Pedagang yang masih mengandalkan aktivitas Jakarta di malam hari khawatir akan rencana Pemprov DKI memberlakukan jam malam dalam rangka pengendalian Covid-19. Sebaliknya, warga justru setuju diberlakukannya jam malam.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah daerah telah memberlakukan jam malam untuk menekan angka penularan Covid-19. Di Jakarta, aturan yang baru sebatas wacana tersebut menuai pro dan kontra dari pelaku usaha serta warga.
Sejak 31 Agustus lalu, Pemerintah Kota Depok telah membatasi operasional toko, rumah makan, kafe, minimarket, supermarket, dan mal hingga pukul 18.00. Sementara aktivitas warga dibatasi hingga pukul 20.00. Jam operasional mal, kafe, dan restoran di Kota Bogor juga dibatasi hingga pukul 18.00, sedangkan jam malam bagi warga berlaku mulai pukul 21.00.
Kabar tentang jam malam tersebut ternyata baru didengar oleh Dodi (55), pemilik warung makan Sari Raos 24 jam yang berlokasi di Jalan Kemanggisan Ilir III, Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (8/9/2020) siang. Ia sangat berharap aturan tersebut tidak merembet ke Jakarta.
”Sangat berat kalau diberlakukan di sini (Jakarta). Saya langsung kepikiran dua anak saya yang punya warteg 24 jam juga,” katanya sambil menunjukkan raut wajah cemas.
Ingatan Dodi langsung kembali pada April lalu, tepatnya saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan PSBB. Saat itu, ia harus menutup warungnya selama 2,5 bulan dan memutuskan pulang kampung ke Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Di sana, Dodi bertahan hidup dengan mengandalkan sisa uang tabungannya.
Jika aturan jam malam diberlakukan di Jakarta, bukan tidak mungkin Dodi akan melakukan hal yang sama seperti April lalu. Sebab, selama ini warungnya lebih ramai dikunjungi pembeli pada malam ketimbang siang hari.
”Kalau malam, kan, banyak mahasiswa sama remaja-remaja yang nongkrong. Kalau pagi sama siang cuma beberapa remaja saja yang ke sini pada ngerjain tugas sekolah,” katanya.
Saat ini, omzet harian Dodi masih jauh dari kata normal. Jika sebelum pandemi omzetnya mencapai rata-rata Rp 3 juta per hari, kini ia hanya memperoleh Rp 1 juta sehari.
Padahal, setiap tahun, Dodi harus membayar sewa tempat sebesar Rp 90 juta. Belum lagi, ia harus menggaji dua karyawannya, masing-masing Rp 1,5 juta per bulan.
”Kalau sampai tiga bulan ke depan masih seperti ini, saya sudah berencana gulung tikar, apalagi kalau benar-benar ada jam malam,” ujar pria yang sudah 15 tahun menekuni usahanya ini.
Warung makan milik Dodi berlokasi tepat di sebelah Kampus Bina Nusantara (Binus) Kijang. Warung yang menjual nasi rames, mi instan, dan aneka minuman itu juga berada di tengah-tengah kawasan indekos. Warung ini berukuran sekitar 10 × 5 meter persegi dan memiliki sekitar delapan meja panjang sehingga mampu menampung banyak pembeli.
Tini (44), pemilik warung di Jalan Tondano, Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga berharap tidak ada pemberlakuan jam malam di Jakarta. Sebab, hal itu akan semakin mempersulit kondisi ekonominya.
”Sekarang saja masih sepi kalau malam. Kalau dikasih jam malam, malah tambah sepi,” katanya.
Pada hari normal, warung Tini biasanya ramai disinggahi oleh karyawan perkantoran yang baru pulang bekerja. Biasanya, warungnya ramai mulai dari selepas shalat Maghrib hingga sekitar pukul 23.00.
Namun, kondisi saat ini sangat berbeda. Warung yang buka pada pukul 10.00-00.00 ini hanya didatangi beberapa pembeli pada malam hari. Sebagai gambaran, tahu goreng di warungnya yang biasanya laku 70 buah per hari, kini hanya laku sekitar 30 buah.
”Es batu yang biasanya sehari habis lima termos, sekarang cuma satu termos,” katanya.
Tini yakin para pembeli di tempatnya masih bisa menerapkan protokol kesehatan, terutama menjaga jarak. Selama ini, ia juga menyediakan kardus dan koran bekas sebagai alas duduk para pembelinya supaya mereka tidak berkerumun.
Setuju jam malam
Beberapa warga setuju jika Jakarta diberlakukan aturan jam malam seperti halnya Kota Depok dan Kota Bogor. Sebab, mereka mengaku khawatir dengan lonjakan kasus positif Covid-19 di Jakarta.
Salah satu yang setuju adalah Fahrul (29), warga Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Menurut dia, jam malam akan membuat warga membatasi keluar rumah. ”Kalau kebutuhan pokok, kan, bisa dipenuhi sebelum malam,” katanya.
Selain itu, aturan jam malam juga akan membuat para pekerja langsung pulang ke rumah sepulang dari kantor. Tidak seperti sekarang, para pekerja masih bebas nongkrong di kafe-kafe.
Singgih (27), karyawan swasta asal Jakarta Pusat, juga mengaku setuju dengan pemberlakuan jam malam. Ia rela untuk tidak nongkrong di kedai kopi, seperti yang beberapa kali ia lakukan selama PSBB transisi ini.
”Rela, sih, kalau harus enggak nongkrong dulu. Yang penting kelar dulu, deh, ini Covid-19. Nongkrong selama ini juga kalau diajakin saja, sih, sebenarnya,” katanya.
Singgih mengakui, kebanyakan warga mengabaikan protokol kesehatan saat berada di kafe atau kedai kopi. Terutama terkait penggunaan masker dan menjaga jarak fisik. Sebab, di sana mereka biasanya merasa nyaman berkumpul dengan teman.
Dilansir dari Kompas.com, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mengkaji aturan jam malam di DKI Jakarta. Menurut Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin, jika terbukti efektif kebijakan tersebut bisa diterapkan di Jakarta. Namun, untuk saat ini aturan tersebut belum berlaku.
Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Husein Habsyi menilai, aturan jam malam akan membatasi interaksi warga secara fisik sehingga mengurangi risiko terjadinya penularan Covid-19. Hanya saja, aturan ini mesti diterapkan dengan optimal akan efektif.
”Ketegasan aturan dari pemerintah daerah sangat diperlukan untuk membentuk perilaku masyarakat agar patuh terhadap protokol kesehatan,” katanya saat dihubungi.
Husein menilai tingkat kepatuhan warga DKI Jakarta terhadap protokol kesehatan Covid-19 saat ini masih cenderung rendah meski kampanye gencar dilakukan. Aktivitas keramaian atau kerumunan warga masih banyak ditemukan di malam hari, sebagian warga tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak.
”Aturan jam malam tersebut harus tegas penerapannya, berupa pemberian sanksi bagi yang melanggar,” ucapnya.
Meski demikian, aturan jam malam tetap harus mempertimbangkan kegiatan darurat warga yang tidak dapat dihindari. Misalnya pergi berobat atau mengantar orang sakit ke layanan kesehatan.