Hasil Evaluasi Pemprov DKI, Ganjil Genap Tetap Dilanjutkan
Pemprov DKI meyakini ganjil genap malah berkontribusi menekan pergerakan orang ke tempat-tempat yang tidak prioritas, seperti ke pusat makanan, toko bahan makanan, serta ke toko obat.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Kamis (3/9/2020) meminta DKI Jakarta mengevaluasi kebijakan ganjil genap di 25 ruas jalan, guna menekan risiko penularan SARS-CoV-2 di transportasi umum. Namun, berdasarkan evaluasi terus-menerus oleh Pemerintah Provinsi DKI, ganjil genap diputuskan tetap berlanjut.
”Setiap hari kami mengevaluasi dan kami laporkan mingguan kepada Pak Gubernur (Anies Baswedan) selaku Ketua Gugus Tugas Provinsi, yang kemudian dari hasil evaluasi ini, ganjil genap terus dilanjutkan,” tutur Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI di Jakarta, Minggu (6/9/2020).
Seperti diberitakan Kompas.com, Ketua Satgas Covid-19 Letnan Jenderal TNI Doni Monardo di sela rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Kamis lalu, meminta DKI mengevaluasi ganjil genap. Sebab, kebijakan itu memicu peningkatan penumpang angkutan umum.
Doni saat itu menyebutkan, penumpang kereta rel listrik (KRL) naik 3,5 persen. Persentase itu tergolong besar jika melihat angka penumpang KRL rata-rata 400.000 orang per hari. Selain itu, penumpang bus Transjakarta meningkat 6-12 persen sejak penerapan ganjil genap.
Doni menambahkan, 62 persen dari 944 pasien Covid-19 yang dirawat di Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19 Wisma Atlet adalah para pengguna transportasi umum. ”Nah, jadi permintaan kami ke pemerintah DKI lakukan evaluasi sehingga upaya kita untuk mengurangi kerumunan ini bisa terlaksana,” ucapnya.
Menurut Syafrin, data tersebut tidak lantas menunjukkan bahwa sarana dan prasarana transportasi umum merupakan pusat penularan Covid-19. ”Yang perlu diperhatikan, apakah penularannya di angkutan umum atau di tempat lain di mana aktivitasnya terjadi,” ujarnya.
Syafrin mengakui, jumlah pengguna angkutan umum memang meningkat dengan penerapan ganjil genap. Namun, kapasitas yang tersedia saat ini masih memadai untuk mengakomodasi tambahan jumlah penumpang, baik pada bus Transjakarta, kereta rel listrik (KRL), moda raya terpadu (MRT), dan kereta ringan (LRT). Padahal, jumlah penumpang sudah dibatasi 50 persen dari kapasitas maksimal, lebih rendah dibandingkan yang dibolehkan Kementerian Perhubungan (70 persen).
Ia mencontohkan, di MRT sebelum ganjil genap, kemampuan angkut penumpang pada jam sibuk maksimum 30 persen dengan kapasitas angkut setelah penerapan jaga jarak total 390 penumpang per rangkaian kereta. Namun, data menunjukkan, jumlah penumpang maksimal di MRT rata-rata baru 100 pengguna pada jam sibuk atau hanya 25,6 persen dibanding jumlah penumpang per rangkaian yang dibolehkan selama PSBB sebelum diterapkan ganjil genap.
Selain itu, ketatnya penerapan protokol kesehatan di transportasi umum menjadi tambahan jaminan. Calon penumpang yang tidak bermasker tidak diizinkan naik angkutan sebelum memakainya. Mereka juga dilarang berbicara lewat telepon seluler atau mengobrol serta makan dan minum di dalam angkutan umum guna menekan risiko penularan dari percikan ludah yang keluar.
Syafrin meyakini ganjil genap malah berkontribusi menekan pergerakan orang ke tempat-tempat yang tidak prioritas. Evaluasi Dishub DKI, pergerakan warga ke pusat makanan, toko bahan makanan, serta ke toko obat turun 5-6 persen. Mobilitas warga ke pusat-pusat transportasi juga turun sekitar 2 persen.
Kemungkinan, setelah pembatasan transportasi dalam PSBB dilonggarkan, banyak warga merasa bebas sehingga melakukan perjalanan yang tidak perlu. Padahal, tempat kerja mereka sudah menerapkan pembatasan jumlah karyawan yang masuk kantor. Syafrin mencontohkan, ada pekerja yang sebenarnya sedang mendapat giliran kerja dari rumah, tetapi malah berkumpul dengan rekannya yang juga sedang tidak mendapat jatah ke kantor. Hal-hal seperti itulah yang ditekan dengan ganjil genap.
Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) DKI Jakarta Baequni Boerman berpendapat, hanya berlandaskan pada data peningkatan jumlah penumpang angkutan umum dan jumlah orang positif Covid-19 yang biasa menumpang kendaraan umum memang belum memadai guna menyatakan kebijakan ganjil genap berkolerasi dengan peningkatan kasus di Ibu Kota. Pembuktian ilmiah harus dijalankan secara benar, misalnya lewat uji PCR dengan teknik pengambilan sampel pada penumpang di fasilitas-fasilitas transportasi umum yang ramai didatangi.
”Yang penting protokol kesehatan dilaksanakan masyarakat, pakai masker terutama,” ujar Baequni. Secara lengkap, protokol kesehatan disingkat 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (menjaga kebersihan diri).
Namun, terus meningkatnya kasus positif Covid-19 di Jakarta—akhir-akhir ini kerap menembus 1.000 kasus per hari seprovinsi—bagi Baequni menunjukkan, Pemprov DKI tidak bisa lagi hanya melakukan cara yang sudah berjalan. Langkah baru yang inovatif dibutuhkan.
Baequni pernah mengusulkan agar Pemprov DKI merekrut dan menempatkan sukarelawan sarjana kesehatan masyarakat (SKM) di tengah komunitas. Idealnya, satu RW didampingi satu SKM. Ia mempersilakan jika pemprov punya cara lain, tetapi yang jelas harus ada terobosan serta terdapat pembuktian ilmiah untuk mengevaluasi efektivitasnya.
Dwi Oktavia, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI, memaparkan, 6.362 orang dites dengan metode reaksi berantai polimerase (PCR) pada Minggu (6/9/2020) untuk mendiagnosis kasus baru dengan hasil 928 positif dan 5.434 negatif. Namun, secara keseluruhan, penambahan kasus positif di DKI hari Minggu ini 1.245 kasus karena ada 317 kasus positif hasil pemeriksaan pada 3 dan 4 September 2020 yang baru dilaporkan.
Persentase kasus positif (jumlah hasil tes positif Covid-19 dibandingkan jumlah orang yang dites) di Jakarta juga terus menanjak. Sepekan terakhir, persentase kasus positif mingguan sebesar 14 persen, sedangkan persentase kasus positif secara total 6,8 persen. Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menetapkan batas aman persentase kasus positif tidak lebih dari 5 persen.