Prestise Tato dan Hinanya Kasus “Tali Air” bagi Narapidana
Tato menjadi penanda dan status sosial bagi narapidana. Namun, napi dengan kasus yang terkait masalah seksual mendapat penyiksaan secara fisik di dalam penjara.
Oleh
Windoro Adi
·4 menit baca
Di kalangan para penghuni penjara, ada tradisi menato atau merajah tubuh dan menganiaya pelaku yang terlibat kasus ”Tali Air”. Buat mereka, tato tubuh seorang narapidana (napi) menunjukkan prestise bagi kalangan napi lainnya. Sebaliknya, penjahat yang terlibat kasus ”Tali Air” dianggap hina dan rendah sebagai pria oleh kalangan penjahat.
Kasus ”Tali Air” adalah kasus kasus kejahatan terhadap perempuan, antara lain kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, perdagangan manusia, kasus menghamili perempuan di luar nikah, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Bagi kalangan napi, menato tubuh adalah kebanggaan yang membuat seorang napi dihormati, ditakuti, dan mendapat kekuasaan serta fasilitas di lingkungan penjara dari kalangan napi lainnya. Semakin banyak rajah pada tubuh dan semakin tinggi tingkat kesaktiannya di tubuh yang dirajah, semakin besar prestise yang melekat pada dirinya.
Di salah satu penjara di Jakarta, misalnya. Saat masuk penjara pertama kali, dia akan ”dibasis” (dipelonco, dikerjain) menato salah satu kakinya. Tato dibuat di bagian luar betis dengan motif batik, atau motif tribal. Ketika yang bersangkutan tersandung kasus kejahatan lagi dan masuk penjara, dia akan sukarela meminta sesama napi menato betis kakinya yang lain dengan tato bermotif serupa.
Jika yang bersangkutan kembali masuk penjara karena kasus kejahatan lainnya, dia akan menato bagian dadanya, melebar dari bahu satu ke bahu lainnya. Jika dia masuk penjara lagi, dia akan merajah punggungnya. Begitu seterusnya sampai seluruh punggungnya penuh dengan rajah batik atau tribal.
Di penjara lain di Jakarta, napi menato huruf ”Z” di antara jempol dan jari telunjuknya. Napi yang cenderung eksibisionis akan menato huruf ”Z” di atas daun telinga (sejajar tingginya dengan kening) sebelah kanan.
Para napi yang ingin menunjukkan jam terbang tinggi dalam kejahatan di penjara tersebut akan membuat sipat (garis di kantong mata) dengan tato. Mereka yang membuat tato sipat umumnya adalah residivis yang sudah sering keluar masuk penjara dengan kasus-kasus besar. Terbayang, bukan main sakitnya membuat tato sipat.
Menanggapi tradisi ini, psikolog kawakan Lapas Nusa Kambangan, Reni Kusumawardhani, mengatakan, ”Kalau itu benar terjadi, maka tindakan itu adalah bagian dari aktualisasi diri menunjukkan prestise kejahatannya”. Aktualisasi diri untuk memamerkan kepiawaiannya, kekejamannya, dan kebrutalannya. Dengan prestise kejahatannya, yang bersangkutan ditakuti, dihormati, dan mendapat fasilitas lebih dari para narapidana lainnya.
”Tato ini sekaligus langkah antisipasi yang bersangkutan dari kemungkinan dibasis, dipelonco, dikerjain, atau kemungkinan bertarung dengan napi lainnya untuk mendapatkan fasilitas para napi yang lain,” kata Ketua Umum Apsifor (Asosiasi Psikologi Forensik) itu.
”Tali Air”
Berbeda dengan napi yang terlibat kasus ”Tali Air”. Selain bakal dihina, direndahkan, dan dilecehkan sesama napi, yang bersangkutan sering menerima siksaan di sekitar alat kelaminnya. Lalu apakah ini menandai keberpihakan para penjahat terhadap kaum perempuan atau kaum yang dianggap lebih lemah? Mereka yang terlibat kasus ”Tali Air” dianggap pria yang tidak kesatria meski di dunia kejahatan sekaligus ?
”Salah. Pelecehan atau siksaan terhadap seorang napi yang terlibat kasus ’Tali Air’ itu, cuma tindakan rasionalisasi seperti pada teori psikologi tentang mekanisme pertahanan diri,” jawab Reni. Kehadiran napi yang terlibat kasus ”Tali Air” membuat kalangan napi lainnya membenarkan kejahatan mereka karena tidak terlibat kasus ”Tali Air”.
Napi yang merendahkan dan menyiksa napi lain yang terlibat kasus ”Tali Air” itu mendapatkan pendidikan buruk di penjara, yaitu, pembenaran terhadap kejahatan yang mereka lakukan. ”Dengan rasionalisasi seperti itu, pupuslah perasaan bersalah kalangan napi,” ucap Reni. Peluang menjadi residivis berulang kali menjadi makin terbuka.
Penanda bagi para penyidik
Kalangan penyidik Polri yang sudah memiliki ”jam terbang tinggi” dalam memeriksa para penjahat biasanya menandai tato tubuh dan para pelaku kasus ”Tali Air”. Untuk memastikan seorang penjahat itu residivis atau ”pemain baru”, mereka biasanya bertanya kepada tersangka, apakah mereka memiliki tato tubuh. Jika memiliki, mereka merajah di mana? Jika kurang yakin dan untuk memastikan ada tidaknya tato di tubuh yang menjadi bagian dari ”stempel lulusan” penjara tertentu, penyidik akan memeriksa bagian tubuh tersangka.
Hal ini perlu dilakukan karena menyangkut dampak negatif kehadiran residivis terhadap para tersangka lainnya. Dampak negatif tersebut bisa berupa sosialisasi atau pendidikan kejahatan terhadap tersangka lain, bahkan sampai pada mengajak penghuni tahanan merusak ruang tahanan dan kabur. Lewat penanda tato, polisi bisa mengantisipasi sejumlah kemungkinan buruk kehadiran residivis di ruang tahanan.
Penyidik seharusnya juga mewaspadai para tersangka yang terlibat kasus ”Tali Air” sehingga dugaan kasus ”Tali Air” yang menjerat GKR, adik ipar Edo Kondologit, bisa dihindari. GKR disangka mencuri, membunuh, dan memerkosa seorang nenek berusia 70 tahun. GKR diduga tewas di tahanan karena dikeroyok, dianiaya tahanan satu sel.
Masih ada sejumlah tradisi dan penanda dunia gelap para napi yang bisa menjadi catatan polisi. Catatan tersebut seharusnya bisa menjadi modal mengantisipasi celah kejahatan baru di ruang tahanan. Alangkah baiknya jika catatan tersebut disosialisasikan, diwariskan kepada adik-adik penyidik lainnya.
Tak semua bekal ilmu dan keterampilan penyidik diperoleh dari ruang sekolah dan pelatihan mereka. Sebagian di antaranya justru diperoleh dari pengalaman mereka di lapangan.