Kepergian sosok Jakob Oetama meninggalkan kesan bagi berbagai kalangan. Tak hanya tokoh besar, rakyat jelata pun mengingat pernah banyak terbantu atas kebaikan beliau.
Oleh
ADITYA DIVERANTA/SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berpulangnya Jakob Oetama meninggalkan kesan bagi banyak orang, tak terkecuali kalangan wong cilik di lingkungan sekitar kantor harian Kompas. Masih membekas di benak mereka, berbagai kebaikan dari sosok Jakob semasa hidup.
Mata Sarju (60) berkaca-kaca saat prosesi misa pelepasan jenazah di lingkungan Gedung Kompas Gramedia, Jakarta Pusat. Kamis (10/9/2020) pagi itu, dia mengantar sanak keluarga dari tempat persemayaman menuju pusara mendiang Jakob Oetama.
Sarju terharu karena di pengujung hidup seorang tokoh bangsa, dirinya dipercaya sebagai sopir yang mengantarkan keluarga. Baginya, kepercayaan itu adalah penghormatan besar seumur hidup selama mengabdi untuk keluarga Jakob Oetama.
”Saya merasa terhormat. Sejak 1980 saya bekerja untuk keluarga Pak Jakob. Saya bersyukur karena bisa menjadi sopirnya, lalu kini turut mengantar ’kepergian’ beliau,” ungkapnya di sela-sela misa.
Pada saat hampir bersamaan, ada Yosep Kurniawan (44) yang juga merasa terhormat karena mengawal misa pelepasan jenazah di Gedung Kompas Gramedia. Baginya, kepergian mendiang Jakob Oetama meninggalkan rasa pedih yang begitu dalam. ”Pak Jakob selalu menyapa kami, selalu menanyakan, ’Bagaimana kabarnya, Bung?’ Sebagai bawahan, saya merasa tenteram, seperti sosok bapak yang mengelus dan mengayomi anaknya,” ucap Yosep.
Pengalaman Sarju dan Yosep mungkin mewakili rasa hormat saat melepas kepergian Jakob Oetama. Kepergiannya tak hanya menyisakan duka bagi orang-orang besar, tetapi juga kepada kalangan wong cilik yang hidup di lingkungan Kompas sehari-hari.
Menurut Yosep, sosok Jakob selalu membawa kebahagiaan dan kebersamaan. Rasa itulah yang membuat Yosep bertahan hingga 25 tahun bekerja di Kompas. Begitu pula Sarju, yang kini genap 40 tahun menjadi sopir keluarga Jakob.
Sarju merasa, ada perhatian yang Jakob selalu lontarkan untuknya, misalnya menanyakan kabar keluarga di rumah. Dia juga selalu mengingat pesan Jakob untuk menyekolahkan anak setinggi-tingginya. ”Saya ingat, Pak Jakob kerap menanyakan pendidikan anak saya. Dia bilang, utamakan pendidikan anak sampai setinggi mungkin. Alhamdulillah, selama bekerja di Kompas, saya bisa membiayai pendidikan tiga anak saya sampai sarjana,” tuturnya.
Banyak orang di luar Kompas memandang Jakob berjasa besar. Ahmad Sukri (52), warga yang berpuluh tahun tinggal di lingkungan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, merasakan jasa itu dalam bentuk pertolongan saat warga sedang susah.
Pada tahun 1998 hingga 2000-an, ada bantuan berupa bahan kebutuhan pokok serta bantuan tunai yang kerap dibagikan untuk warga sekitar. Sejumlah kegiatan dengan warga pada masa kepemimpinan Jakob Oetama juga terjalin beberapa kali. Dalam suatu kesempatan, dia dan sejumlah warga lain bahkan sowan ke Jakob Oetama di Bentara Budaya.
Pernah pula pada sebuah kejadian banjir besar tahun 1998, Ahmad dimintai bantuan dari Kompas untuk mendukung dapur umum korban terdampak. Hal tersebut dia lakukan karena mengingat sosok Jakob Oetama yang berjasa besar bagi warga sekitar.
”Saya berpikir, sosok Jakob Oetama dengan Kompas saja mau untuk bantu korban musibah. Ketika diminta, saat itu saya jadi merasa tergerak. Intinya, saling bantu agar warga tidak kesusahan,” tuturnya.
Begitu pula Anen (55), loper koran di Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat. Anen yang mengalami gangguan penglihatan sejak usia tiga tahun berterima kasih karena punya penghidupan dari berjualan harian Kompas sejak 1983. Meski kondisi keuangannya kini cukup sulit, dia bersyukur karena bisa menghidupi keluarga.
”Di masa lalu, saya bisa membiayai anak hingga kuliah dan membangun rumah dari berjualan koran. Meski tidak begitu mengenali sang pendiri Kompas, saya sangat berterima kasih karena koran selalu ada,” ujar Anen saat dihubungi, Kamis sore.
Mantan wartawan Kompas, Shindunata, menuturkan, Jakob Oetama adalah orang yang berjiwa sederhana. Kesederhanaan itu membuat Jakob mudah berempati terhadap mereka yang papa dan miskin.
Tak heran apabila gaya jurnalismenya juga bersemboyan, ”Menghibur yang papa dan menegur yang kaya”. ”Kata Pak Jakob, Kompas jangan hanya berisi tentang berita orang-orang besar dan ternama. Orang-orang miskin dan terpinggirkan harus juga menjadi isi pemberitaannya,” ucapnya (Kompas, 10/9/2020).
Pada Pak Jakob, kekayaan bukanlah tujuan. Sementara kesederhanaan adalah harta, yang selalu memberinya inspirasi, semangat, dan kreasi. Memang kekayaan yang sekarang dimilikinya bukanlah target hidup, melainkan buah yang mengalir dari kesederhanaannya.
Atas semua itu, keramahan dan kerendahhatian Jakob Oetama adalah hal yang paling dirindukan banyak orang. Mereka merasa terhormat bisa mengenal sosok Jakob Oetama.