Keberadaan Taman Menumbuhkan Solidaritas Masyarakat Perkotaan
Taman bukan sekadar benda mati. Ruang terbuka hijau ini jadi wadah pertemuan warga dari berbagai golongan. Dari pertemuan itulah muncul rasa solidaritas. Di tengah pandemi Covid-19, perlu ada upaya menjaga fungsi taman.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ruang terbuka hijau atau RTH, seperti taman, menjadi lokasi yang dapat menumbuhkan solidaritas masyarakat perkotaan. Sayangnya, jumlah taman di kawasan Jakarta saat ini masih jauh dari harapan.
Menurut Inisiator Ayo ke Taman, Niken Prawestiti, keberadaan taman di perkotaan sangat penting untuk menjadi ruang sosial. Ruang sosial ini dapat mengikis budaya hidup masyarakat perkotaan yang cenderung individualis.
”Masyarakat perkotaan sangat jarang bertemu dengan orang asing. Akibatnya, dapat meningkatkan kecurigaan dan memicu intoleransi,” katanya dalam diskusi daring Cerita Teman Taman ”Merajut Asa dan Rasa di Ruang Hijau Jakarta”, Rabu (2/9/2020).
Keberadaan taman diharapkan dapat menumbuhkan kedekatan antarawarga perkotaan dengan orang lain. Dengan begitu, yang muncul bukanlah kecurigaan, melainkan solidaritas antarwarga.
Hal ini lebih berpotensi tumbuh pada taman berskala lingkungan atau taman yang dekat dengan permukiman, seperti taman RT, RW, kelurahan, dan kecamatan. ”Taman-taman ini penting untuk menumbuhkan interaksi sosial yang lebih tinggi,” katanya.
Merujuk pada pernyataan Jan Gehl melalui bukunya yang berjudul Life Between Buildings: Using Public Space, Niken menyebutkan ada tiga kemungkinan masyarakat datang ke ruang publik. Tiga kemungkinan itu karena ada kebutuhan, pilihan, dan interaksi sosial.
Terkait dengan kategori kedua, Niken menduga masyarakat belum terdorong untuk datang ke taman karena melihat kondisi taman di sekitarnya yang tidak sesuai harapan. Sementara terkait kategori ketiga, ia menilai masyarakat belum memiliki kebiasaan datang ke taman seorang diri.
”Masyarakat masih aneh kalau datang ke taman sendiri. Biasanya mereka butuh alasan, entah ketemu teman atau olahraga bareng,” katanya.
Hal ini yang kemudian mendorong munculnya gerakan Ayo ke Taman. Warga dipancing untuk datang ke taman melalui sejumlah kegiatan. Menariknya, sebanyak 80 persen peserta yang terlibat dalam kegiatan tersebut mengaku baru pertama kali datang ke taman.
”Kami mengenalkan bahwa di Jakarta sebenarnya masih ada 30 jenis fauna dan lebih dari 150 jenis flora,” katanya.
Niken mengamati, fasilitas yang menjadi favorit di taman adalah tempat bermain anak. Fasilitas ini paling berpotensi menimbulkan interaksi sosial; dua orangtua atau lebih saling mengobrol sembari menjaga anak mereka bermain.
Sayangnya, di masa pandemi Covid-19 saat ini, banyak taman di perkotaan yang masih ditutup. Hal ini, lanjut Niken, memicu keresahan di kalangan masyarakat yang sudah tidak sabar kembali datang ke taman.
Seperti yang terjadi di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (30/8/2020). Orang-orang berkerumun di kawasan jalur pedestrian meskipun sudah mengetahui bahwa taman masih ditutup untuk publik.
Arsitek lanskap dan pegiat Kemitraan Kota Hijau, Nirwono Joga, sebelumnya mengatakan bahwa keberadaan taman penting untuk menjaga kesehatan warga selama pandemi Covid-19. Meski begitu, ada beberapa hal yang patut diperhatikan warga sebelum pergi ke taman, misalnya memilih lokasi taman yang terdekat dengan rumah.
”Sebisa mungkin ke taman yang bisa dijangkau dengan jalan kaki atau bersepeda dari rumah,” katanya.
Selain itu, warga harus selalu menjaga jarak fisik, mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, dan memakai masker. Bahkan, jika perlu, membawa masker cadangan. Hindari juga bersalaman dengan orang lain.
Warga yang merasa kurang bugar sebaiknya tetap berada di rumah. Hal ini bisa dicegah dengan melakukan pengecekan suhu tubuh sebelum memasuki taman.
Ia juga menyarankan warga menghindari kerumunan, menjaga etika batuk, dan membawa botol minum sendiri dari rumah. Selama berada di taman, hindari fasilitas di taman, seperti bangku taman, alat permainan anak, dan kolam air mancur.
Niken menilai, taman menjadi satu-satunya ruang publik di kota yang menyatukan dimensi lingkungan dan sosial. Di perkotaan, keberadaan kawasan hijau yang semakin menipis membuat keberadaan taman semakin istimewa.
Menurut Retno Wihanesta dari World Resources Institute (WRI) Indonesia, taman adalah salah satu bagian dari inner forest di dalam kota Jakarta. Inner forest ini dapat memiliki fungsi ekologis, seperti menyerap polusi, menurunkan suhu udara, dan mengurangi banjir.
”Adanya inner forest ini bisa mengurangi permasalahan banjir, perubahan iklim, dan polusi di Jakarta,” katanya.
Sayangnya, keberadaan RTH yang termasuk dalam inner forest di Jakarta masih jauh dari yang direncanakan. Kebutuhan RTH di Jakarta adalah 19.860 hektar, sedangkan luas RTH yang ada saat ini adalah 2.583 hektar.
”Saat ini, luas RTH di Jakarta masih sekitar 4 persen dari wilayah Jakarta. Padahal, rencana 2030 adalah sebesar 30 persen,” ujar Retno.