Melebur dengan Korona: Refleksi Setengah Tahun Pandemi di Ibu Kota
Awalnya, kebijakan yang mengatur keamanan masyarakat berhasil menekan penyebaran virus. Kini, kebijakan yang muncul seolah berpihak pada tekanan ekonomi, itu pun bukan yang berbasis masyarakat.
Enam bulan pandemi Covid-19 menerpa Indonesia, Ibu Kota Jakarta tetap menjadi pusat perhatian untuk melihat berbagai kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Awalnya, kebijakan yang mengatur keamanan masyarakat berhasil menekan penyebaran virus korona baru secara drastis. Kini, kebijakan yang muncul seolah berpihak pada tekanan ekonomi, itu pun bukan yang berbasis masyarakat.
Sifat ini menggambarkan kebijakan publik di Indonesia secara umum. Pada awal pandemi terjadi pada Maret 2020, pemerintah pusat seolah enggan bertindak berlandaskan data kesehatan. Pertimbangan ekonomi selalu dinomorsatukan. Bahkan, daerah-daerah yang hendak memutuskan mengambil langkah keamanan sendiri dihalangi oleh pusat dengan alasan melanggar wewenang negara.
”Di masa awal pandemi justru DKI Jakarta cukup berani mengajukan konsep pembatasan sosial berskala besar (PSBB) walaupun ini sesungguhnya penghalusan dari istilah karantina. Akan tetapi, jelas landasan kebijakan adalah data kesehatan dan keamanan masyarakat,” kata pakar kebijakan publik Universitas Paramadina, Khoirul Umam, ketika dikontak dari Jakarta, Jumat (28/8/2020).
PSBB Maret hingga Mei membuahkan hasil yang baik walaupun ada kecemasan ketika hari raya Idul Fitri angka penularan kasus menaik. Buktinya, berkat komitmen masyarakat untuk tetap berada di rumah lonjakan kasus tidak terjadi.
Dalam wawancara eksklusif dengan Kompas pada 29 Mei, Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap PSBB sudah 60 persen. Tingkat penularan virus korona jenis baru juga menggembirakan, yaitu 1,1 sehingga bisa disimpulkan bahwa Jakarta berhasil mengendalikan pandemi.
Berdasarkan fakta itu, Pemprov DKI Jakarta memutuskan melonggarkan pembatasan menjadi PSBB transisi dengan membuka kembali berbagai perkantoran serta tempat makan. Syaratnya adalah kapasitas maksimal 50 persen dan harus terus memakai masker serta menjaga jarak. Anies menjanjikan adanya metode ”rem darurat”, yaitu kebijakan mengunci suatu wilayah apabila ada kenaikan kasus spesifik di tempat tersebut.
Namun, langkah ini berpengaruh terhadap kenaikan jumlah kasus positif. Pemprov DKI Jakarta mengatakan, tingginya kasus ialah karena sistem jemput bola yang gencar untuk mengetes masyarakat memakai uji reaksi rantai polimerase (PCR). Bukan menunggu ada orang sakit datang ke fasilitas kesehatan, petugas puskesmas mendatangi berbagai kelurahan untuk mengetes warga. Walhasil, ditemukan banyak orang tanpa gejala yang jumlahnya mencapai 55 persen dari total kasus.
Sistem jemput bola ini dipuji Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Indonesia. Hanya, kekurangan Jakarta dengan sistem tes dan penelusuran jejak kasus positif yang cukup sistematis tidak diiringi tingkat kepatuhan masyarakat yang semestinya kian siaga karena kini tidak ada lagi wilayah yang belum memiliki kasus positif.
Kekurangan Jakarta dengan sistem tes dan penelusuran jejak kasus positif yang cukup sistematis tidak diiringi tingkat kepatuhan masyarakat yang semestinya kian siaga karena kini tidak ada lagi wilayah yang belum memiliki kasus positif.
Kepala Bidang Data dan Teknologi Informasi Gugus Tugas Covid-19 Dewi Nur Aisyah menjelaskan, dari kumulatif jumlah kasus positif di Jakarta sejak Maret hingga Agustus, 70 persen terjadi pada masa PSBB transisi. Kian apatisnya masyarakat memakai masker dan menjaga jarak, ditambah kembalinya para pelaju dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bekerja di Jakarta meningkatkan risiko penularan.
Catatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, rerata penularan (postivity rate) pada akhir Agustus adalah 10 persen, melebihi batas aman yang disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 persen.
Per 30 Agustus, jumlah kasus positif adalah 39.280 dengan angka kematian 1.186, yaitu setara 3 persen dari total kasus. Semua kelurahan di Jakarta tercatat sebagai zona merah, bahkan ada yang menjadi zona hitam karena jumlah kasusnya melebihi 100 per kelurahan. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda Pemprov DKI Jakarta memberlakukan rem darurat, seperti pembatasan berskala lokal.
Baca juga: Upayakan Penanganan Maksimal, Dinkes DKI Jakarta Rekrut Tenaga Kesehatan Baru
Di tengah situasi ini, Pemprov DKI Jakarta malah mengumumkan akan membuka kembali bioskop. Pada 30 Agustus, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengunjungi bioskop XXI di Pusat Grosir Cililitan, Kramat Jati. Ia mengatakan, situasi bioskop unik karena pengunjung duduk menghadap satu arah, yakni layar. Berbeda dari restoran dan perkantoran yang orang-orangnya duduk berhadapan sehingga meningkatkan risiko tertular virus.
Selama setiap pengunjung dan staf tertib menjaga jarak, bermasker, tidak makan dan minum, ataupun mengobrol di dalam teater, serta penjualan karcis murni dilakukan secara daring, diharapkan tidak akan ada masalah yang signifikan. Belum ditentukan tanggal serta lokasi bioskop yang akan dibuka.
Juru bicara Gugus Tugas Covid-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, dalam kunjungan ke Kompas mengungkapkan bahwa dalam presentasi kepada gugus tugas, Pemprov DKI Jakarta menjabarkan bioskop merupakan penyumbang devisa terbesar di mal dan pusat perbelanjaan. Setidaknya pada masa sebelum pandemi, pendapatan yang diperoleh bisa mencapai Rp 10 triliun dalam setahun. Hal ini yang menggerakkan Pemprov DKI Jakarta bersiap menggerakkan ekonomi berbasis kelas menengah atas, apalagi anggaran Jakarta mengalami kontraksi hingga 53 persen semasa pandemi.
”Padahal, 60 persen perekonomian Jakarta digerakkan oleh sektor rumah tangga. Semestinya fokus dan penguatan dilakukan di sektor ini dulu dengan insentif berkesinambungan dan peningkatan keragaman bansos (bantuan sosial). Korporasi umumnya sudah memiliki struktur solid dan strategi alih daya sumber daya manusia apabila belum bisa beroperasi secara reguler,” kata Khoirul Umam.
Baca juga: Bagi Warga, Pembukaan Taman Lebih Masuk Akal Ketimbang Bioskop
Menurut dia, Jakarta terseret arus tekanan ekonomi yang sebelumnya menghantui pemerintah pusat. Pusat justru pihak yang terseok-seok dalam penanganan pandemi karena sejak awal bukannya menguatkan relasi dengan pakar kesehatan dan menyusun strategi menghambat penularan, justru agenda yang digaungkan adalah Rencana Undang-Undang Cipta Kerja serta Pertambangan, Mineral, dan Batubara. Inisiatif stimulus dan bansos yang lebih komprehensif malah baru dieksekusi beberapa hari lalu.
Jakarta adalah miniatur Indonesia. Persepsi masyarakat Ibu Kota terhadap pandemi berpengaruh pada pengambilan kebijakan dan perilaku masyarakat di wilayah lain. Oleh sebab itu, kebijakan yang terseret arus ini berbahaya karena bisa menjadi preseden bagi kabupaten/kota yang sedari awal penanganan pandemi tidak layak dan akan semakin menurun demi alasan penguatan ekonomi walaupun di sektor yang keliru.
”Apabila pada pertengahan tahun ada istilah ’berdamai dengan korona’, kebijakan dan perilaku masyarakat Ibu Kota kini cenderung ’melebur dengan korona’. Seolah tidak ada kecemasan lagi bahwa apabila tertular tidak hanya merugikan ekonomi, tetapi juga mengancam kesehatan dan nyawa,” tutur Khoirul.
Khoirul menjelaskan, belum terlambat untuk memperbaiki keadaan. Caranya, dengan menguatkan daya beli lokal. Dalam hal ini, harus ada fleksibilitas dalam jenis bansos. Jangan hanya terpaku pada paket kebutuhan pokok (bansos). Perlu juga bansos berupa bantuan tunai atau setidaknya kerja sama dengan warung dan toko kelontong lokal untuk memungkinkan terjadi perputaran uang lokal, minimal di skala kelurahan.
Perputaran ini selain menghidupkan kembali transaksi, juga membantu membatasi pergerakan warga. Mereka tidak perlu bepergian jauh-jauh untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Strategi pengawasan dilakukan secara komunal. Bisa mencontoh di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, yang memiliki kader masker di setiap rumah, yaitu anggota keluarga yang memastikan orang-orang rumah tersebut taat bermasker ketika bepergian meskipun jarak dekat.
”Dari pusat jangan persulit bentuk bansos. Di saat sekarang daerah harus bisa membuat inovasi pemetaan jenis bansos per wilayah dengan syarat transparan dan diawasi masyarakat,” katanya.
Citra pemimpin
Pada kesempatan berbeda, antropolog Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fadjar Thufail, menjelaskan, masyarakat Indonesia masih patronistik dan melihat citra dari pemimpin formal ataupun nonformal. Formal berupa pemimpin negara dan para menteri, kemudian menurun kepada gubernur, wali kota, bupati, dan jajaran aparatur pemerintahan. Nonformal ialah tokoh masyarakat, tokoh agama, artis, hingga pemengaruh di media sosial (influencer).
”Perilaku mereka jauh lebih kuat untuk menentukan sikap masyarakat dibandingkan dengan imbauan dan iklan,” ujarnya.
Selama orang-orang yang oleh masyarakat diletakkan di bawah lampu sorot sosial tidak memiliki literasi cukup mengenai pandemi dan malah mempromosikan teori konspirasi serta hoaks, masyarakat tidak akan satu suara dalam menghadapi pandemi. Apatisme akan terus mendapat ruang di situasi yang menentukan hidup dan mati seperti sekarang.
Baca juga: Pembagian Bansos dan Kasus Covid-19 yang Masih Tinggi
Fadjar mengatakan, media arus utama dan masyarakat skeptis yang kini harus cerewet menunjuk mereka yang tidak patuh terhadap protokol kesehatan. Apalagi jika orang tersebut figur politik ataupun artis. Jangan beri ruang bagi para pelanggar agar publik di akar rumput menyadari betul bahaya tindakan yang tidak disiplin pada kesehatan.
Pandemi masih melanda dan belum diketahui pasti akan berlangsung sampai kapan. Selama vaksin dan obat Covid-19 ini belum resmi ada serta ada di pasaran, pagebluk tetap menjadi ancaman. Di banyak kota lain di negara tetangga dan negara lain di dunia, pembatasan ketat kembali dilakukan saat terjadi lonjakan kasus positif kembali. Hal ini karena kesehatan dan keselamatan warga tetap nomor satu.