Pengurus Lingkungan Menunggu Aturan Teknis di Lapangan
Pengurus RT dan RW di Jakarta membutuhkan dukungan regulasi yang tegas saat pembatasan sosial berskala besar kembali berlaku. Sebab, sulit bagi mereka membatasi pergerakan warga apabila tanpa dukungan itu.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus di lingkungan warga menunggu aturan teknis di lapangan mengenai pembatasan sosial berskala besar atau PSBB yang berlaku lagi pada Senin (14/9/2020) di Jakarta. Aturan itu akan menjadi pijakan mereka untuk membantu mengendalikan pergerakan warga. Selama ini, langkah itu sulit dilakukan karena aktivitas kembali menggeliat saat pelonggaran pembatasan.
Hanafi, Ketua RW 001 Cikini, Menteng, juga belum memutuskan soal penutupan lingkungan warga seperti saat PSBB pada April lalu. Sebelumnya, RW 001 Cikini termasuk salah satu lingkungan yang paling dini menutup wilayah secara mandiri saat kemunculan perdana kasus Covid-19.
Hanafi mempertimbangkan biaya operasional yang besar untuk menutup lingkungan RW. Setiap gerbang harus dijaga petugas, artinya butuh bayaran dan biaya konsumsi untuk petugas tersebut. ”Kami mungkin enggak menutup wilayah seketat PSBB yang lalu. Pertimbangannya juga karena warga di sini sehat-sehat, belum terpapar Covid-19,” ungkapnya.
Hanafi juga menekankan, dirinya tidak mungkin menahan sekitar 2.600 penduduk di RW 001 untuk bepergian. Kalau mereka harus mencari penghidupan, pasti tidak mungkin dilarang.
Situasi serupa cenderung terjadi di RW 013 Kelurahan Pademangan Barat, Pademangan, Jakarta Utara. Mugiyono, Ketua RT 015 RW 013, menuturkan, pemahaman warga saat ini adalah bebas bepergian asal tetap pakai masker. ”Kami masih menunggu perintah lurah, instruksinya tergantung dari pemerintah setempat,” ucapnya.
Ketua Forum RT/RW DKI Jakarta M Irsyad meminta agar penegakan aturan PSBB benar-benar dilakukan. Dengan cara itu, kerumunan warga dapat terurai. Tantangan terberat saat ini adalah belum adanya pemahaman yang cukup di kalangan warga soal kondisi layanan rumah sakit yang terbatas. Sementara warga juga terimpit kondisi keuangan sehingga harus tetap bekerja.
Sebagai gambaran, per 9 September, Jakarta memiliki 4.053 tempat tidur isolasi di 67 rumah sakit rujukan Covid-19. Dengan kemampuan tes dan pelacakan kasus, keterisian tempat tidur isolasi sudah 77 persen. Diproyeksikan, pada 10 hari ke depan atau 17 September 2020, tempat tidur isolasi akan penuh atau pasien tidak akan tertampung jika tidak ditambah jumlah tempat tidurnya.
”Ada pehamaman warga yang belum ’ketemu’ dengan situasi krisis di rumah sakit saat ini. Pengurus warga mencoba aktif memberi penjelasan soal ini sebelum berlakunya PSBB ketat,” ujar Irsyad.
Selagi terus mengimbau, Irsyad berharap agar pemerintah membatasi pergerakan warga lewat regulasi yang tegas. Sebab, sejumlah regulasi, termasuk sanksi progresif, tampaknya belum juga membuat jera warga yang melanggar protokol kesehatan.
Menurut Kosasih, Ketua RW 009 Kelurahan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, tantangan terbesar di lingkungannya adalah pembatasan mobilitas warga. Ada sekitar 3.500 penduduk yang mayoritas pedagang. Setiap hari, mereka bergerak di sekitar kawasan Pasar Tasik dan gedung di Pasar Tanah Abang.
”Saat ini ada sekitar 1.700 keluarga di RW sini. Mungkin sekitar 1.000 orang kepala dari setiap keluarga itu berdagang di kawasan Tanah Abang. Kalau saat PSBB mereka ngotot berdagang, jujur, saya enggak bisa larang,” tutur Kosasih saat dihubungi, Jumat (11/9/2020).
Lingkungan RW 009 Kebon Kacang pernah menjadi zona merah penularan Covid-19 pada Mei silam. Saat itu, warga aktif menerapkan pembatasan sehingga sedikit sekali yang bepergian. Walakin, pergerakan warga di sana kembali padat setelah dinyatakan sebagai zona hijau per awal Agustus.
Saat aktivitas kembali longgar, berbagai atribut PSBB di lingkungan mereka pun dibuang. ”Warga sudah beraktivitas layaknya hari-hari biasa, tapi tetap saya tekankan mereka pakai masker,” kata Kosasih.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, seusai rapat koordinasi, Kamis (10/9/2020), menegaskan, pengambilan kebijakan PSBB ketat lebih didasarkan pada situasi penyebaran yang terus meningkat. Memasuki September, kasus aktif Covid-19 di DKI Jakarta bertambah sekitar 1.000 pasien setiap hari. Sementara angka rasio positif mencapai 13,4 persen dalam sepekan terakhir, yang artinya belum aman menurut rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Pemerintah Provinsi DKI telah berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam menyikapi situasi hari ini. Hasil koordinasi itu akan dibawa kembali dalam rapat internal Pemprov DKI Jakarta, juga dengan pemda penyangga Ibu Kota.
”Mudah-mudahan, apa pun yang menjadi keputusan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentu harus kita laksanakan. Kita kerjakan bersama agar bisa tetap menjaga kesehatan, keselamatan, dan juga masalah lain, termasuk masalah ekonomi, sosial juga bisa terjaga. Perlu ada keseimbangan antara masalah kesehatan, masalah ekonomi, masalah sosial, dan lainnya,” tutur Riza.