Motif Pasien Covid-19 Melompat dari Lantai 13 RS Universitas Indonesia Belum Diketahui
Risiko gangguan mental dan kasus bunuh diri berpotensi meningkat di masa pandemi.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Seorang pasien positif Covid-19 berusia 53 tahun melompat dari jendela lantai 13 Rumah Sakit Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (3/9/2020). Polisi masih belum mengetahui motif korban.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Depok Komisaris Wadi Sabani mengatakan, pria itu tewas setelah melompat dari lantai 13 Rumah Sakit Universitas Indonesia sekitar pukul 10.50. Pria tersebut merupakan pasien Covid-19 dari Tangerang dan dirawat sejak 27 Agustus lalu.
Berdasarkan keterangan saksi, kata Wadi, sekitar pukul 10.00, salah satu perawat berencana akan mengambil darah korban, tetapi belum sempat mengambil darah, perawat tersebut menerima telepon dan keluar ruangan tempat pasien dirawat.
”Pada saat menerima telepon, saksi mendengar suara kaca pecah dari dalam ruang korban, kemudian saksi melihat ke dalam dan menemukan kaca jendela dalam keadaan pecah, setelah itu saksi berusaha melihat dari sudut berbeda dan terlihat pasien tergelatak di atap bangunan RS UI,” tutur Wadi, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (3/9/2020).
Wadi melanjutkan, perawat lainnya yang bertugas di lantai 5 juga menyampaikan keterang serupa. Perawat tersebut mendengar suara benda jatuh cukup keras dari ruangan di lantai 5. Dari lantai 6, perawat itu melihat pasien sudah tergeletak.
”Kami belum tahu dugaan motif pasien bunuh diri. Masih kami selidiki dulu. Dari hasil olah tempat kejadian perkara, kami menduga bahwa korban memecahkan kaca jendela lantai 13 rumah sakit menggunakan tabung oksigen,” kata Wadi, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (3/9/2020).
Melalui pesan singkatnya, Humas RS Universitas Indonesia, Kinanti mengatakan, pihaknya sudah menyerahkan penanganan kasus kepada pihak yang berwajib.
”Kasus tersebut sudah kami serahkan penanganannya kepada pihak yang berwajib. Sehubungan dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 2/Peraturan-DP/III/2019, mohon dapat menghargai privasi keluarga dan tidak memberikan kesimpulan sebelum pihak berwajib menuntaskan pemeriksaan. Demikian yang bisa kami sampaikan. Terima kasih,” tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, Kompas (6/8/2020), risiko gangguan mental dan kasus bunuh diri berpotensi meningkat di masa pandemi. Belum lama ini, di Surabaya, Jawa Timur, seorang pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 diduga bunuh diri dengan meloncat dari lantai 6 saat dirawat di RSU Haji, Kamis (30/7/2020). Diduga pasien mengalami depresi.
Sebelumnya, pada Maret 2020, seorang perawat di RS San Gerardo di Monza, Italia, bunuh diri setelah diketahui tertular Covid-19 dan khawatir menularkannya kepada orang lain (The Telegraph, 25/3/2020).
Beberapa studi di luar negeri menunjukkan tingkat kecemasan dan stres meningkat selama pandemi Covid-19, baik itu di kalangan masyarakat umum maupun pada tenaga kesehatan yang setiap hari berjibaku mengatasi serangan virus. Salah satunya studi dari Huang & Zhao (2020) yang menyebutkan pada masyarakat umum di China, tingkat kecemasan dan depresi dialami oleh 20,1-35,1 persen responden. Sementara pada tenaga kesehatan, kecemasan dan depresi dialami oleh 19,8-35,6 persen.
Dari penelitian yang dilakukan Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Universitas Gadjah Mada selama Maret-Juli 2020, dengan responden 294 orang, diketahui bahwa 57 persen mengalami keluhan psikologis berupa kecemasan, stres, dan gangguan kesehatan mental. Sebanyak 16 persen mengalami psikosomatis. Selebihnya mengaku mengalami masalah terkait relasi dengan orang terdekat, pekerjaan, studi, dan lainnya.
Theo K Bowman, profesor dari Departemen Psikologi Klinis University of Groningen, Belanda, dalam kuliah daring yang diselenggarakan Center for Public Mental Health(CPMH) Univeritas Gadjah Mada, Senin (27/7/2020), menyebutkan, dalam situasi pandemi sekarang ini, setidaknya terdapat empat gelombang dampak yang mungkin dihadapi yang dapat meningkatkan kecemasan, stres, bahkan depresi.
Pertama adalah dampak langsung atau aktual dari pandemi, yaitu beban kesehatan dan konsekuensi ekonomi. Di belahan negara mana pun dan di lapisan masyarakat apa pun kondisi ini tak terhindarkan.
Kedua, adanya penundaan terhadap pelayanan kesehatan untuk jenis penyakit yang lain, terutama penyakit kronis, karena pergerakan orang dibatasi. Orang menghindari datang ke rumah sakit karena takut tertular virus korona baru sehingga tidak mendapatkan layanan sebagaimana seharusnya atau serutin biasanya.
Ketiga, ada konsekuensi dari penanganan Covid-19. Orang yang sembuh dari Covid-19, kondisi tubuh dan kesehatannya tidak lagi sama seperti sebelumnya. Tidak diketahui apa dampak jangka panjang terhadap kondisi fisik dari perawatan intensif selama menderita Covid-19.
Terakhir, terkait munculnya gangguan mental yang sifatnya jangka panjang, seperti kecemasan yang kronis, kondisi stres pascakejadian yang traumatik (PTSD), perasaan kehilangan, atau sindrom pascaperawatan yang intensif (PICS).