.
Ia menambahkan, tes usap (swab) secara masif juga berguna agar peta persebaran Covid-19 di suatu daerah bisa terbaca. Apabila tes yang dilakukan masih minim, orang yang membawa virus tidak akan dapat dipastikan.
Minimya jumlah tes akan membuat jumlah penambahan kasus di suatu daerah seolah-olah kecil. Padahal, di tengah masyarakat, virus sudah berada di mana-mana. Bila sudah begitu, penanganan Covid-19 yang diklaim berhasil boleh jadi semu dan tidak pantas dibanggakan. Karena bagaimanapun, kebohongan yang paling menyedihkan adalah menipu diri sendiri.