Pajangan Peti Mati Tidak Cukup Garang Mendisiplinkan Warga
Sosialisasi dari manusia ke manusia yang memungkinkan interaksi, selama sesuai protokol kesehatan, tetap dibutuhkan guna memicu perubahan perilaku. Pendekatan itu wajib diiringi dengan empati dan simpati terhadap sesama.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
Di sejumlah lokasi di DKI Jakarta, jajaran pemerintah provinsi menyosialisasikan bahaya penularan Covid-19 dengan menggunakan replika peti mati. Ini dinilai bentuk komunikasi yang berpotensi menjangkau masyarakat luas, tetapi belum cukup untuk memberikan kedalaman informasi.
Replika peti mati korban Covid-19, antara lain, dipajang di Pademangan Barat, Jakarta Utara, tepatnya di depan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di Jalan Ampera VII. Peti diletakkan di atas rangka besi setinggi lebih kurang 3 meter di pinggir jalan.
Namun, peti tersamarkan karena diselubungi bekas spanduk berwarna putih. Pada rangka terdapat papan untuk menginformasikan jumlah kasus positif Covid-19 dan kasus meninggal. Sayang, belum ada angka-angka data yang dituliskan di sana.
”Itu dipasang sekitar seminggu lalu,” ucap pembuat kunci duplikat, Arif (19), Kamis (27/8/2020). Menurut dia, sejak awal angka informasi jumlah kasus dan jumlah yang meninggal memang belum dicantumkan.
Sesuai dengan pesan yang dibawa replika peti mati, Arif khawatir tertular SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Namun, ia tidak bisa berhenti membuka jasa duplikat kunci dan berinteraksi dengan banyak orang mengingat ia butuh pemasukan untuk hidup.
Meski demikian, pernyataannya kontradiktif dengan sikapnya. Arif sepanjang mengobrol tidak mengenakan masker.
Sementara itu, seorang penagih utang, Danu (35), malah tidak sadar bahwa di sana ada pajangan replika peti mati. Padahal, hampir setiap hari ia melintasi Jalan Ampera VII dan SPBU di sana untuk bertemu pengutang.
Danu (35) malah tidak sadar bahwa di sana ada pajangan replika peti mati. Padahal, hampir setiap hari ia melintasi Jalan Ampera VII dan SPBU di sana untuk bertemu pengutang.
Sama seperti Arif, Danu tidak mengenakan masker meski sedang duduk di pinggir jalan. Ia bahkan merasa Covid-19 tak terlalu mengancam kesehatan, tidak semengkhawatirkan yang selama ini sudah disosialisasikan. ”Dampak yang terasa di ekonomi,” ujarnya.
Padahal, berdasarkan data hingga Kamis pukul 10.00, Pademangan Barat tercatat sebagai kelurahan dengan angka kematian tertinggi se-DKI akibat Covid-19, yaitu 16 kasus. Berdasarkan pembaruan hingga 20 Agustus, dua rukun warga di Pademangan Barat termasuk dalam 24 RW zona rawan di Ibu Kota, yaitu RW 013 dan RW 015.
Pemajangan replika peti mati sebelumnya juga dilakukan pihak Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Kemang Raya. Peti mati berwarna putih, bertuliskan Peti Korban Covid-19. Selain itu, maneken yang dipakaikan hazmat alat pelindung diri juga dipajang di dekat peti.
Camat Mampang Prapatan Djaharuddin mengatakan, peti terbuat dari barang-barang bekas, hasil kreasi sejumlah petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU). Ini merupakan tindak lanjut arahan Pemprov DKI.
Namun, sejak dua hari lalu, instalasi diambil lagi karena ada permintaan dari tingkat provinsi agar warna peti diseragamkan menjadi coklat. ”Dipasang lagi nanti, menunggu seremoni tingkat provinsi,” kata Djaharuddin.
Menurut Djaharuddin, pembuatan instalasi peti mati Covid-19 merupakan salah satu strategi menyosialisasikan bahaya Covid-19. ”Virus ini, kan, tidak kelihatan mata. Jadi, minimal harus percaya bahwa Covid-19 itu ada,” katanya.
Apalagi, ada peningkatan kasus di wilayah Mampang Prapatan. Terdapat tambahan 16 kasus positif hari Kamis ini di kecamatan itu, membuat total kumulatif kasus se-Mampang Prapatan menjadi 321 kasus sejak awal pandemi. Tambahan kasus ”disumbang” empat dari total lima kelurahan di wilayah itu.
Peneliti komunikasi kesehatan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Deddy Mulyana, menilai penggunaan simbol untuk menyosialisasikan bahaya tertentu bukanlah cara baru. Ia mencontohkan, di sejumlah daerah, bangkai mobil eks kecelakaan lalu lintas dipajang di pinggir jalan untuk membuat masyarakat takut melanggar peraturan lalu lintas demi keselamatan berkendara.
Pemasangan peti mati baru menjangkau publik secara luas, tetapi belum memberi kedalaman pemahaman bahaya Covid-19 kepada masyarakat.
Namun, untuk mengefektifkan sosialisasi terkait risiko penularan Covid-19, Deddy meminta Pemprov DKI tidak hanya mengandalkan penggunaan simbol-simbol, termasuk dengan cara memajang peti mati. Cara itu baru menjangkau masyarakat secara luas, tetapi belum memadai untuk menyediakan kedalaman informasi bagi warga. Karena itu, sosialisasi dari manusia ke manusia yang memungkinkan interaksi, selama mengikuti protokol kesehatan, tetap dibutuhkan guna memicu perubahan perilaku.
Dari sudut pandang ilmu komunikasi, komunikasi yang bisa mengubah perilaku adalah yang dilandasi empati. ”Memahami perasaan terdalam orang lain, kuncinya di situ. Nah, yang bisa mengubah itu manusia, bukan benda,” ujar Deddy.
Deddy memandang, hingga saat ini pemerintah belum optimal melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, seperti tokoh agama, guru, budayawan, dan tokoh yang dihormati di masyarakat, guna menyosialisasikan pencegahan penularan Covid-19.
Hal itu senada dengan pendapat yang sebelumnya disampaikan sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat. Tokoh-tokoh masyarakat semacam itu biasa disebut agen informal, atau dalam bahasa dia, forum kekeluargaan. Pemerintah, menurut Rakhmat, masih lebih banyak berkutat dengan saluran-saluran formal guna mengomunikasikan risiko penyebaran Covid-19.