Ganjil Genap di DKI Sudah Tepat, Perkuat dengan Pembatasan di Sisi Hulu
Di tengah PSBB transisi, Pemprov DKI Jakarta menerapkan kebijakan ganjil genap. MTI yakin ganjil genap sudah tepat, tetapi harus diterapkan dengan pembatasan di tempat kerja, tempat usaha, dan sekolah.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
Kebijakan ganjil genap yang diterapkan Dinas Perhubungan DKI Jakarta dinilai sudah tepat. Kebijakan itu diharapkan mendorong tempat usaha baik perusahaan maupun kantor untuk semakin mengatur jadwal kerja dan jumlah pekerja demi membatasi pergerakan orang dan volume kendaraan di jalanan. Karena itu, ada baiknya ganjil genap diterapkan seharian.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) wilayah DKI Jakarta Damantoro, Senin (24/08/2020), menjelaskan, ganjil genap menjadi salah satu kebijakan yang mendorong semua pihak untuk bertanggung jawab pada pandemi Covid-19. Salah satu caranya dengan membatasi fisik.
Ganjil genap merupakan kebijakan untuk mengurangi volume kendaraan sehingga pengelola kantor atau perusahaan yang mempekerjakan banyak karyawan juga memiliki upaya untuk menerapkan cara dan mematuhi kebijakan bekerja dari rumah atau kalau ada yang boleh bekerja diatur maksimal 50 persen dari kapasitas.
Dengan demikian, karyawan yang masih harus masuk bekerja akan memiliki perubahan cara berpikir bahwa angkutan bukan hanya kendaraan pribadi mobil atau sepeda motor, melainkan juga ada angkutan umum MRT, LRT, KRL, juga bus TransJakarta. Bahkan, di saat pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi, angkutan umum dioperasikan dengan cara menambah frekuensi dan jam layanan.
Di saat pandemi, lanjut Damantoro, Pemprov DKI Jakarta tetap menggelontorkan subsidi angkutan umum. Dengan dana subsidi yang berasal dari pajak yang dibayarkan masyarakat, seharusnya masyarakat memaksimalkan angkutan umum.
”Akan sayang kalau subsidi yang sudah disiapkan tidak dipakai, apalagi kalau load factor angkutan umum rendah karena tingkat kemanfaatannya tidak maksimal. Subsidi itu dari pajak semua,” ujarnya.
Namun, apabila dengan adanya angkutan umum yang beroperasi dengan subsidi kemudian kantor atau tempat usaha malah tetap meminta karyawan berkantor, seharusnya perusahaan ikut bertanggung jawab atas keselamatan karyawan. Salah satunya dengan menyediakan angkutan pergi dan pulang karyawan supaya tidak perlu bertransportasi dengan angkutan umum.
Damantoro menjelaskan, dari data perjalanan orang di Jabodetabek, saat ini ada 80 juta trip per hari. Sebesar 80 persen dari 80 juta trip itu diisi oleh karyawan dan anak sekolah.
Sementara transportasi merupakan kebutuhan turunan akibat adanya pergerakan orang, adanya aktivitas. Itu artinya, untuk sama-sama mengatasi pandemi, sisi hulu atau sumber pergerakan orang, yaitu kantor atau tempat usaha atau sekolah, harus dibatasi.
Selama hal tersebut tidak dibatasi, kebutuhan bertransportasi akan ada terus. Itu sebabnya, bisa dikatakan, ganjil genap ini menjadi cara pemerintah untuk mendorong setiap kantor atau perusahaan atau tempat kerja untuk mematuhi kebijakan work from home (WFH) atau bekerja dari rumah dan menerapkan 50 persen kapasitas.
”Ini juga menjadi momen, semua kantor harus beradaptasi terhadap cara masa depan 5-10 tahun lagi, yakni banyak pegawai yang tidak mau berkantor. Kantor-kantor harus benar-benar adaptif terhadap pandemi,” ujarnya.
Dalam pandangan MTI, kebijakan ganjil genap bukan hanya kebijakan yang pas diterapkan saat kondisi tanpa pandemi. Justru, saat pandemi, kebijakan ini juga tepat diterapkan. Bahkan, kalau perlu ganjil genap bisa diterapkan seharian karena tujuannya adalah untuk membatasi volume kendaraan. Ganjil genap untuk membatasi roda dua juga sudah saatnya diterapkan.
”Dengan begitu, pemilik tempat usaha akan berpikir, tidak semua sektor perlu berkantor 24 jam dalam sepekan. Ini juga untuk melindungi para karyawan mereka,” ujar Damantoro.
Tentang pengaturan di hulu atau sumber pergerakan orang, Ombudsan RI Perwakilan Jakarta Raya sepakat dengan hal itu. ”Namun, ganjil genap justru bisa mendorong munculnya kluster angkutan umum,” kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho.
Damantoro menyatakan, itulah perlunya pengaturan di sisi hulu. Kalaupun saat sekarang terjadi antrean panjang di stasiun atau halte, itu karena operator angkutan umum tidak mau berisiko. Operator tetap menerapkan dengan ketat protokol kesehatan di luar stasiun dan di dalam stasiun serta sarana angkutan.
”Di luar memang antre, itu karena ada pembatasan jumlah penumpang di dalam gerbong atau bus. Kalau tidak dibatasi, di luar tidak akan ada antrean, tapi di dalam gerbong atau bus akan berdesakan,” katanya.
Damantoro menegaskan, dengan penerapan protokol kesehatan ketat sejak sebelum masuk stasiun atau halte, sampai saat ini transportasi umum aman.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Indonesia Parking Association M Wahyu B Ramadhan menyatakan, dalam masa pandemi, yang seharusnya diatur oleh pemerintah adalah orangnya, bukan kendaraannya. Hal itu untuk menghindarkan orang berdesak-desakan di stasiun, di halte, bahkan berpotensi menjadi kluster baru.
Indonesia Parking Association berpandangan, kalau pemerintah mau mengurangi orang keluar rumah, bukan dengan membuat aturan terhadap pembatasan kendaraan, sebaiknya memang membatasi orangnya. ”Jadi lebih banyak kampanye tentang WFH, tentang social distancing,” ujarnya.
Wahyu menyatakan, kebijakan ganjil genap dinilai tidak tepat karena saat diterapkan pada masa PSBB transisi justru angka kasus makin tinggi.
”Sikap asosiasi berarti kebijakan itu tidak tepat dan meminta pemerintah membatalkan pergub yang mengatur kebijakan itu supaya lebih tepat sasaran. Jangan hanya mengurusi kendaraan tetapi lebih ke orangnya,” ujarnya.
Meski terdapat opini yang berbeda, Damantoro menyebutkan, ada Covid-19 atau tidak ada, pembatasan kendaraan pribadi itu sudah waktunya. Sebab, pemerintah sudah menyelenggarakan angkutan umum yang baik dan menyediakan subsidi untuk menyelenggarakan angkutan umum.
”Kalau ada perusahaan yang membuka kantor saat pandemi, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan bertransportasi pegawainya. Itu harus,” ujar Damantoro.