Risiko paparan virus korona jenis baru semakin besar. Risiko itu memungkinkan terjadi karena kurangnya upaya untuk menerapkan protokol kesehatan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga beraktivitas seperti biasa seolah pandemi sudah berlalu. Sikap seperti ini membuka peluang paparan virus korona baru semakin terbuka. Tanpa adanya langkah-langkah serius, laju penambahan kasus baru bisa tidak terbendung.
Dua pekan terakhir semakin banyak penambahan jumlah kasus harian di DKI Jakarta. Ada 711 kasus konfirmasi positif pada Rabu (26/8/2020). Sementara tiga hari terakhir ada 637 kasus pada 23 Agustus, 659 kasus pada 24 Agustus, dan 636 kasus pada 25 Agustus. Pemprov DKI menjelaskan jumlah kasus dan rasio positif tinggi karena semakin banyak tes usap.
Dampaknya pada ketersediaan ruang isolasi dan ruang unit perawatan intensif (ICU) bagi pasien Covid-19 di rumah sakit rujukan. Dinas Kesehatan DKI Jakarta hingga 23 Agustus mencatat, sebanyak 64 persen dari 4.456 tempat tidur isolasi di 67 rumah sakit rujukan terisi dan 71 persen dari 483 tempat tidur ICU juga terisi.
Situasi ini bertolak belakang di tingkat warga. Misalnya di Kemandoran Pluis, Jakarta Selatan. Banyak warga beraktivitas seperti biasa tanpa protokol kesehatan. Salah satu warga, Dyah Meilani (24), menuturkan, situasi ini berbeda dari sebelum transisi yang mana ada pembatasan akses masuk dan aktivitas warga.
”Sekarang jarang ada sosialiasi, paling imbauan dari pengurus rukun tetangga jangan lupa pakai masker,” ucap Dyah. Demikan juga untuk sidak masker, jarang berlangsung. Menurut dia, awas risiko Covid-19 seakan hanya menjadi pajangan berupa spanduk dan poster.
Willy (26), pemilik kedai makanan dan minuman di Jakarta Pusat, mengamini kendurnya penegakan protokol kesehatan. Pada awal transisi, perangkat wilayah dan pengurus warga rutin mengingatkan supaya pengunjung patuh mengenakan masker dan menjaga jarak. Demikian juga pengunjung dengan sendirinya patuh.
”Ada satu atau dua pengunjung tak pakai masker, pasti ditegur,” kata Willy. Namun, sekarang, kepatuhan semakin kendur. Sudah jarang ada imbauan. Bahkan, pengunjung mengobrol tanpa mengenakan masker.
Menurut Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, pemahaman warga terhadap risiko dan konsekuensi terpapar Covid-19 rendah. Apalagi, ada ketakutan untuk tahu telah terpapar virus atau bagian dari kontak erat. Ketakukan timbul karena tidak siap untuk isolasi ataupun rawat di rumah sakit. ”Sulit memang, tetapi harus terus-menerus diingatkan risiko dan konsekuensi dari Covid-19,” kata Hasbullah.
Hasbullah menuturkan, harus ada kesadaran bahwa jika terpapar Covid-19 akan merugikan dirinya sendiri dan orang sekitar. Sebab, risiko dan konsekuensi terjadi kepada diri sendiri dan keluarga. Contoh peringatan risiko dan konsekuensi dari paparan Covid-19 di antaranya adalah kematian tidak bisa ditukar dengan uang, bisa menularkan ke anggota keluarga lain, dan kehilangan pekerjaaan. ”Pemahaman seperti itu bisa membangun kesadaran untuk menjaga diri dan keluarga dari paparan virus,” ujarnya.
Sebelumnya Pemprov DKI meminta ketua rukun warga membentuk kader penanganan Covid-19 di setiap rumah. Wakil Gubernur Jakarta Ahmad Riza Patria, Sabtu (22/8/2020), mengatakan, kader penanganan Covid-19 yang ada di setiap rumah bertugas untuk memeriksa kondisi anggota keluarga dan melaporkan kepada ketua rukun tetangga. Walakin, imbauan ini belum terlaksana di lapangan.
Ide ini bagus apabila bisa terwujud karena seperti sistem sel. Karenanya, Hasbullah meragukan efektivitasnya selama tidak diimbangi dengan pengawasan yang baik dan kompensasi. Persoalan lain menjaring kader yang punya pengaruh sehingga warga mengikuti arahannya. ”Bisa jadi bagus dalam konsep, tetapi pelaksanaan sulit. Belum lagi kadernya didengar atau tidak. Apalagi, di Ibu Kota, warga cenderung cuek satu sama lain,” katanya.