Kami Menanti Tindakan, Bukan Hanya Kampanye
Cara kampanye waspada pandemi dengan peti mati yang dilakukan pemerintah di Jakarta sudah terlambat. Upaya preventif ini semestinya digembar-gemborkan enam bulan lalu ketika Covid-19 baru masuk ke Indonesia.
Tercatat sudah ada sembilan titik di Ibu Kota tempat peti mati kayu berbungkus plastik diletakkan selama sepekan terakhir. Akan tetapi, respons warga terhadap simbol itu justru suam-suam kuku. Bahkan, ada yang beranggapan salah sasaran karena lebih penting penegakan kedisiplinan daripada imbauan.
”Ini maksudnya apa? Mau menakut-nakuti masyarakat? Enggak mempan. Mendingan perbanyak razia masker,” kata Marcell, pejalan kaki di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, pada Kamis (3/9/2020).
Ia berdiri mengamati peti mati berbungkus plastik yang seolah siap dikebumikan dengan memakai protokol Covid-19. Tertempel di peti itu poster angka kasus positif di Jakarta Selatan mulai dari tanggal 31 Agustus hingga kini.
Sementara itu, di balik pos polisi di bawah jembatan layang Fatmawati, Isep, seorang anggota pasukan oranye dari Kecamatan Cilandak bersiap mengenakan baju hazmat putih. Hari Kamis ia mendapat jatah piket pukul 13.00 hingga 17.00. Tugasnya ialah memakai alat pelindung diri seolah dirinya petugas medis dan berdiri di perempatan Fatmawati. Isep juga membawa papan bertuliskan “Pakai Masker atau Masuk Peti Mati”. Pukul 18.00 hingga malam hari akan ada rekannya menggantikannya berdiri di perempatan itu.
Sebagai warga Jakarta, Marcell mempertanyakan siapa pihak yang memasang peti mati tersebut dan berapa anggarannya. Menurut dia, jika diletakkan di bawah jembatan layang, peti itu tidak diacuhkan oleh masyarakat karena tak terlihat. Berbeda apabila diletakkan di titik-titik strategis, seperti Bundaran Hotel Indonesia dan Tugu Tani.
Ini maksudnya apa? Mau menakut-nakuti masyarakat? Enggak mempan. Mendingan perbanyak razia masker.
”Lebih baik lagi kalau anggarannya diberi ke ibu-ibu PKK (pemberdayaan kesejahteraan keluarga) di perumahan supaya mereka bisa patroli dan menindak orang-orang yang masih ngeyel enggak bermasker dan terus nongkrong. Ini di dekat rumah saya ibu-ibu belanja di tukang sayur keliling masih berkerumun dan enggak pakai masker. Coba kalau ada petugas hukum yang memberi sanksi, pasti mereka jera,” katanya.
Pendapat serupa diutarakan Linda, pejalan kaki. Ia geram melihat masih ada orang yang tidak mau memakai masker, misalnya orang-orang yang nongkrong di pinggir jalan dan asyik mengobrol tanpa memakai masker.
Linda mengungkapkan pengalaman menegur seorang pemilik warung agar bermasker, tetapi malah dimarahi balik sehingga ia kini malas menegur orang yang tak bermasker. Semestinya, ada petugas dari kelurahan atau satuan polisi pamong praja yang tidak hanya menegur, tetapi juga mendisiplinkan karena mereka memiliki otoritas.
Camat Cilandak Mundari ketika dihubungi mengaku pemasangan peti mati itu murni gagasan darinya. Biayanya pun menggunakan uang pribadi. Tujuannya sebagai simbol bahwa Covid-19 mengancam nyawa manusia dan hendaknya warga Cilandak ataupun warga lain yang melewati wilayah itu memperhatikan aturan kesehatan.
”Kebetulan saja di berbagai wilayah Jakarta ada inisiatif serupa. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pihak wali kota sama sekali tidak membiayai tugu ini. Personel kecamatan saya berikan jadwal piket agar ada yang selalu di perempatan membawa papan imbauan agar bermasker,” ucapnya.
Strategi komprehensif
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta Amin Shabana menjelaskan, komunikasi publik harus dilihat dari pelakunya. Jika aktor kampanye memakai peti mati ini adalah masyarakat, merupakan inisiatif yang bagus karena tandanya ada kesadaran warga untuk menjaga kesehatan lingkungan masing-masing yang disiarkan dengan cara kreatif sesuai kemampuan mereka.
Seandainya kampanye peti mati ini dilakukan oleh pemerintah provinsi ataupun kota, cara ini sudah terlambat karena berupa preventif yang semestinya digembar-gemborkan enam bulan lalu ketika Covid-19 baru masuk ke Indonesia. Bulan September ini adalah kulminasi meningkatnya kasus serta kejenuhan warga terhadap iklan ataupun kampanye. Mereka butuh melihat tindakan nyata pencegahan penularan virus korona jenis baru, bukan gimmick atau trik untuk mencari perhatian.
Oleh sebab itu, inisiatif warga ini jangan sampai sia-sia. Kampanye mereka tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan pemerintah melalui ketegasan penerapan protokol kesehatan. Kerja sama mulai dari tingkat nasional, provinsi, kota, hingga ke satuan rukun tetangga yang transparan dan berkesinambungan dalam pengawasan.
Seandainya kampanye peti mati ini dilakukan pemerintah provinsi ataupun kota, cara ini sudah terlambat karena berupa preventif yang semestinya digembar-gemborkan enam bulan lalu ketika Covid-19 baru masuk ke Indonesia.
”Komunikasi publik yang efektif adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pembuat kebijakan menunjukkan sikap tegas tentang pentingnya bermasker dan menjaga jarak. Narasinya bukan meminta warga bermasker lagi, tapi tekankan sanksi seperti denda ataupun kerja bakti sosial yang langsung diterapkan di tempat bagi para pelanggar aturan,” kata Amin.
Memakai masker sudah menjadi norma sosial selama enam bulan terakhir. Logikanya, setiap penduduk Jakarta mengetahui kewajiban bermasker dan menjaga jarak ketika keluar rumah.
Kini komunikasi publik yang bersifat dari atas ke bawah harus menjajal pemastian semua orang menepati aturan itu. Menyebarluaskan berita petugas menindak pelanggar aturan bermasker dan menjaga jarak agar membayar denda atau mengenakan rompi oranye dan disuruh membersihkan got membuat penonton video akan berefleksi tidak mau hal tersebut terjadi kepada dirinya.
”Contoh pendisiplinan pelanggar aturan di Pasar Rebo dengan cara disuruh berbaring di peti mati jika dilakukan oleh aparat pemerintahan, seperti petugas satpol PP cenderung terkesan gimmick atau lucu-lucuan,” katanya.
Baca juga: Sanksi Berbaring dalam Peti Mati bagi Pelanggar PSBB
Lebih efektif jika langsung menyapu jalanan dan kian kuat apabila dari puncak pemimpin di Jakarta, yaitu gubernur, secara gamblang selalu mengatakan aparat tidak segan mendenda atau memberi sanksi sosial di hadapan publik. Kehadiran petugas juga memberi kesan keseriusan pemerintah menegakkan kedisiplinan sekaligus mengangkat moral warga yang diberi tugas melakukan pengawasan bahwa ada otoritas untuk menegur mereka yang masih menolak memakai masker.
Kampanye figur publik
Amin menekankan jika pemerintah memang mau melakukan kampanye, hendaknya tidak bersifat masif tetapi meleset dari sasaran. Kampanye menggaet pejabat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan selebritas yang biar segelintir tetapi memiliki pengaruh besar di masyarakat.
Figur publik ini tidak hanya mengiklankan warga agar bermasker, tetapi juga menarasikan sebagai bentuk gotong royong di masa pandemi. Walaupun tidak bisa berkumpul berdekatan, dengan memakai masker secara kolektif bangsa Indonesia gotong royong menyelamatkan nyawa sesama. Narasi ini diolah menjadi wujud keguyuban yang merupakan karakteristik positif bangsa serta semangat nasionalisme yang nyata tindakannya.
”Kerja sama pemerintah dengan tokoh agama, misalnya, meminta mereka selalu memakai masker ketika memberikan wejangan kepada jemaah. Selalu mengingatkan jemaah untuk memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan memakai sabun. Demikian pula dengan artis ataupun influencer di media sosial,” katanya.
Pendisiplinan pelanggar aturan di Pasar Rebo dengan cara disuruh berbaring di peti mati jika dilakukan oleh aparat pemerintahan seperti petugas satpol PP cenderung terkesan gimmick atau lucu-lucuan.
Komunikasi publik juga dengan membuat kebijakan agar semua pejabat ataupun orang terkenal yang tampil di televisi memberi keterangan publik kepada pers, atau melakukan acara bincang-bincang di studio wajib memakai masker. Jangan ada celah pemakluman pejabat atau tokoh masyarakat tidak bermasker ketika ia menghadiri kegiatan publik.
Baca juga: Dering Telepon Istri Lebih Mengerikan dari Tugu Peti Mati