Menyaksikan obyek wisata melalui rangkaian video atau gambar sempat menjadi tren baru berwisata di masa pandemi. Meski demikian, minat masyarakat pada wisata virtual di masa mendatang pun masih dipertanyakan.
Oleh
Agustina Purwanti (Litbang Kompas).
·3 menit baca
Catatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyebutkan, sejak 13 Maret 2020, sebanyak 21 kabupaten/kota di Jawa Barat menutup obyek wisatanya. Sehari berselang, kebijakan tersebut diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta dan semua provinsi di Indonesia.
Penutupan obyek wisata tersebut direncanakan hanya berlaku hingga akhir Maret. Namun, seiring meningkatnya laju penyebaran Covid-19 di Indonesia, kebijakan tersebut diperpanjang mengikuti perkembangan laju Covid-19. Saat itulah, kegiatan berwisata masyarakat menjadi semakin terbatas.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah melalui Kemenparekraf bersama sejumlah pihak swasta mengadakan wisata virtual. Wisata virtual merupakan simulasi lokasi wisata yang biasanya terdiri dari rangkaian video atau gambar yang dapat dinikmati secara daring. Sejumlah obyek wisata yang bisa dinikmati secara virtual di antaranya kebun binatang, candi, kota wisata, museum, dan tempat bersejarah lainnya.
Untuk dapat menikmatinya, peserta dapat menggunakan aplikasi video conference, seperti Zoom atau Google Meet yang bisa diakses melalui perangkat komputer atau telepon pintar. Sejumlah situs virtual daring yakni indonesiavirtualtour.com dan museumnasional.or.id yang dikelola Kemendikbud. Beberapa situs tersebut menggunakan fitur gambar dan video 360 derajat yang dapat diputar secara horizontal ataupun vertikal 180 hingga 360 derajat.
Minat rendah
Fenomena berwisata daring tersebut bisa menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk tetap dapat berwisata meski harus di rumah. Namun, belum banyak masyarakat yang mengenal wisata virtual sehingga belum mencobanya.
Fakta tersebut tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas pada awal Agustus lalu. Baru 13,8 persen responden yang pernah menjajal wisata virtual. Beragam faktor pun menjadi alasan responden tidak pernah mengikuti wisata virtual.
Hampir separuh dari responden mengatakan mereka tidak tahu bahwa ada wisata virtual di Indonesia dan tidak tahu cara mengaksesnya. Boleh jadi, kurangnya sosialisasi menjadi penyebab. Padahal, sebenarnya wisata virtual bukanlah hal yang baru, baik secara nasional maupun internasional.
Wisata virtual pertama kali diadakan pada 3 November 1994 dengan menyajikan rekonstruksi kastil bersejarah, Kastil Dudley, di Inggris dengan tujuan konservasi cagar budaya. Adapun di Indonesia, penyedia jasa wisata virtual baru memulainya tahun 2014.
Sementara itu, empat dari sepuluh responden lain mengaku tidak tertarik dengan wisata virtual.
Ketidaktertarikan tersebut karena yang diminati dari sebuah wisata adalah pengalaman bersentuhan langsung dengan lokasi, obyek, dan daya tarik wisata. Bukan sekadar melihat obyek wisata dari layar HP ataupun laptop.
Dipertanyakan
Selain sebagai pelepas kejenuhan di masa pandemi, wisata virtual juga dikembangkan untuk menjaga ingatan masyarakat akan kekayaan wisata di Indonesia dan mempertahankan pariwisata sebagai gaya hidup. Wisata virtual juga bisa menjadi sarana untuk memperkenalkan pariwisata Indonesia kepada wisatawan mancanegara.
Meski demikian, minat masyarakat pada wisata virtual di masa mendatang masih dipertanyakan. Sebanyak 43,1 persen responden mengaku tidak yakin akan kelanggengan wisata virtual pascapandemi. Ekspektasi akan pulihnya aktivitas masyarakat pascapandemi barangkali menjadi alasannya.
Di sisi lain, masyarakat masih mencari pengalaman dari sebuah perjalanan wisata, bukan hanya sekadar mendapat informasi sebuah obyek wisata. Kurangnya dampak berganda atau multiplier effect secara ekonomi dari wisata virtual bisa jadi juga menjadi latar belakangnya.
Sementara itu, 42,7 persen responden lain yakin bahwa wisata virtual akan tetap digemari meski pandemi Covid-19 sudah berakhir. Menariknya, generasi nonmilenial (lebih dari 44 tahun) justru memiliki keyakinan yang lebih tinggi (50,6 persen) dibandingkan dengan generasi milenial (39,3 persen).
Rentannya penduduk usia tua dan warga lansia terpapar Covid-19 membuat kelompok usia tersebut harus lebih menjaga diri dan disarankan untuk membatasi aktivitas di luar rumah. Wajar jika generasi Baby Boomer tersebut memandang wisata virtual sebagai harapan untuk melepas kejenuhan.
Dikutip dari pemberitaan Forbes, warga lansia di Amerika Serikat mulai beradaptasi dalam penggunaan teknologi demi menikmati realitas virtual atau virtual reality (VR). Virtual reality tersebut digunakan untuk mengurangi kesepian dan meningkatkan kesehatan mental warga lansia di AS. Salah satu pemanfaatan VR adalah untuk berwisata secara virtual.
Peluang pengembangan lainnya, setelah melakukan pembukaan kembali, sejumlah daerah kembali menutup wisatanya karena terjadi lonjakan kasus Covid-19. Sebagai contoh, Kabupaten Majalengka secara resmi menutup kembali 186 tempat wisata pada 4 Agustus 2020 (Kompas, 6 Agustus 2020).
Terlepas dari masih banyaknya kekurangan, wisata virtual masih berpotensi dikembangkan. Tak sekadar untuk menjaga kewarasan di tengah ketidakpastian pandemi. Wisata virtual juga bisa dimanfaatkan sebagai sarana promosi kekayaan wisata Indonesia melalui media daring.