Masker sudah menjadi bagian dari keseharian, termasuk saat orang berolahraga di Gelora Bung Karno, Jakarta. Akan tetapi, saat berolahraga, orang masih menoleransi pemakaian masker yang tidak sesuai protokol kesehatan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Sejumlah orang yang beraktivitas di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, tetap mengenakan masker ketika berada di ruang publik. Akan tetapi, saat berolahraga, masker tidak digunakan dengan benar. Mereka pun lebih permisif ketika melihat orang di sekitar tak bermasker.
Gerimis mengguyur kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Rabu (2/9/2020) siang. Satu per satu warga mulai berdatangan untuk mengeluarkan peluh.
Dua sekawan Andrian Mandala (19) dan Imanuel Samaranchs (18), misalnya, baru selesai lari di Stadion Utama GBK. Mereka berdua mengenakan masker kain.
Andrian rutin sekali seminggu berolahraga di GBK, sedangkan Imanuel sekali sebulan. Mereka membawa stok masker kain. Kalau masker yang tengah digunakan sudah terpapar keringat, mereka mengganti dengan masker baru.
Selama belari, mereka tetap mengenakan masker, tetapi masker itu dipasang di bawah hidung. Ini agar sirkulasi udara tetap terjaga ketika berlari. ”Saya pernah pakai masker secara benar. Tapi pengap sekali. Terus malah jadi pusing setelah berlari, makanya dipasang di bawah hidung,” kata Imanuel.
Menurut Andrian, masker tak menjamin 100 persen dirinya akan terbebas dari penularan virus korona baru. Masker hanya sebagai upaya untuk meminimalisasi penularan.
Selama belari, mereka tetap mengenakan masker, tetapi masker itu dipasang di bawah hidung. Ini agar sirkulasi udara tetap terjaga ketika berlari.
Andrian pun tak pernah menegur apabila menemui orang lain di sekitarnya tak bermasker. Ia memaklumi bahwa masker merupakan kebiasaan baru dan belum semua orang terbiasa menggunakannya.
Sementara Imanuel baru akan bereaksi jika orang tak bermasker tersebut mengganggu dirinya. ”Misalnya, mereka batuk terus enggak ditutup, baru saya tegur,” ujar mahasiswa Universitas Tarumanagara, Jakarta Barat, ini.
Warga lainnya, Rifki Badruttamam (20), sedang nongkrong di salah satu kafe di Stadion Utama GBK. Sebuah kamera dan komputer jinjing tergeletak di meja. Ia mengenakan masker kain di dagunya. Sesekali, ia pindah ke halaman kafe untuk merokok.
Ketika berada di ruang publik, Rifki lebih sering menggunakan masker kain yang bisa digunakan lagi. Ia melapisi masker bagian dalam dengan tisu. Tisunya selalu diganti setiap ia balik ke rumah. Sementara masker kain tersebut dia gunakan selama dua hari. Setelah itu, masker dicuci dan dia menggunakan masker kain yang lain.
Pria yang tinggal di Palmerah, Jakarta Barat, ini menyatakan, penggunaan masker saja tak cukup untuk menghindari Covid-19. Agar tidak tertular Covid-19, pola hidup harus berubah. ”Istirahat cukup, rajin olahraga, dan makanan dijaga,” ujarnya.
Ketika bertemu orang tak bermasker, Rifki biasanya menjauh dari orang tersebut. Dia tak ingin berdebat dan menghindari konflik. ”Kalau mau sehat, ya, lo pakai (masker) kalau enggak, ya, sudah,” ujarnya.
Warga lainnya, Dinara Orelia (14), selalu memiliki stok masker sekali pakai di mobil. Pada Rabu siang, dia berolahraga di GBK. Ketika itu, ia melepas masker dan baru mengenakannya saat bertemu Kompas. Menurut Dinara, masker hanya mengurangi risiko penularan. ”Mungkin saja masih bisa terinfeksi. (Masker) ini, kan, untuk mengurangi saja,” jelasnya.
Seusai berlari, Dinara akan membuang masker terpakai dan mengganti dengan masker baru. Untuk itu, ia selalu membawa stok masker ketika keluar rumah. ”Kalau aku baca-baca dari ahli kesehatan itu, kan, masker ini maksimal bisa digunakan lima jam. Setelah itu harus diganti,” katanya.
Selama pandemi Covid-19, Dinara mengurangi pertemuan di ruang publik. Dia keluar hanya untuk berolahraga. Jika kebetulan bertemu orang tak bermasker, ia akan memberikan stok masker miliknya. ”Kalau aku bawa masker, aku kasih. Kalau negur jarang, sih. Soalnya orang, kan, suka bodoh amat gitu,” tambahnya.
Mungkin saja masih bisa terinfeksi. (Masker) ini, kan, untuk mengurangi saja.
Sementara itu, karyawan di salah satu kafe di GBK, Nabila (20), menjelaskan, dia menggunakan masker kain karena lebih hemat. Selain itu, penggunaan masker kain pun mengurangi limbah medis karena bisa dicuci lagi. ”Kalau pakai masker kain, kan, lebih enggak nyampah," jelasnya.
Dia menggunakan satu masker selama bekerja. Ada masanya ia melepas masker jika merasa sudah terlalu pengap. Dia pun selalu mengingatkan pengunjung kafe untuk memakai masker ketika memesan makanan.
Dyah Kumala Sari dari Humas GBK menjelaskan, manajemen melakukan penapisan masker di pintu masuk. Papan informasi terpasang di setiap pintu masuk. Salah satu syarat wajib untuk pengunjung adalah menggunakan masker.
Selain itu, jumlah pengunjung di Stadion Utama GBK dibatasi maksimal 1.000 orang sekali sif. Satu sif berlangsung selama satu jam. Area ini pun dibatasi hanya untuk pejalan kaki tanpa peralatan, seperti sepeda, sepatu roda, dan lain-lain.