Kendalikan Pandemi di DKI, Pastikan Tiga Indikator Terjaga
Kalau semua upaya penanggulangan wabah akibat virus korona baru diserahkan kepada pemerintah, tidak akan pernah ada sumber daya manusia yang mencukupi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indikator pandemi harus diterapkan kembali untuk mengendalikan penularan virus korona jenis baru di Ibu Kota. Jumlah kasus yang membeludak merupakan pertanda bahwa ada satu atau beberapa indikator yang mengendur. Komitmen semua pihak harus ditinjau dan dicanangkan kembali.
”Sejak sebelum libur 17 Agustus dan Tahun Baru Hijriah sudah tergambar bahwa akan ada penambahan kasus, tetapi tidak jelas penyebab bisa tembus hingga ribuan,” kata pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (31/8/2020).
Menilik laman corona.jakarta.go.id, rerata kasus positif (positivity rate) harian selama tujuh hari terakhir berkisar 6,5 persen-13,5 persen. Misalnya, untuk 30 Agustus 2020, dari 4.315 orang yang menjalani tes, terungkap ada 584 orang yang positif Covid-19 atau setara dengan 13,8 persen. Angka ini belum mencakup kasus positif yang diperoleh dari pengecekan spesimen. Pada 30 Agustus terdapat 5.328 spesimen yang dites dengan angka positif 908 spesimen atau 17 persen.
Menurut Pandu, keteteran tampak pada regulasi pemerintah meminimalkan pergerakan masyarakat. Pada hari raya Idul Fitri, pertengahan Mei 2020, misalnya, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) proporsional masih berlaku. Semua orang harus menghadapi sistem yang rigid untuk bisa pergi keluar kota. Salah satu ujung tombak pemantauan ialah surat izin keluar masuk (SIKM). Sistem ini terbukti bisa menekan pergerakan orang, bahkan tradisi mudik bisa ditahan.
Berkat kebijakan itu, pada akhir Mei, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa percaya diri mengumumkan bisa mengendalikan pandemi dengan tingkat kepatuhan masyarakat mencapai 60 persen. Gubernur Jakarta Anies Baswedan pada wawancara dengan Kompas tanggal 29 Mei 2020 mengungkapkan bahwa dari 1.200 fasilitas ICU di 172 rumah sakit hanya terisi berkisar 30-50 persen. Demikian pula dengan 45.000 tempat tidur yang terisi hanya 50 persen. Oleh sebab itu, PSBB transisi diputuskan bisa dilaksanakan.
”Namun, dari PSBB transisi yang semestinya melonggarkan pergerakan manusia tanpa melonggarkan pengawasan dan pendisiplinan justru kendur di semua aspek,” tutur Pandu.
Ia melihat dari tiga indikator pandemi, yaitu perhitungan epidemiologi, unsur kesehatan masyarakat, dan kesiapan fasilitas serta tenaga kesehatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta tanggal 30 Agustus, keterisian tempat tidur di RS sudah mencapai 70 persen. Mereka pun juga merekrut tenaga kesehatan baru serta menambah kapasitas sarana RS.
Pandu menjelaskan, hal ini menandakan ada satu indikator pandemi yang longgar, yaitu sektor kesehatan masyarakat. Di dalamnya mencakup kesadaran masyarakat untuk bermasker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, juga sistem pemantauan yang berkesinambungan agar tidak terjadi pelanggaran ketentuan keamanan masa pandemi.
Bisa dilakukan PSBB berbasis komunitas. Mulai dari permukiman yang memantau pergerakan warga serta kedisiplinan mereka bermasker hingga komitmen kantor-kantor untuk memastikan satuan tugas Covid-19 masing-masing memang mengawasi perilaku karyawan. Artinya jangan sampai ada karyawan tidak bermasker dan berkerumun. Baik pada jam kerja maupun jam istirahat.
”Kalau semua diserahkan kepada pemerintah, tidak akan pernah ada sumber daya manusia yang cukup. Akan tetapi, semua bagian dari aparatur pemerintah pusat dan daerah harus bisa menjadi teladan. Jangan malah menjadi contoh perbuatan tidak disiplin seperti lalai bermasker,” ujarnya.
Kalau semua diserahkan kepada pemerintah, tidak akan pernah ada sumber daya manusia yang cukup. (Pandu Riono)
Hingga akhir Agustus dan mengawali September, kantor-kantor pemerintahan, baik pusat maupun daerah, tidak luput dari penularan Covid-19. Kluster perkantoran yang terjadi di gedung milik pemerintah antara lain ada di Balai Kota Jakarta, DPRD Jakarta, Markas Besar Polri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dan kantor Wali Kota Jakarta Barat. Bahkan, ada tujuh pejabat Pemprov DKI Jakarta yang dinyatakan positif Covid-19 dan tengah menjalani isolasi mandiri.
Merata
Pusat kajian real estat dan perkotaan Universitas Tarumanagara, Center for Metropolitan Studies (Centropolis), memetakan persebaran kasus Covid-19 merata di Ibu Kota. Per 30 Agustus 2020 mereka memantau, dari 267 kelurahan yang merupakan zona putih atau dengan kasus positif nol ialah Kamal, Kamal Muara, Gelora, Glodok, Melawai, Rawa Barat, dan Kuningan Barat. Sisa 260 kelurahan adalah zona merah.
Kelurahan dengan jumlah kasus tertinggi pada tanggal tersebut ialah Tebet Barat (43 kasus), Duren Sawit (34 kasus), Penggilingan (34 kasus), Pegangsaan Dua (44 kasus), Kelapa Gading Barat (52 kasus), Koja (43 kasus), dan Cilincing (63 kasus). Peneliti Centropolis, Suryono Herlambang, mengatakan, pihaknya masih mengkaji penyebab tingginya kasus di setiap kelurahan. Mereka juga tengah memecah permasalahan hingga ke satuan rukun warga.