Dering Telepon Istri Lebih Mengerikan dari Tugu Peti Mati
Tugu Covid-19 yang muncul di Jakarta tidak begitu dipedulikan warga. Inisiatif tugu peringatan ini dinilai tidak mendidik karena membodohi masyarakat.
Tugu peringatan bahaya Covid-19 muncul di beberapa wilayah strategis di DKI Jakarta. Sejumlah warga tak begitu memedulikan tugu peti mati itu. Inisiatif tugu peringatan ini dinilai tidak mendidik karena membodohi masyarakat.
Tugu dengan hiasan peti mati itu salah satunya berdiri di pertigaan Jalan Danau Sunter Selatan, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tugu itu memuat data per 31 Agustus 2020 korban Covid-19 di kecamatan tersebut. Sebanyak 1.201 orang terinfeksi, dan 45 orang di antaranya meninggal.
”Waspada Covid-19. Sayangi nyawa Anda dan keluarga tercinta,” demikian pesan di tugu itu.
Baca juga: Melebur dengan Korona: Refleksi Setengah Tahun Pandemi di Ibu Kota
Iwan Irwansyah (36) tengah berada sekitar sepelemparan batu dari tugu itu, Kamis (3/9/2020) siang. Anaknya yang berusia 4 tahun berlari-lari kecil. Sang istri mengawasi dari pinggir Danau Sunter Selatan.
Warga Koja, Jakarta Utara, ini tak memedulikan tugu itu. Ia pun pesimistis tugu tersebut akan menggugah kesadaran warga tentang protokol kesehatan. Baginya, kesadaran tak mungkin muncul dari gimik semacam itu. Sebab, sejak Covid-19 melanda Indonesia, kesadaran warga pun beragam kadarnya.
”Di sini (Danau Sunter Selatan) selalu ramai, apalagi setiap malam minggu, ramainya minta ampun. Makanya, kami datang pas hari kerja. Kalau bicara tugu, biasa saja ketika saya melihatnya karena soal protokol kesehatan ini tergantung kesadaran masing-masing individu,” tuturnya.
Ia sendiri patuh mengenakan masker dan membawa cairan antiseptik, jauh sebelum tugu itu dibuat. Istrinya pun begitu. Sementara anaknya yang tidak mau memakai masker, ia bujuk agar bersedia menggunakan pelindung wajah.
Di saat bersamaan, sangat sering Irwan menyaksikan orang-orang tanpa masker berkeliaran. Protokol untuk tak berkerumun pun dilanggar.
Di samping tugu, berdiri tenda Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Menurut petugas Satpol PP, Burhanudin, petugas berjaga dari pagi hingga pukul 23.00 di sekitar danau. Petugas menjaga agar warga tetap mengenakan masker dan menjaga jarak satu sama lain.
Baca juga: Tugu Peti Mati Covid-19, Pengingat Bahaya Wabah Itu
Burhanudin berharap tugu itu bisa meringankan kerja petugas. Adanya tugu itu juga diharapkan bisa menyampaikan informasi mengenai bahaya virus korona baru. Paling tidak, katanya, ini melengkapi razia masker yang rutin dilakukan petugas.
Berangkat dari pengalaman Burhanudin, tak sedikit warga yang meremehkan Covid-19. Ini tergambar dari olok-olok warga ketika razia masker. ”Ketika kami tertib (razia) masker, warga di seberang jalan ada yang berteriak-teriak, ’udah gak ada korona woi’. Namun, kami panggil untuk mendengar argumentasinya, mereka tidak mau menjelaskan. Maunya mengolok-ngolok saja,” ujarnya.
Tegakkan aturan
Warga Cilincing, Jakarta Utara, Cekliy (42), menambahkan, ungkapan peraturan dibuat untuk dilanggar sudah terlalu mengakar. Betapapun mengerikan hiasan tugu, bangunan itu tak akan mampu menggugah kesadaran warga yang wataknya tidak mengenal disiplin.
”Kalau kata orang Jawa, masyarakat kita itu sakpenake dewe (seenaknya sendiri),” kata Cekliy saat ditemui di pinggir Danau Sunter Selatan.
Dia menambahkan, ini bukan kesalahan warga saja. Pemerintah ikut bertanggung jawab karena tidak tegas menerapkan aturan. Sanksi dibuat, tetapi dijalankan setengah-setengah. Akibatnya, warga menganggap enteng persoalan.
Pada Selasa (1/9/2020), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunjungi tugu yang baru dibuat pada akhir Agustus ini. Menurut Anies, tugu bertujuan untuk mengingatkan warga tentang bahaya Covid-19.
”Mudah-mudahan semakin banyak masyarakat yang disiplin (protokol kesehatan). Semakin sedikit masyarakat yang terpapar Covid-19 dan kota kita (DKI Jakarta) bisa terbebas dari Covid-19,” ungkap Anies, dikutip dari
Kompas.com.
Ungkapan peraturan dibuat untuk dilanggar sudah terlalu mengakar. Betapapun mengerikan hiasan tugu, bangunan itu tidak akan mampu menggugah kesadaran warga yang wataknya tak mengenal disiplin.
Tanah Abang
Di depan Blok B Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tugu peringatan Covid-19 juga muncul dengan pesan yang lebih jelas. Di peti mati secara terang-terangan dituliskan ”peti korban Covid-19”.
Akan tetapi, toh, pesan sejelas itu, kata pedagang jam di samping tugu, Endah Yuanita (26), tak menggugah kesadaran sejumlah pembeli. Ia beberapa kali mendapati pembeli tanpa masker. Namun, ia tetap melayani orang itu. ”Hari gini menolak pembeli hanya karena dia enggak pakai masker itu sama aja bunuh diri. Wong, lagi sepi gini, kok, nolak pembeli. Mau ada yang beli saja sudah syukur,” katanya.
Menurut sopir bajaj, Jamari (55), tugu itu dibuat tiga hari lalu. Dia tak begitu peduli pada pesan mengerikan di tugu itu. Sebab, ada hal yang lebih mengerikan, yakni dering telepon dari istrinya dari Cirebon, Jawa Barat.
”Sudah dua bulan ini saya enggak mengirim uang. Kalau istri menelepon, tak saya angkat. Batin saya menangis. Kalau telepon diangkat pun, pasti dia minta dikirimi uang, sementara uangnya belum ada,” ujarnya.
Sejak pagi buta, Jamari menarik bajaj. Hingga tengah hari, dia baru mendapat tiga penumpang dengan total ongkos Rp 35.000. Uang itu sudah habis Rp 20.000 untuk beli makan dan rokok. ”Sudah jam segini (13.00), uang sisa Rp 15.000. Uang setoran bajaj saja Rp 40.000, gimana mau ngirim uang ke kampung,” katanya.
Sudah dua bulan ini saya enggak mengirim uang. Kalau istri menelepon, tak saya angkat. Batin saya menangis. Kalau telepon diangkat pun, pasti dia minta dikirimi uang, sementara uangnya belum ada.
Tak mendidik
Pengajar filsafat pada Universitas Pelita Harapan, F Budi Hardiman, berpendapat, tugu peringatan Covid-19 dengan ornamen kematian itu mengingatkannya pada memedi sawah atau replika polisi di beberapa tikungan jalan. Meski bertujuan baik, idenya tak mendidik karena membodohi masyarakat.
Baca juga: Keberadaan Taman Menumbuhkan Solidaritas Masyarakat Perkotaan
Ide itu membayangkan masyarakat akan patuh ketika dihadapkan pada teror atau bahaya kematian. Sementara fakta menunjukkan, masyarakat akan menertawakan dan mengabaikan hal itu.
Dalam analisis historis, dia melanjutkan, tindakan ini mungkin saja gejala pemerintah pascakolonial yang merasa bisa mengontrol secara manajerial kerumunan manusia dengan semacam teror. Tugu peringatan itu merupakan teror moderat untuk mengingatkan pada kematian. Di era demokrasi, ide itu jelas tidak mendidik.
”Apakah dengan cara itu akan sampai informasi dengan benar? Atau jangan-jangan yang timbul hanya impresi estetis dari horor. Apakah ini bukan semacam hiburan negatif di ruang publik untuk menimbulkan efek yang sebetulnya horor, tetapi masyarakat justru menganggapnya sebagai lelucon?” katanya.
Menurut dia, pesan yang ingin disampaikan sebetulnya sederhana, yakni gunakan masker dan hindari kerumunan. Alangkah elok apabila hal itu disampaikan dengan bahasa lugas. Implementasinya di lapangan cukup dikawal oleh petugas.
Apakah dengan cara itu akan sampai informasi dengan benar? Atau jangan-jangan yang timbul hanya impresi estetis dari horor. Apakah ini bukan semacam hiburan negatif di ruang publik untuk menimbulkan efek yang sebetulnya horor, tetapi masyarakat justru menganggapnya sebagai lelucon?