Saatnya Konsumen Sikapi Pelanggaran Protokol Kesehatan di Tempat Usaha
Keluhan konsumen bisa diarahkan langsung ke pengelola bisnis, kepada pemerintah daerah melalui dinas, atau kepada lembaga independen terkait layanan konsumen, seperti YLKI.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsumen sebagai ujung tombak perputaran ekonomi, di tengah pandemi yang berkepanjangan, harus cerdas dan tegas, termasuk dengan mengekspresikan keberanian menegur atau tidak berbelanja/makan di tempat-tempat yang melonggarkan aturan kesehatan dan keamanan semasa pandemi Covid-19.
”Konsumen memiliki kekuatan untuk mengajukan keluhan, baik kepada pengelola usaha, pemerintah, maupun lembaga yang mewadani komplain. Keluhan konsumen ini merupakan kritik membangun yang menyehatkan dunia usaha untuk berbenah,” kata Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno di Jakarta, Sabtu (5/9/2020).
Ia merespons tindakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui satuan polisi pamong praja (satpol PP) yang menindak kafe serta restoran yang terlalu ramai sehingga melanggar Peraturan Gubernur Jakarta No 51/2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Transisi. Aturan ini menegaskan setiap kantor dan unit usaha hanya boleh diisi paling banyak 50 persen dari kapasitas maksimal.
Jika kapasitas restoran tersebut untuk 100 pembeli, hanya 50 orang yang diperbolehkan berada di dalam ruangan dalam waktu bersamaan. Sisanya didorong menggunakan layanan pemesanan makanan berbasis aplikasi atau mengantre agar makanan tersebut dibungkus dan dibawa pulang.
Unit usaha yang semestinya berperilaku profesional cukup beri denda satu kali. Jika melanggar, langsung ditutup selama dua pekan atau dicabut izin operasionalnya. (Agus Suyatno)
Pemantauan laman media sosial Satpol PP Jakarta, sepekan terakhir ini setidaknya ada tujuh restoran dan kafe yang ditutup karena melanggar aturan PSBB, seperti terlalu ramai atau pramusajinya tidak memakai masker, sehingga berisiko menularkan virus korona baru melalui udara ataupun percikan yang jatuh di makanan dan benda-benda. Kejadian terkini adalah penutupan untuk waktu yang tidak ditentukan bagi kafe Kopi Tebalik di Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan, karena setelah diperingatkan Gubernur Jakarta Anies Baswedan agar menutup diri selama 1 x 24 jam dan memperbaiki kedisiplinan staf, kafe ini justru nekat tetap buka. Setelah ditilik, tempat ini juga tidak memiliki izin usaha.
”Mental konsumen Indonesia masih cenderung memaklumi pelayanan yang buruk karena merasa sungkan mengutarakan keluhan. Padahal, ini tidak sehat bagi kinerja pengusaha ataupun iklim ekonomi,” kata Agus. Apabila konsumen mengemukakan keluhan kepada pihak manajemen usaha tetapi tidak digubris, atau bahkan ditanggapi dengan sikap sinis ataupun agresif, keluhan bisa diarahkan kepada pemerintah daerah melalui dinas dan dapat pula kepada lembaga independen terkait layanan konsumen, seperti YLKI.
Saat ini diperlukan ketegasan sikap konsumen untuk menegur staf yang tidak tertib bermasker. Demikian pula ketika melihat sebuah restoran atau kafe sudah penuh terisi langsung berinisiatif untuk tidak makan di tempat itu.
Ketegasan penindakan oleh pihak berwenang seperti satpol PP dan polisi juga diperlukan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 tidak boleh dianggap main-main. Menurut Agus, melakukan denda berkelipatan yang memberi ruang bagi masyarakat untuk membuat kesalahan berulang dapat menimbulkan pemikiran bahwa jika seseorang mampu membayar denda pelanggaran PSBB ia akan baik-baik saja.
”Semakin banyak denda yang terkumpul justru menunjukkan bahwa ketertiban kian dilanggar. Untuk unit usaha yang semestinya berperilaku profesional cukup beri denda satu kali. Jika melanggar, langsung ditutup selama dua pekan atau dicabut izin operasionalnya,” kata Agus.
Pada waktu yang berbeda, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Gumilar Ekalaya mengungkapkan bahwa dalam sepekan terakhir pihaknya telah menutup satu tempat karaoke dan satu pusat kebugaran karena melanggar aturan PSBB. Menurut dia, ketika berdiskusi dengan para pengusaha, umumnya mengaku takut menegur konsumen yang datang dan tidak bermasker karena mereka merupakan sumber pendapatan.
Oleh sebab itu, ia mengimbau agar tempat-tempat hiburan serta sasana langsung mengurangi jumlah meja dan tempat duduk. Hal ini lebih efektif dibandingkan menaruh kertas bertanda silang sebagai tanda agar konsumen diminta menjaga jarak. Jika sejak awal meja dan kursi dikurangi menjadi 50 persen, otomatis konsumen yang datang tidak bisa terlalu banyak.
”Kami mendorong pelaku usaha bersikap tegas untuk konsumen yang bandel. Misalnya bercakap-cakap tanpa masker atau mengokupasi meja beramai-ramai, terutama jika bukan keluarga,” ujar Gumilar. Pihaknya akan meningkatkan frekuensi inspeksi mendadak ke unit-unit usaha di bawah pantau Dinas Parekraf Jakarta, termasuk ke kantor-kantor pengelola.
Salah satu tempat yang mengurangi jumlah tempat duduk ialah pusat kebugaran Celebrity Fitness di mal FX Sudirman, Jakarta Selatan. General Manager Mochamad Egal mengatakan sengaja mengambil langkah itu agar tidak ada klien yang duduk-duduk dan mengobrol. Berkurangnya bangku secara drastis membuat klien memakai waktu lebih efektif. Mereka berolahraga memakai alat yang telah diatur agar berjarak, mandi, dan segera meninggalkan tempat fitnes.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jakarta Dwi Oktavia Tatri Lestari Handayani mengatakan, rerata kasus positif sepekan ini naik menjadi 13,1 persen dari 11 persen pekan lalu. Lebih dari dua kali batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 persen. Total kasus positif ialah 45.446 dengan rincian 33.991 orang sembuh dan 1.277 orang meninggal.