Wajah Protokol Kesehatan Covid-19 DKI Jakarta di Zona Merah Pademangan
Berbagai pendekatan sosialisasi maupun sanksi pemerintah dan dari inisiatif masyarakat belum menyentuh ke pergeseran norma. Perlu dicari cara lain, seperti kerja sosial di rumah sakit rujukan Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah kasus positif Covid-19 yang tinggi di DKI Jakarta belum membuka mata warga, termasuk di wilayah permukiman padat. Di sisi lain, aparat pemerintah seperti kecamatan dan kelurahan mengaku kebingungan meningkatkan kesadaran masyarakat.
Pusat kajian perkotaan dan real estat Universitas Tarumanagara, Center for Metropolitan Studies (Centropolis), mengeluarkan data terkini perkembangan Covid-19 di Ibu Kota. Berdasarkan rekapitulasi per tanggal 6 September 2020, di Jakarta terdapat 85 kelurahan yang dinyatakan sebagai zona hitam, yaitu dengan jumlah kasus positif di atas 100.
Kecamatan Pademangan di Jakarta Utara memiliki akumulasi kasus yang tinggi, yaitu 783 kasus positif Covid-19. Padahal, kecamatan ini hanya terdiri atas tiga kelurahan, yakni Pademangan Barat dengan 528 kasus, Pademangan Timur dengan 126 kasus, dan Ancol dengan 129 kasus.
Sejauh ini kami mencatat tidak ada warga yang melakukan pelanggaran berulang, tetapi setiap hari selalu ada pelanggar baru. (Rakim)
Pantauan di Pademangan Barat pada Senin (7/9/2020) menunjukkan kesadaran bermasker memang menjadi masalah. Tidak hanya warga yang duduk-duduk di warung kaki lima di trotoar yang tidak bermasker, juga mereka yang datang ke kantor kelurahan untuk mengurus berbagai keperluan. Bahkan, beberapa petugas kelurahan yang sedang istirahat makan siang turun bergerombol melalui tangga dengan tidak bermasker dan sambil mengobrol.
Demikian pula ketika tiba di kantor Kecamatan Pademangan. Petugas penerima tamu justru tidak bermasker. Ketika diingatkan agar mengenakan masker, ia hanya berujar ”oh, iya”, tetapi tidak melakukannya. Padahal, Camat Pademangan Mumu Muhtahid dikenal tegas dalam menindak warga.
”Setiap hari aparat kecamatan, kelurahan, sampai RW (rukun warga) dan RT (rukun tetangga) selalu patroli hingga masuk gang-gang permukiman untuk menyosialisasikan ’Mang Jaja’ atau mencuci tangan, mengenakan masker, dan menjaga jarak,” kata Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Pademangan Rakim.
Kurangnya kesadaran warga, menurut dia, memberatkan tugas aparat. Satuan polisi pamong praja setiap hari menindak warga yang tidak bermasker. Kecamatan Pademangan memiliki 164.616 penduduk yang mayoritas bekerja sebagai buruh serabutan dengan mobilitas tinggi. Selain itu, ada komunitas pedagang yang cukup besar yang berniaga di pasar tradisional maupun pasar kaget.
Menurut Rakim, metode penindakan sangat dilematis. Apabila petugas melakukannya dengan cara keras seperti membentak, pesan Mang Jaja tidak akan sampai kepada warga karena mereka dikhawatirkan hanya menunjukkan disiplin di hadapan petugas, tetapi tidak dalam keseharian.
Sanksi berupa denda Rp 250.000 per orang tidak akan mampu dibayar oleh warga yang sehari-hari bergantung kepada pemberian bantuan sosial dari pemerintah. Penindakan yang diambil berupa hukuman menyapu jalan. kartu tanda penduduk mereka difoto, dan selama menjalani hukuman mereka direkam, lalu disebarluaskan ke media sosial kecamatan serta RT dan RW masing-masing. Catatan ini bisa disilangkan dengan data dari kecamatan, bahkan kota lain di Jakarta, apabila pelanggar mengulangi kesalahan di lokasi yang berbeda.
”Sejauh ini kami mencatat tidak ada warga yang melakukan pelanggaran berulang, tetapi setiap hari selalu ada pelanggar baru. Misalnya, petugas membubarkan kerumunan di trotoar. Beberapa menit setelah itu muncul kerumunan lagi di tempat yang sama dengan orang-orang baru. Begitulah setiap hari,” tutur Rakim.
Menggeser norma
Psikolog sosial dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Yunia Faelanisa, menjelaskan, norma masyarakat masih menganggap remeh pandemi Covid-19. Penyebabnya bisa karena ketidaktahuan mengenai bahaya virus korona jenis baru, bisa pula karena berpendapat dirinya tidak akan sakit karena selama ini tubuhnya terasa sehat. Bahkan, ada pula yang berpikir bahwa sakit dan meninggal itu takdir yang tidak perlu dilawan.
Berbagai pendekatan sosialisasi maupun sanksi pemerintah dan dari inisiatif masyarakat belum menyentuh ke pergeseran norma. Contohnya, inisiatif masyarakat memasang tugu peti mati dan memasukkan pelanggar aturan pembatasan sosial berskala besar ke dalamnya. Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mereka yang tertangkap razia tidak bermasker diangkut ke pemakaman para korban Covid-19 untuk berdoa.
”Sanksi semacam ini belum tentu mengena kalau pelanggar tidak memiliki pola pikiran serupa dengan petugas pemberi sanksi. Menggeser norma harus dari emosi dengan cara menumbuhkan empati,” ujar Wakil Dekan Kemahasiswaan, Kerja Sama, dan Alumni Fakultas Psikologi UIN Jakarta ini.
Cara yang bisa dipertimbangkan ialah bekerja sama dengan fasilitas kesehatan terdekat, seperti Wisma Atlet Kemayoran dan rumah sakit rujukan. Setiap RW diberi kuota membawa warganya yang terkenal tidak memercayai atau meremehkan bahaya Covid-19.
Selama satu hari mereka bisa diajak menjadi sukarelawan di fasilitas kesehatan agar bisa melihat langsung lelahnya pekerjaan para tenaga kesehatan, repotnya memakai alat pelindung diri, dan jika memungkinkan berdialog dengan orang-orang yang kehilangan anggota keluarga akibat Covid-19.
”Catatannya, norma ini akan terwujud apabila penerapannya komprehensif dan konsisten. Semua petugas pemerintah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama harus tampil kompak bermasker dan menjaga jarak agar tidak ada celah kelonggaran dari sisi figur publik,” kata Yunita.
Tingkat kejadian
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti menjelaskan, pihaknya memilih metode memakai tingkat kejadian atau incidence rate (IR). Artinya, dengan membandingkan jumlah kasus yang terjadi dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah penduduk di suatu wilayah. Hal ini dipercaya memberi kejernihan dalam mengukur tingkat kasus karena ada wilayah yang jumlah kasusnya tampak tinggi, tetapi jika dibandingkan dengan total penduduk angkanya rendah.
”Jangka waktu IR adalah per dua minggu. Setiap kelurahan dibandingkan IR-nya dan dilihat kelurahan-kelurahan yang selisih peningkatannya masih tinggi, artinya kasus positif masih terjadi,” ujarnya.
Berdasarkan periode IR pada 13-27 Agustus, sepuluh kelurahan yang penularan Covid-19 masih marak secara urutan tertinggi ke terendah ialah Pancoran, Gambir, Tebet Barat, Gondangdia, Cilincing, Kalibata, Kebon Kacang, Koja, Slipi, dan Menteng.