Setumpuk Pekerjaan Rumah agar Angkutan Umum di Jakarta Memenuhi Aksesibilitas Disabilitas
DTKJ menilai layanan angkutan umum di Jakarta belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan bertransportasi kalangan disabilitas. Dalam diskusi terungkap pekerjaan rumah pembenahan yang harus dikerjakan para operator angkutan.
Angkutan umum yang beroperasi di Jakarta belum semuanya bisa memenuhi aspek layanan dan kebutuhan bertransportasi bagi penyandang disabilitas. Pemprov DKI Jakarta melalui dinas perhubungan, dinas bina marga, juga para operator diharapkan bisa mewujudkan layanan transportasi Jakarta yang berkeadilan dan bukan hanya memenuhi kebutuhan kalangan disabilitas, tetapi justru melampui ekspektasi mereka.
Demikian terungkap dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) yang digelar Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), Rabu (26/8/2020), secara daring. FGD tersebut bertema ”Inventarisasi Kebutuhan Transportasi Kaum Difabel” dan menghadirkan sejumlah narasumber, antar lain dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Dinas Bina Marga DKI Jakarta, PT MRT Jakarta, PT Transportasi Jakarta (Trans Jakarta), PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), Pertuni, dan PPDI.
Dalam FGD tersebut terungkap sejumlah permasalahan di sektor transportasi umum kaitannya dengan layanan bagi disabilitas. Dari PT Transportasi Jakarta, operator bus cepat massal (bus rapid transit/BRT) Transjakarta milik Pemprov DKI Jakarta itu masih terus mengejar supaya semua halte memiliki aksesibilitas yang baik untuk kalangan disabilitas.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Divisi Integrasi Angkutan PT Transportasi Jakarta Bano Yogaswara menjelaskan, dari 240 halte Trans Jakarta, baru 67 halte yang ramah pada disabilitas. Halte yang sudah ramah disabilitas dicat dengan warna hijau dan diberi rambu disabilitas.
Baca juga: Balada Perempuan Disabilitas di Tengah Pandemi
Namun, lanjut Bano, sejumlah upaya untuk bisa memenuhi layanan bagi kalangan disabilitas sudah dikerjakan. Trans Jakarta telah melengkapi layanannya dengan stiker rute, pengumuman via suara (voice announcer), kursi khusus prioritas, hingga memiliki bus low entry atau bus berpintu masuk rendah sebanyak 289 unit sehingga penumpang berkursi roda bisa memasuki dan keluar bus dengan mudah.
Masih dari sisi layanan, Bano juga menyampaikan, Trans Jakarta menyiapkan layanan khusus bagi kalangan disabilitas dengan nama TJ cares. Terdapat 26 armada yang dapat dinikmati melalui order sehari sebelumnya.
Selama tahun 2019, sebanyak 51.499 pelanggan disabilitas yang terlayani. Terbanyak pelanggan tunanetra 21.103 orang, disusul tunagrahita 11.012 orang.
Dari FGD itu juga terungkap, layanan angkutan umum yang dirasa memenuhi kebutuhan layanan bertransportasi disabilitas adalah MRT Jakarta. Aksesibilitas yang cukup baik adalah dari layanan MRT.
Layanan angkutan umum yang dirasa memenuhi kebutuhan layanan bertransportasi disabilitas adalah MRT Jakarta.
Direktur Operasional dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta Muhammad Effendi, dalam FGD, menjelaskan, saat proses pembangunan hingga menjelang operasi komersial, manajemen PT MRT Jakarta selalu melibatkan aktivis dan komunitas disabilitas. Tujuannya untuk mengetahui dan memastikan kebutuhan layanan bagi mereka juga terselenggara.
”MRT Jakarta memastikan semua penumpang dari berbagai kalangan mendapatkan pengalaman yang menyenangkan dan kemudahan saat menggunakan MRT Jakarta dan berada di staisun MRT Jakarta,” papar Effendi.
Bila dicermati, di setiap stasiun MRT tersedia gerbang pembayaran yang lebar yang bisa dilewati kursi roda. Lalu ada ruang khusus kursi roda di dalam kereta, elevator khusus disabilitas, layar informasi untuk tunarungu, hingga tanda khusus sebagai penumpang prioritas.
Ketersediaan layanan itu, menurut Effendi, karena dalam mendesain untuk penyandang disabilitas, MRT Jakarta mendasarkan desainnya pada pedoman teknis pada fasilitas/aksesibilitas untuk gedung dan lingkungan yang diatur dalam Peraturan Menteri PU No 30/PRT/M/2006 dan pedoman akses bebas hambatan untuk fasilitas penggunaan transportasi publik yang diterbitkan MLIT atau Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Pariwisata, dan Transportasi Jepang.
”Dari aspek layanan, bahkan sebelum operasi komersial, bersama komunitas disabilitas kami juga melatih petugas stasiun bagaimana membantu penumpang disabilitas yang hendak menggunakan layanan MRT Jakarta,” ujar Effendi.
Sementara dari PT KCI, sejumlah layanan di stasiun ataupun di dalam rangkaian kereta rel listrik (KRL) bagi disabilitas juga disiapkan. Sama seperti MRT Jakarta, ada rambu-rambu dan petugas siaga yang siap membantu penumpang disabilitas di KRL.
Eka Setiawan yang mewakili Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) dalam FGD itu mengapresiasi forum tersebut. ”Anggap saja kami itu pengguna yang beragam. Melayani disabilitas itu bagian dari kebutuhan, bukan kewajiban untuk memenuhi standar aksesibilitas, kenyamanan, dan keamanan,” ujar Eka Setiawan.
Ia pun merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 agar layanan disabilitas dikerjakan serius dengan target yang harus disiapkan para operator angkutan umum.
Hal itu ditekankan Eka karena dalam diskusi itu juga mengemuka sejumlah permasalahan terkait aksesibilitas bagi disabilitas. Di antaranya, trotoar yang perlu agak ditinggikan, bus yang tidak bisa berhenti dekat dengan dermaga (fasilitas penghubung di halte untuk mempermudah mengakses bus) di halte, perpanjangan kartu gratis Trans Jakarta bagi kalangan disabilitas, penertiban trotoar yang digunakan untuk berjualan, ubin pemandu, lantai kereta dengan lantai peron yang belum sama tinggi, hingga ramp terjal di stasiun Bojonggede dan pengadaan lift untuk stasiun kereta yang sudah ada terowongannya.
Dihubungi di luar FGD, Bagus Supriyanto dari Pertuni dan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) menyatakan, untuk Transjakarta ia menyayangkan pihak manajemen yang menghilangkan peran petugas di dalam bus. ”Petugas itu bukan hanya mencarikan tempat duduk bagi penumpang, tetapi ia juga bisa membantu disabilitas saat darurat,” ujarnya.
Lalu di KRL dan stasiunnya, ia melihat ada beda ketinggian antara lantai peron dan lantai kereta. ”Tidak bisa asal naik, kan? Makanya GAUN mengusulkan, kalau yang infrastrukturnya belum memenuhi, itu perlu dibantu dengan ramp-ramp hidrolik atau alat bantu yang memang mempermudah teman-teman. Jangan sampai kejadian teman tunanetra terjatuh di antara peron dan kereta. Ini, kan, bahaya,” kata Bagus.
Baca juga: Solidaritas Sosial dengan Layanan Makan Siang Gratis
David Tjahjana dari GAUN yang juga dihubungi terpisah menjelaskan, penyediaan fasilitas bagi disabilitas itu dipandang sebagai aksesibilitas bagi disabilitas dan harus dilihat sebagai satu sistem. Dalam arti, kalau ada angkutan umum dan akses, itu artinya harus bisa diakses mulai dari rumah hingga tempat tujuan.
”Kalau dari rumah trotoarnya bisa diakses mudah, lalu berganti trotoar ke yang lebih besar, kemudian hendak masuk ke halte, itu mudah diakses atau tidak? Dari halte ke bus, mudah diakses atau tidak? Lalu di tempat tujuan, bisa turun atau tidak? Jangan-jangan tidak bisa turun karena susah akses. Di KCI juga begitu, kalau katakan dari rumah di Bogor bisa diakses, maka saat turun di Manggarai bisa akses atau tidak karena harus menyeberang peron,” ujarnya.
Menurut David, aksesibilitas bagi disabilitas itu harus bersifat end to end, artinya dari berangkat sampai akhir lancar. Kalau di tengah bermasalah, maka tidak bisa diakses. Karena bagi disabilitas, maka ia tidak bisa menjalankan perjalanan dengan baik.
Artinya, lanjut David, MRT Jakarta memang sudah memenuhi kebutuhan bertransportasi disabilitas. ”Tetapi, bagaimana dari rumah ke dan dari titik stasiun atau halte? Itu tidak boleh bermasalah,” ujarnya.
Itu sebabnya, GAUN sangat mendukung apabila ada pembenahan-pembenahan yang dilakukan pemerintah, utamanya dari Dinas Bina Marga. ”Namun, untuk perbaikan trotoar, sebaiknya kami juga dilibatkan dari awal dari perencanaan sehingga bisa mengawal. Kalau selama ini kami dilibatkan selalu di tengah atau di akhir yang akhirnya harus dibongkar,” kata David.
Bila melihat aksesibilitas bagi disabilitas sebagai satu sistem, lanjut David, pekerjaan rumah Pemprov DKI Jakarta dan operator ini sungguh banyak. Dari sisi layanan saja, sebetulnya Dinas Perhubungan dan Trans Jakarta bisa memetakan di mana teman-teman disabilitas lebih banyak berkegiatan atau bertempat tinggal sehingga layanan bus dan trotoar yang berkualitas bisa dihadirkan di sana.
Ketua DTKJ Haris Muhammadun menyatakan, dari FGD tersebut, pemenuhan kebutuhan bertransportasi bagi disabilitas berbeda-beda. Trans Jakarta dari sisi prasarana, seperti halte, masih sedikit yang ramah disabilitas. Untuk itu harus didorong seluruh halte bisa ramah disabilitas.
Lalu, MRT jauh lebih baik karena didesain lebih baru sehingga dari sisi stasiun dan kereta sudah terpenuhi aspek disabilitas. ”Hanya di KCI ada masalah ketinggian yang ditemukan. Dalam PM No 63 Tahun 2019 boleh selisih minimal 20 cm, padahal di PM No 48 Tahun 2015 disebutkan maksimum 10 cm. Ini kami ingin kejar kenapa ada penurunan,” kata Haris.
Itu sebabnya DTKJ akan membentuk tim kecil dari Komisi Kelaikan dan Keselamatan untuk melakukan pengecekan di lapangan terkait sarana dan prasarana yang ramah terhadap disabilitas. Juga untuk membuat survei berapa selisih tinggi peron di semua stasiun di Jakarta yang memenuhi standar peraturan tadi. ”Idealnya antara tinggi peron dan lantai kereta itu selevel supaya tidak membahayakan,” ujarnya.
DTKJ akan membentuk tim kecil dari Komisi Kelaikan dan Keselamatan untuk melakukan pengecekan di lapangan terkait sarana dan prasarana yang ramah terhadap disabilitas.
Selain itu, lanjutnya, FGD ini juga menjadi kesempatan untuk memperbarui data terkait revitalisasi trotoar, peningkatan halte atau stasiun, hingga perbaikan akses ke layanan angkutan umum.
”Ini perlunya DTKJ untuk mendorong dan menyatukan persepsi dari regulator dalam hal ini Dinas Bina Marga dan operator, bagaimana memenuhi standar dan ekspektasi disabilitas,” ujarnya.
Dari pemantauan DTKJ, lanjut Haris, untuk angkutan umum berbasis jalan bisa dikatakan masih rendah pemenuhan aksesibilitasnya. Itu karena dari halte saja masih sedikit yang ramah disabilitas. Sementara angkutan berbasis rel sudah lebih baik, tetapi stasiun-stasiun lama, seperti milik KCI, memang masih harus dibenahi.
Ketua Litbang DTKJ Leksmono Suryo Putranto juga menyatakan, fokus dari DTKJ adalah menyoroti sudah berapa persen sarana dan prasarana transportasi yang memenuhi standar kaum disabilitas.
”Kami sedang menghitung dan memperbarui data tentang berapa persen trotoar, jumlah bus atau kereta api dan halte yang sesuai spesifikasi yang menjadi ekspektasi kaum disabilitas dan mendorong para penyelenggara mewujudkannya sesegera mungkin,” ujarnya.