Tambang Kapur Ilegal 263 Hektar di Kabupaten Bogor Disegel Kementerian LHK
Tim Penegakan Hukum KLHK masih mencari auktor intelektualis yang merusak lingkungan di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, dengan aktivitas penambangan kapur secara ilegal.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan penambangan kapur tanpa izin di kawasan hutan produksi di Desa Klapanunggal, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Saat ini, tim penegakan hukum KLHK masih menyelidiki dan mencari perusahaan atau pelaku yang melakukan aktivitas tambang ilegal tersebut.
Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sustyo Iriyono mengatakan, tim gabungan KLHK bersama Bareskrim Polri, Brimob Polda Jabar, dan Denpom III/1 Bogor menghentikan serta menyegel penambangan kapur ilegal atau tanpa izin di kawasan hutan produksi di Desa Klapanunggal.
”Dari hasil penindakan dan penyegelan lahan seluas 263 hektar itu, kami mengamankan barang bukti 14 ekskavator dan 4 dump truck. Saat ini, tim penegakan hukum KLHK sedang menyelidik kasus itu. Belum ada pihak perusahaan, pelaku, atau pekerja yang ditangkap,” kata Sustyo saat dikonfirmasi, Kamis (3/9/2020).
Ia mengatakan, operasi penindakan yang dilakukan pada 30-31 Agustus 2020 itu bermula dari aduan masyarakat terkait kegiatan penambangan kapur di tanah ilegal. Aktivitas itu menimbulkan kerusakan lingkungan dan membahayakan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Namun, setiba di lokasi, tidak ada pekerja tambang yang beraktivitas. Sustyo menduga operasi gabungan sudah bocor terlebih dahulu.
Saat ini, KLHK akan berkoordinasi dengan pihak Perhutani untuk memetakan wilayah izin usaha di Kabupaten Bogor. Dari pemetaan tersebut akan dilihat siapa saja perusahaan tambang yang beraktivitas di wilayah Perhutani.
”Kita akan lihat siapa yang memiliki izin dan siapa yang tidak memiliki izin aktivitas tambang di wilayah Kabupaten Bogor, salah satunya di Klapanunggal. Dari penindakan kemarin di Klapanunggal itu memang belum ada izin,” tutur Sustyo.
Pelaku penambangan liar akan dikenai pidana berlapis, yaitu Pasal 89 juncto Pasal 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pelaku akan diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
Tidak hanya itu, para pelaku juga akan dikenai Pasal 98 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.
”Kami akan menjerat pelaku dengan pidana berlapis. Saat ini kami mengembangkan kasus serta mencari auktor intelektualis dan para pelaku lain yang terlibat. Kejahatan lingkungan merupakan kejahatan luar biasa. Apabila ada oknum aparat yang turut bermain dalam kejahatan ini, kami tidak segan-segan menindak tegas sesuai peraturan,” tegas Sustyo.
Aktivitas tambang tak berizin banyak terjadi di wilayah Kabupaten Bogor yang lolos dari pengawasan pemerintah setempat. Selain di Kecamatan Klapanunggal, lokasi tambang ilegal juga terdapat di Kecamatan Cariu, Sukamakmur, dan Tanjungsari.
”Di Bogor banyak bermunculan tambang ilegal. Di beberapa wilayah bahkan sudah bertahun-tahun luput dari pengawasan pemerintah setempat,” lanjut Sustyo.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menyampaikan, KLHK tidak akan berhenti menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan, termasuk kejahatan tambang ilegal.
”Penindakan ini harus menjadi peringatan bagi pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan lainnya. Kita tidak boleh membiarkan pelaku kejahatan tambang ilegal seperti ini mendapatkan keuntungan dan memperkaya diri atas penderitaan dan keselamatan masyarakat, kerugian negara, serta kerusakan lingkungan. Saya sampaikan, sudah ada contohnya pelaku pidana tambang ilegal dijerat pidana berlapis. Jadi, hukumannya harus berat,” katanya.
Camat Klapanunggal Ahmad Kosasih mengatakan sulit mengawasi dan menghentikan aktivitas tambang kapur liar di wilayahnya. Oleh karena itu, sejumlah warga pun meminta untuk segera melaporkan aktivitas ilegal tersebut.
Permasalahan lainnya, lanjut Ahmad, ada sejumlah oknum warga yang juga terlibat dan kecil kemungkinan oknum warga itu tidak lagi terlibat di dalam aktivitas yang berdampak buruk terhadap lingkungan dan warga sekitar.
Menurut dia, sejumlah oknum warga yang terlibat dalam aktivitas tambang kapur mendapat Rp 100.000 per truk setiap masuk maupun keluar area penambangan.
”Perlu ada pengawasan dari otoritas tertinggi agar tambang tidak lagi dimanfaatkan karena memang belum jelas izinnya. Ini bisa menjadi bahan mendorong mereka (warga) agar tidak lagi bekerja sebagai pengawal truk,” kata Ahmad.
Terkait sejumlah oknum warga yang terlibat, Ahmad mengimbau warga dapat membuka lahan pekerjaan lain atau memanfaatkan potensi wisata di daerah itu, seperti wisata Goa Lalai dan Pocong. Jika dua potensi wisata itu bisa dimanfaatkan dan berkembang, tentu pemberdayaan manusia dan ekonomi akan tumbuh.