Rutinitas selama pandemi Covid-19 banyak mengubah pola hidup warga kota. Situasi ini mengajarkan semua pihak agar menyiapkan kota yang lebih tahan menghadapi krisis.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir genap lima bulan pandemi Covid-19, Prima Zahara (28) terus menjalani rutinitas sehari-hari dengan menggunakan masker. Setiap hari melalui rute kereta Depok-Jakarta, dia berusaha mengikuti antrean jaga jarak fisik yang diterapkan dalam protokol kesehatan.
Perempuan asal Depok, Jawa Barat, itu kini terbiasa duduk berjarak untuk menghindari kerumunan. Prima mewanti-wanti saat batuk atau bersin di dalam kereta, terutama karena tahu potensi penularan itu sebagian besar keluar dari mulut.
Cara-cara itu dilakukan atas kesadaran diri Prima bahwa dirinya yang tampak sehat bisa saja turut menularkan virus. Dia memandang, masker bukan hanya untuk melindungi diri, melainkan juga mencegah diri sendiri dalam proses menularkan.
Selama pandemi, Prima paling sering menerapkan aturan jaga jarak di keramaian, terutama karena kerumunan di angkutan umum, baik saat, sebelum, maupun sesudah pandemi, membawa kerugian akibat ruang yang makin sempit untuk bergerak. ”Dulu desak-desakan di kereta cuma rugi karena enggak dapat tempat. Sekarang ruginya dobel karena risiko tertular Covid-19,” ujarnya di Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Selain Prima, Azka Putri (27) juga menyadari masalah serupa. Pekerja di perusahaan telekomunikasi ini masih menjalani kebijakan bekerja dari rumah sejak April silam. Perempuan ini menggelisahkan berbagai praktik protokol kesehatan yang belum merata di berbagai tempat. ”Dari awal-awal pandemi di Jakarta, aku sudah benar-benar jarang keluar rumah. Sebelumnya aku masih ada kegiatan sosial di permukiman padat bareng anak-anak kurang mampu. Tetapi, sekarang kegiatan itu pun makin jarang karena pembatasan sosial,” jelasnya.
Cerita Prima dan Azka mungkin mewakili kewaspadaan kaum urban terkait pembatasan sosial selama pandemi Covid-19. Di sebagian wilayah Jakarta, tampak sulit untuk membatasi kerumunan serta pergerakan orang. Namun, sebagian orang kini terus berupaya membiasakan pola hidup baru tersebut.
Perubahan, pelajaran penting
Seiring dengan transisi pola hidup warga, sejumlah kalangan peneliti juga memandang masa pandemi sebagai pembelajaran penting untuk tata kota. Direktur Pengembangan Lanskap Urban dari World Resources Institute (WRI) Center for Sustainable Cities, Rogier van den Berg, menilai pandemi akan banyak memengaruhi lanskap pembangunan kota di banyak negara ke depan.
Van den Berg memandang, banyak negara selama ini mengabaikan masalah esensial tentang kelayakan tempat tinggal untuk warga. Ia menyoroti masalah permukiman padat di sejumlah negara yang cenderung tak sehat untuk ditempati.
Michael Kimmelman, kritikus arsitektur dan lanskap perkotaan untuk The New York Times, menuliskan situasi pandemi sebagai fenomena yang anti-urban. Dalam artian, pandemi yang terjadi saat ini tidak memungkinkan kegiatan interaksi antar-orang terjadi karena adanya risiko penularan.
Kimmelman mengatakan, situasi pandemi seakan menjadi kritik untuk kota. ”Apakah selama ini kita terlalu berkerumun dalam kelompok urban sehingga semua orang harus lebih berjarak?” ujarnya.
Selama pandemi, Van den Berg menyoroti permasalahan mendasar kota yang kerap luput diperhatikan. Hal tersebut meliputi pengelolaan permukiman, kesehatan masyarakat, serta tata air.
Dalam laporan bertajuk Towards a More Equal City disebutkan bahwa sistem tata air serta permukiman yang layak menjadi permasalahan menahun sejumlah kota di Asia dan Afrika. Laporan memprediksi sekitar 1,2 miliar penduduk kota di dunia akan semakin kesulitan mendapat permukiman yang layak.
Dengan masalah kepadatan seperti itu, Van den Berg menyebutkan, penanganan krisis seperti pandemi Covid-19 akan makin sulit dilakukan ke depan. ”Covid-19 mungkin alarm bagi kita untuk memperbaiki masalah tersebut sebelum situasi menjadi lebih parah,” ungkapnya.
Selain sejumlah penataan tersebut, kota perlu belajar memanfaatkan bermacam data berskala nasional. Hal tersebut sangat penting sebagai dasar pengambilan keputusan dalam penanganan krisis.
Associate professor bidang sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, menilai berbagai elemen penanganan krisis semacam itu belum dimiliki Indonesia. Dalam perspektif ketahanan sosial atau sociotechnical resilience, Indonesia masih banyak kekurangan dari segi infrastruktur dan lembaga saat pandemi mulai melanda (Kompas, 30/5/2020).
Di Indonesia hanya tersedia 1,2 tempat tidur di rumah sakit untuk 1.000 orang. Angka tersebut mengacu pada data Bank Dunia tahun 2015. Angka itu terbilang rendah dibandingkan dengan Jepang. Data serupa menyebut Jepang memiliki 13,4 tempat tidur di rumah sakit untuk 1.000 orang. Kondisi ini yang disebut Sulfikar sebagai permasalahan infrastruktur.
Pandemi juga diperparah dengan keabsenan lembaga yang khusus berperan sebagai juru penanganan wabah. Meski ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lembaga ini tidak secara spesifik menangani wabah. Secara kelembagaan pun BNPB tidak didominasi oleh orang-orang yang memahami penanganan wabah secara epistemologis.
Peneliti dan pengajar di Departemen Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengatakan, pandemi menjadi pengingat akan persoalan esensial wilayah urban yang belum terselesaikan. Selagi kesadaran warga terhadap pola hidup bersih dan sehat sedang tinggi, penting untuk terus membenahi kelayakan permukiman dari aspek kesehatan.
”Pandemi telah menjadi momen pengingat bagi warga untuk hidup lebih bersih dan sehat. Alangkah baik kalau itu juga menjadi momen untuk membenahi lingkungan yang lebih layak. Sebab, saat ini, permukiman padat berisiko menularkan wabah lebih masif,” tuturnya.