Pembatasan aktivitas yang berpotensi membangkitkan keramaian semakin diperlukan saat ini. Sebagian kalangan mengingatkan penambahan kasus baru paling banyak dari interaksi yang tak terkendali.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belakangan ini pembukaan lokasi keramaian diikuti dengan lonjakan kasus positif harian Covid-19. Tanpa langkah antisipatif, kawasan tersebut berpotensi menjadi pusat penularan virus korona baru. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan aktivitas yang berpotensi membangkitkan keramaian.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, sepekan terakhir sejak 25 hingga 31 Agustus, jumlah kasus harian konfirmasi positif Covid-19 berada di atas 2.000 kasus, bahkan mencapai 3.003 kasus pada 28 Agustus dan 3.308 kasus pada 29 Agustus.
Pada Selasa (1/9/2020), jumlah kasus Covid-19 bertambah 2.775 kasus sehingga total menjadi 177.571 kasus. Sebanyak 42.009 orang dalam perawatan, 128.057 orang sembuh, dan 7.505 orang meninggal.
Menurut Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Budi Haryanto, sudah banyak contoh lonjakan kasus setelah orang-orang berkumpul dan bertemu dalam jumlah besar. Lonjakan akan terjadi minimal sepekan setelah keluar hasil tes usap. ”Saat banyak orang berkumpul di satu titik, risiko penularan sangat besar. Kalau mau memutus atau mengurangi penularan, harus kendalikan potensi kerumunan,” ucap Budi.
Risiko penularan sangat besar karena orang abai dan sulit menerapkan protokol kesehatan dalam keramaian. Apalagi kemungkinan adanya orang yang membawa virus ataupun orang tanpa gejala. Karena itu, kata Budi, perketat pengawasan, bubarkan atau batasi tidak boleh berkumpul lebih dari lima orang. Upaya itu berkaca dari cara negara-negara lain menghadapi pandemi.
Cara lain dengan pembatasan aktivitas warga dan jam operasi tempat usaha, seperti dilakukan Kota Depok dan Kota Bogor, Jawa Barat. Langkah itu sebagai upaya meniadakan keramaian di ruang publik karena pada sore hingga malam hari orang-orang merelaksasi diri dengan berkumpul atau bertemu. ”Lihat nanti sepekan setelah pembatasan, terjadi penurunan kasus atau tidak. Kalau tidak, harus pembatasan sosial berskala besar,” ujarnya.
Budi menyarankan pembatasan sosial berskala besar diberlakukan minimal dua pekan. Sebab, dulu saat penerapannya belum banyak temuan kasus, tetapi jumlah kasus harian cenderung naik setiap hari. Sekarang jumlah kasus sudah hampir 10 kali lipat. Berarti situasi lebih berbahaya sehingga perlu upaya signifikan.
Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko menambahkan, pembatasan aktivitas warga dan jam operasi tempat usaha harus ketat serta mempertimbangkan dampaknya. Misalnya dampak pada pelaku usaha yang beroperasi mulai sore hingga malam hari. ”Supaya dapur tetap mengepul. Hitung pukul berapa idealnya dan warga harus memahami,” kata Tri.
Persoalan lain ialah kepatuhan kawula muda terhadap protokol kesehatan belum sama. Sebagian masih mengabaikan protokol kesehatan saat nongkrong di ruang publik. Hal semacam ini memicu risiko terjadinya penularan.
Sadar, tetapi abai
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, Kamis (13/8/2020), mengingatkan bahwa banyak pelajar dan mahasiswa tertular Covid-19. Anak muda, khususnya pelajar dan mahasiswa, rentan tertular karena paling banyak bergerak atau keluar dan relatif abai dengan protokol kesehatan.
Ada 1.302 pelajar dan mahasiswa positif Covid-19 dari hasil analisis 6.416 kasus atau 29 persen total kasus positif di Jakarta. Sisanya 1.446 orang belum atau tidak bekerja, 928 tenaga kesehatan, 696 karyawan swasta, dan 611 pekerja di sektor perdagangan.
Juhi Kasmara Rahayu (17) waswas dengan potensi penularan virus korona jenis baru. Walakin, rasa bosan mendorongnya untuk bertemu teman-temannya. ”Takut, tetapi bosan juga tidak nongkrong. Paling antisipasinya (saat nongkrong) bawa antiseptik dan lebih sering dipakai. Orangtua juga ingatkan jangan ramai-ramai dan cuci tangan,” ucap Rahayu.
Kondisi normal baru beserta cara adaptasinya juga mendorong kawula muda kongko. Fajar Wicaksono (20) kongko bersama teman yang sama karena ada keyakinan bahwa cara itu meminimalkan paparan virus. ”Sudah normal baru. Ada protokolnya (cara adaptasi) juga, kan. Ya nongkrong sama teman-teman,” kata Fajar.
Savero Karamiveta Dwipayana dari Tim Relawan Komunikasi Publik Satgas Penanganan Covid-19 menuturkan, di kalangan anak muda sebenarnya banyak yang sadar dengan keberadaan Covid-19. Walakin, mereka masih kongko, pergi bersama teman-teman, dan ke luar rumah tanpa mengenakan masker.
”Kami pun berupaya mengedukasi masyarakat dengan memproduksi konten digital yang dikemas lebih ringan agar lebih mudah diterima. Misalnya, selain konten infografis, juga terdapat konten video di kanal media sosial Tiktok @lawancovid19_id,” ucap Savero.
Demikian juga dikatakan Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Budi Haryanto. Menurut dia, pemerintah menggaet figur publik atau lembaga swadaya masyarakat untuk promosi kesehatan. ”Kawula muda, kan, lebih sering pegang gawai. Hadirkan konten lewat gawai, isinya edukasi, misalnya tidak kenakan masker bahayakan orang lain,” kata Budi.
Pandemi masih jauh dari usai. Enam bulan berjalan perlu upaya lebih serius atau signifikan untuk mengendalikan Covid-19.