Tantangan memenuhi kebutuhan darah menjadi semakin berat selama pandemi. Kekhawatiran warga terpapar Covid-19 membuat sebagian besar warga tidak lagi rutin atau urung untuk mendonorkan darah.
Oleh
Albertus Krisna (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Terjaganya persediaan darah sangat penting untuk menyelamatkan nyawa banyak manusia. Berbagai terapi penyakit membutuhkan pasokan darah rutin, seperti pasien thalasemia, kanker, dan cuci darah. Selain itu, secara tidak rutin, darah juga diperlukan untuk penderita demam berdarah, pembedahan atau operasi, kecelakaan lalu lintas, dan juga ibu melahirkan.
Hal ini menjadi perhatian serius. Beberapa tahun terakhir persediaan darah di Indonesia masih mengalami kekurangan. Menurut data Kementerian Kesehatan, produksi darah tahun 2016 sebanyak 4,2 juta kantong darah. Padahal, jika mengacu standar minimal WHO, yaitu 2 persen dari total penduduk, kebutuhan darah di Indonesia mencapai 5,2 juta kantong.
Kebiasaan
Kegiatan donor darah belum menjadi kebiasaan banyak masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pada Agustus lalu. Hampir 60 persen warga mengaku tidak pernah mendonorkan darah. Selebihnya, 22,3 persen responden hanya sesekali jika ada acara donor darah. Sementara mereka yang rutin melakukan kebiasaan ini hanya 12,1 persen.
Banyaknya responden yang tidak pernah donor darah disebabkan sejumlah alasan. Paling banyak (28,7 persen) mengaku takut jarum suntik dan khawatir tertular penyakit. Alasan terbanyak kedua cukup menarik. Sebanyak 22,9 persen responden tidak tahu cara berdonor darah walau sebenarnya ingin melakukannya.
Padahal, akses warga untuk berdonor darah sudah cukup baik. Data tahun 2016 disebutkan, jumlah Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (UTD PMI) di Indonesia mencapai 421 unit atau setara 81,9 persen dari total 514 kabupaten kota.
Pengambilan darah tidak hanya dilakukan di UTD, tetapi juga di beberapa tempat umum yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan berwenang, di antaranya di area perkantoran, area sekolah, dan pusat perbelanjaan. Kegiatan ini didukung oleh Unit Donor Darah berupa mobil khusus yang berisi tenaga beserta peralatan kesehatan yang dibutuhkan.
Sementara syarat menjadi pendonor tertuang di laman resmi PMI. Paling utama ialah sehat jasmani dan rohani. Rentang usia antara 17 tahun dan 60 tahun serta lebih dari 65 tahun bagi pendonor darah rutin. Berat badan minimal 45 kg, bertekanan darah normal dan kadar hemoglobin 12,5-17 gr/dl. Interval donor minimal dua bulan atau enam kali per tahun untuk laki-laki dan empat kali untuk perempuan.
Khawatir terpapar
Stok darah sebelum pandemi yang belum bisa memenuhi permintaan menjadi semakin sulit selama pandemi ini. Tak sedikit UTD di sejumlah wilayah mengalami penyusutan pasokan darah.
Hal ini karena warga takut dan khawatir tertular Covid-19, seperti pengakuan 18 persen responden. Atau bisa jadi seperti 22 persen responden yang masih takut dengan alasan lain, seperti jarum suntik dan khawatir soal higienisnya peralatan. Ditambah lagi banyak agenda donor bekerja sama dengan kantor dinas dan instansi yang diundur karena kebijakan ”bekerja dari rumah”.
Padahal, jumlah permintaan darah tetap sama, bahkan di sejumlah tempat lebih banyak. Salah satunya, meningkatnya kasus DBD di Indonesia. Menurut laporan Kementerian Kesehatan, dari awal tahun hingga Juni 2020 ada lebih dari 70.000 kasus DBD yang tersebar di semua provinsi dengan jumlah kematian hampir 500 orang.
Meski demikian, hampir 60 persen menyatakan bersedia berdonor pada masa pandemi. Mereka akan menyumbang darah jika ada yang memerlukan dan protokol kesehatannya aman. Angka warga yang bersedia ini bahkan lebih banyak dari proporsi warga yang sebelumnya terbiasa dan pernah mendonorkan darahnya (57,5 persen).
Sinyal ini dapat menjadi berita baik bagi banyak UTD yang mengalami kekurangan pasokan darah. Kuncinya, gencar melakukan aksi donor darah dan juga informasi yang lengkap terkait dengan transfusi darah.
Di antaranya yang dilakukan PMI DKI Jakarta di enam wilayah pertengahan Juli lalu, dengan melibatkan aparatur sipil negara di lingkungan pemprov setempat. Kala itu stok darah di UTD PMI DKI hanya sekitar 300 kantong per hari, padahal kebutuhan hariannya mencapai 700 kantong.
Setiap proses transfusi darah dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Di antaranya pemeriksaan kesehatan secara rutin bagi petugas kesehatan PMI yang berdinas. Mereka juga wajib memakai masker, mencuci tangan, dan membersihkan tempat tidur pendonor beserta peralatan medisnya menggunakan cairan disinfektan secara berkala.
Stok darah sebelum pandemi yang belum bisa memenuhi permintaan menjadi semakin sulit selama pandemi ini.
Hal serupa diterapkan bagi para pendonor darah. Menurut panduan WHO, ada juga penundaan berdonor bagi warga yang menunjukkan tanda dan gejala terinfeksi Covid-19. Di antaranya demam dan penyakit pernapasan, seperti batuk atau sesak napas. Pendonor juga harus segera menyampaikan kepada pusat donor darah jika gejala itu muncul 28 hari setelah berdonor darah.
Memenuhi pasokan darah membutuhkan aksi nyata dari warga. Di sisi lain, sosialisasi bagaimana mendonorkan darah yang aman pada masa pandemi ini tetap gencar dilakukan oleh PMI. Tidak mudah untuk mewujudkan satu tetes darah yang bisa menyelamatkan banyak jiwa pada masa pandemi ini.