Redam Persebaran, DKI Harus Tegakkan Wajib Masker dan Tekan Mobilitas
Menurut anggota DPRD Gilbert Sumanjuntak, tes PCR memiliki keakurasian deteksi tidak 100 persen. Itu sebabnya pelaksanaan wajib masker harus ditegakkan. Ombudsman turut sarankan DKI atur mobilitas warga.
Oleh
Helena F Nababan
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengklaim, tes PCR yang diselenggarakan sudah melebihi standar yang diterapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Kasus harian yang ditemukan terus tinggi. Anggota DPRD DKI Jakarta dan Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meminta Pemprov DKI Jakarta untuk memperketat mobilitas dan menegakkan pemakaian masker kepada warga demi meredam penularan virus korona.
Gilbert Simanjuntak, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Senin (07/09/2020) menjelaskan, terkait tes PCR, mengutip laporan dari luar negeri, yaitu dari theconversation.com, dinyatakan akurasi hasil tes PCR sekitar 66-80 persen. Artinya sekitar 1 dari 3 yang diperiksa memberi hasil palsu, negatif padahal sakit.
Pemeriksaan PCR di DKI tidak mungkin 100 persen atau kepada seluruh penduduk DKI Jakarta. Sekalipun dilakukan tes ke 10 juta penduduk, sekitar 1 dari 3 yang sakit akan luput dan tetap bergerak. Mereka bisa OTG atau orang dengan gejala seperti batuk, flu, demam, atau sesak nafas.
"Mungkin yang luput itu bisa berkata, "saya bisa ketemu anak istri tanpa masker karena negatif," padahal dia sakit. Ini lebih berbahaya daripada yang sakit," jelas Simanjuntak.
Pada 7 September, dari data terbaru Dinas Kesehatan DKI Jakarta, positivity rate atau persentase kasus positif sepekan terakhir di Jakarta sebesar 14,1 persen. Secara asumsi diekstrapolasi ada 1,4 juta penderita Covid-19 di DKI.
Lalu dengan laporan keakurasian tersebut, dari total orang yang menjalani tes PCR di Jakarta, maka masih ada orang yang hasil tes nya palsu atau negatif padahal sakit tadi. Mereka lalu berkeliaran tanpa masker dan jaga jarak karena merasa aman di rumahnya dan lingkungannya. "Ini yang menjelaskan tingginya kasus di rumah tangga," jelas Simanjuntak.
Pemprov DKI Jakarta sudah melaksanakan tes PCR yang besaran sasaranya 4 x lipat standar WHO. Namun, pernyataan itu dinilai Simanjuntak sebagai langkah gegabah.
Menurut Simanjuntak, Pemprov DKI Jakarta tidak mengerti, tes PCR bukan mencegah, tapi untuk mendeteksi. Kegunaan PCR lebih ditujukan untuk pasien yang dirawat. Maka pernyataan Pemprov DKI sudah melakukan 3T (testing, tracing, and treatment) tidak akan memutus rantai karena alasan dan penjelasan di atas.
Negara yang berhasil memutus penularan mengambil sikap melebihi standar WHO. Di antaranya seperti Cina, Taiwan, Selandia Baru dan Vietnam. "Terbukti dengan 3T nyatanya kasus terus meningkat dan seakan Pemprov DKI tidak berkutik mengatasi pandemi ini," kata Simanjuntak.
Untuk itu, Simanjuntak menyarankan Pemprov DKI Jakarta untuk reorientasi penanganan wabah. Yaitu dari 3T menjadi fokus dan serius ke pencegahan yang sebenarnya sederhana dan tidak perlu lagi dikampanyekan melalui spanduk oleh RT / RW, tugu peti mati, atau tampil di TV.
Karena Covid-19 menular melalui droplet atau percikan air ludah dalam jarak dekat dan kontak fisik, maka bisa dicegah dengan bermasker, jaga jarak, dan cuci tangan. "Ini yang perlu serius diawasi. Pengawasan ketat dan lama yang dilakukan di Wuhan yang membuat mereka berhasil," jelas Simanjuntak.
Daerah yang diawasi dominan di pemukiman padat, pasar tradisional, angkutan umum, dan tempat industri atau pabrik.
Terpisah, Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya secara terpisah menjelaskan, protokol kesehatan itu seketat apapun diterapkan, ada potensi seseorang akan tidak taat untuk sementara waktu. Pertanyaannya, lanjut Teguh, apakah pengawasan yang ketat itu akan sampai ke ruang perkantoran, industri, kafe-kafe dimana orang-orang akan diawasi mereka akan makan sendiri-sendiri atau tidak, tetap memakai masker saat sedang rapat
atau tidak.
Dalam pandangan Ombudsman RI, Teguh melanjutkan, protokol kesehatan itu baik dalam mencegah Covid-19, tapi tidak menjamin. "Ombudsman tetap memandang, pembatasan mobilitas penduduk tetap jauh lebih penting selain penerapan protokol kesehatan dengan baik. Pembatasan itu dilakukan melalui pengawasan secara ketat di perkantoran dan industri agar jumlah karyawanya tidak lebih dari 50 persen," jelas Teguh.
Langkah lainnya yang bisa dikerjakan, Teguh melanjutkan, dengan melakukan pengaturan jam kerja dengan rentang waktu yang lebih panjang agar pertemuan orang bisa ditekan semaksmimal mungkin. Berikutnya, Pemprov DKI Jakarta tidak membuka ruang kegiatan ruang publik yang tidak terkait dengan hajat hidup orang banyak seperti kawasan bersepeda, jalur khusus bersepada di tol, ataupun pembukaan bioskop.
Terkait pengawasan di wilayah permukiman penduduk, Teguh mengingatkan, Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki program RW siaga. Kalau dengan angka kasus yang tinggi setiap hari, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya mempertanyakan kemana program itu.
"Pengawasan di perkantoran, pasar, dan yang lain-lain bisa melibatkan warga sekitar, bersama RT/RW. Sudah ada prohram RW siaga. Kemana program itu sekarang? Ombudsman menilai, pemprov ini terlalu percaya diri, semua bisa ditangani sendiri," Teguh mengkritisi.
Di sisi lain, Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta usai Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P2APBD) DKI 2019, menjelaskan, terkait kasus positif yang terus saja tinggi di DKI Jakarta, ia menyebut ada paket kebijakan yang sedang dituntaskan.
"Nanti akan kita sampaikan bersama-sama, bersamaan dengan tuntasnya siklus psbb pekan ini. Jadi setelah siklus ini masuk di tanggal 9, hari terakhir untuk 2 minggu ini. Setelah itu nanti kita akan umumkan sekaligus satu paket. Jadi tidak satu-satu," kata Anies.
Namun ia menyetujui, sebelum ada vaksin, tetap disiplin menggunakan masker adalah kuncinya. "Sebelum ada vaksin, maka vaksin yang bisa kita gunakan adalah masker. Inilah pencegahan paling efektif saat ini," katanya.
Yang berikutnya terkait dengan testing, ia mengatakan, kapasitas testing di Jakarta bukan hanya tinggi, tetapi kegiatan testing-nya intensif sekali. "Karena inilah yang kemudian membuat DKI bisa mendeteksi pribadi-probadi yang terpapar di fase amat awal. Sehingga bila yang bersangkutan memiliki resiko fatalitas yang tinggi baik karena usia lanjut maupun yang memiliki komorbit, maka yg bersangkutan bisa langsung mendapatkan penanganan," katanya.
Kondisi pandemi Covid-19 di Jakarta hari ini, 50 persen kira-kira tanpa gejala, 35 persen bergejala ringan, dan 15 persen bergejala menengah dan berat. "Dengan peningkatan kegiatan testing, kalau kapasitas testing-nya itu 10, 11 kali dari WHO, dan kegiatan testing kita sampai 5 kali sehingga di Jakarta ini terdeteksi awal. Efeknya apa? Efeknya tingkat kematian yang terpapar Covid-19 di Jakarta itu menjadi bisa ditekan rendah," klaim Anis.
Adapun untuk Senin ini, jumlah kasus positif yang terdeteksi melalui tes PCR oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta sebanyak 1.105, dengan 402 kasus di antaranya adalah akumulasi data dari tanggal 4 dan 5 September 2020 yang baru dilaporkan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dwi Oktavia memaparkan, berdasarkan data terkini Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dilakukan tes PCR sebanyak 6.014 spesimen. Dari jumlah tes tersebut, sebanyak 4.871 orang dites PCR hari ini untuk mendiagnosis kasus baru dengan hasil 703 positif dan 4.168 negatif.
"Namun, penambahan kasus hari ini totalnya 1.105, karena 402 kasus adalah akumulasi data dari tanggal 4 dan 5 September 2020 yang baru dilaporkan. Untuk rate tes PCR total per 1 juta penduduk sebanyak 65.192. Jumlah orang yang dites PCR sepekan terakhir sebanyak 52.078," terangnya.
Adapun jumlah kasus aktif di Jakarta sampai saat ini sebanyak 11.047 (orang yang masih dirawat / isolasi). Sedangkan, jumlah kasus Konfirmasi secara total di Jakarta sampai hari ini sebanyak 47.796 kasus. Dari jumlah tersebut, total 35.431 orang dinyatakan telah sembuh dengan tingkat kesembuhan 74,1 persen, dan total 1.318 orang meninggal dunia dengan tingkat kematian 2,8 persen, sedangkan tingkat kematian Indonesia sebesar 4,1 persen.