Sebagian warga tidak konsisten memandang pandemi Covid-19. Di satu sisi menyangkal adanya paparan virus, tetapi di sisi lain ketakutan saat menjalani tes kesehatan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga bersikap ambigu memandang pandemi Covid-19. Mereka menjalani aktivitas seperti biasa tanpa protokol kesehatan dan seakan tidak takut terpapar virus. Sementara mereka takut menjalani tes karena khawatir dinyatakan positif terkena Covid-19.
Sumiran (60) salah satunya. Warga Gandaria Utara, Jakarta Selatan, ini tidak yakin ada virus korona jenis baru (SARS-CoV-2). Sebab, kondisi tubuhnya baik-baik saja meskipun sempat batuk dan pilek. ”Aktivitas saya seperti biasa saja, tidak ada apa-apa,” ujar Sumiran, Rabu (2/9/2020).
Batuk dan pilek yang dialami Sumiran sembuh tanpa ia memeriksakan diri ke puskesmas. Alasannya tidak ke puskesmas untuk menghindari tes cepat dan tes usap karena khawatir reaktif maupun positif Covid-19. ”Tidak siap kalau reaktif atau positif. Takut stigma dari warga juga,” katanya.
Menurut Sumiran, warga menatap sinis dan menjauhi warga lain yang batuk atau pilek. Sikap itu berbarengan dengan celotehan seperti ”aduh Covid-19 tuh dan bahaya, sono gih jauh-jauh”. Kekhawatiran itu terjadi pula pada istrinya yang enggan berobat ke puskesmas ketika batuk dan pilek karena takut disangka terpapar Covid-19.
Sikap warga yang ambigu ini juga terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 26 Juli hingga 10 Agustus 2020 tentang perubahan pola pengelompokan sikap masyarakat selama pandemi. Sebanyak 24,6 persen dari 1.200 responden merasa siap tetapi tidak antusias atau tidak siap tetapi antusias dalam meniti kondisi normal baru. Jumlah tersebut meningkat dari jajak pendapat sebelumnya pada Juni. Saat itu jumlah warga yang ambigu sebesar 14,8 persen.
Warga lain, Leni Utami (24), mulai kongko sejak pelonggaran aktivitas. Karyawati ini khawatir terpapar sehingga memilih kongko dengan teman dekat dan hanya di rumah secara bergilir. ”Di rumah lebih sepi dan hanya bertemu orang yang sama. Kalau di tempat umum belum berani, takut terpapar virus,” kata Leni. Banyak kawula muda berpikiran demikian. Berkumpul hanya dengan teman dekat saja meminimalkan potensi terpapar virus.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat tambahan 3.075 kasus positif Covid-19 sehingga total menjadi 180.646 kasus. Sebanyak 43.059 orang dalam perawatan, 129.971 orang sembuh, dan 7.616 orang meninggal.
Tingginya penularan terlihat dari tren meningkatnya rasio kasus positif (positivity rate), yaitu perbandingan antara jumlah pemeriksaan dan kasus Covid-19 yang ditemukan. Sepekan terakhir, rasio positif 14,8 persen, jauh di atas ambang aman 5 persen yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, pada Selasa (1/9/2020), dari 15.293 orang yang diperiksa, 2.775 orang positif sehingga rasionya 18 persen.
Sejumlah pemerintah daerah mengambil langkah untuk menekan laju penularan ini. Kota Depok dan Kota Bogor, Jawa Barat, menerapkan pembatasan aktivitas warga dan jam operasional tempat usaha. Sementara DKI Jakarta menyosialisasikan bahaya penularan Covid-19 dengan menggunakan replika peti mati dan papan informasi.
Replika peti mati Covid-19 tersebar di delapan kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Pusat. Lokasinya antara lain di Simpang Lima Senen, lampu lalu lintas Cempaka Putih, Simpang Jembatan Anggrek, Jalan KH Mas Mansyur, Jalan Karang Anyar Raya, dan fly over Roxy. ”Untuk mengingatkan warga tetap waspada dan mengikuti protokol kesehatan. Apalagi kasus harian cenderung naik,” ucap Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi.
Sebelumnya replika peti mati korban Covid-19 juga dipajang di Pademangan Barat, Jakarta Utara, tepatnya di depan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di Jalan Ampera VII. Peti diletakkan di atas rangka besi setinggi lebih kurang 3 meter di pinggir jalan.
Pemajangan replika peti mati juga dilakukan di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Kemang Raya. Peti mati berwarna putih, bertuliskan Peti Korban Covid-19. Selain itu, maneken yang dipakaikan hazmat dan alat pelindung diri juga diberdirikan dekat peti.
Menurut Camat Mampang Prapatan Djaharuddin, pembuatan instalasi peti mati merupakan salah satu strategi menyosialisasikan bahaya Covid-19. ”Virus ini, kan, tidak kelihatan mata. Jadi, minimal harus percaya bahwa Covid-19 itu ada,” kata Djaharuddin.
Peneliti komunikasi kesehatan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Deddy Mulyana, menuturkan, sosialisasi tidak hanya mengandalkan penggunaan simbol-simbol, termasuk dengan cara memajang peti mati. Cara itu baru menjangkau masyarakat secara luas, tetapi belum memadai untuk menyediakan kedalaman informasi bagi warga.
Sosialisasi dari manusia ke manusia yang memungkinkan interaksi, selama mengikuti protokol kesehatan, tetap dibutuhkan guna memicu perubahan perilaku. Dari sudut pandang ilmu komunikasi, komunikasi yang bisa mengubah perilaku adalah yang dilandasi empati. ”Memahami perasaan terdalam orang lain, kuncinya di situ. Nah, yang bisa mengubah itu manusia, bukan benda,” ujar Deddy.