Sanksi Denda Belum Meningkatkan Kepatuhan Warga Menggunakan Masker
Warga masih sering mengabaikan protokol kesehatan saat penambahan kasus Covid-19 belum terbendung. Kepatuhan penggunaan masker oleh sebagian warga hanya bersifat semu ketika ada inspeksi aparat saja.
Oleh
ADITYA DIVERANTA/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak pandemi Covid-19, ada saja warga yang mengabaikan protokol kesehatan. Kondisi itu terus menjadi permasalahan, bahkan setelah hampir enam bulan berlalu. Sanksi denda dan hukuman sosial yang diterapkan ternyata tidak mengurangi jumlah pelanggaran.
Situasi seperti itu terus berlangsung di Jakarta. Di sejumlah jalan protokol kota, misalnya, ada semacam fenomena pengendara versus inspeksi masker. Setiap hari, bahkan saat momen libur panjang, ada saja orang yang kedapatan didenda karena tidak pakai masker saat bepergian.
Dalam pemeriksaan pada Minggu (23/8/2020) siang, mobil Arya (27) diberhentikan oleh petugas di wilayah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Alasan pemberhentian itu karena jumlah penumpang dalam mobil dianggap terlalu banyak. Selain itu, mereka tidak memakai masker dengan benar saat berkendara.
Alhasil, Arya diminta membayar denda sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Sanksi Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Merunut pada aturan Pasal 13, mereka dikenai denda minimal Rp 500.000. ”Saya berniat pergi jarak dekat dari Depok ke Jakarta Timur. Sial sekali, malah kena denda,” katanya.
Sayangnya, masih banyak orang yang bepergian secara bebas tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Sejumlah pesepeda motor di Jalan Haji Abdul Muis, Jakarta Barat, kerap melenggang bebas tanpa masker pada Minggu sore ini.
Sony (37), pengojek daring yang berhenti di pinggir Jalan Haji Abdul Muis, menurunkan maskernya di leher saat menyeberangi persimpangan jalan raya. Dalam beberapa perjalanan jarak jauh, dia tidak kuat menahan masker di mulut. Seperti pada sore itu, dia baru saja mengantar orang dari wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menuju Tanah Abang di Jakarta Pusat.
”Kalau lagi berkendara jauh dan sendirian, saya biasa nurunin masker di leher. Tetapi, kalau ada penumpang, ya, harus terus pakai masker walaupun lelah juga,” ujarnya.
Sejumlah pengendara yang ditemui Kompas sepekan terakhir pun kerap abai bermasker saat di jalan. Iyudh (34), pengojek daring di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, kadang melepas masker saat sibuk mendapat order. ”Kadang-kadang kalau agak sibuk memang jadi lupa, lalu tidak sempat pakai masker. Tetapi, saya pastikan, sekat pembatas di punggung tidak pernah lepas saat mengangkut penumpang,” katanya.
Selain Iyudh, ada juga Hikmawan Tachir (29) yang tidak pakai masker saat ditemui di Jalan Kebon Sirih. Dalam perjalanannya menuju wilayah Senen, Hikmawan tidak memakai masker karena menempuh jarak pendek dari Pasar Tanah Abang. ”Saya pikir karena jaraknya dekat, jadi sekali jalan sajalah,” ucapnya.
Sejumlah pelanggaran dan pengenaan denda terus terjadi di jalan hingga tidak terhitung lagi. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta mencatat, jumlah denda hingga 18 Agustus 2020 sebesar Rp 3,41 miliar. Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin menuturkan, jumlah itu merupakan akumulasi seluruh denda pelanggaran sejak berlakunya PSBB pada 5 Juni 2020.
Adapun denda yang dikenakan kepada pelanggar protokol secara perseorangan sekitar Rp 1,7 miliar. Jumlah tersebut adalah yang paling besar dibandingkan pelanggaran di kalangan badan usaha serta fasilitas umum. ”Masih banyak pelanggar dari kalangan pengendara dan warga sipil,” ujarnya.
Salah kira ”new normal”
Perwakilan Forum Rukun Warga DKI Jakarta, Irsyad, menilai, ketidakpatuhan terjadi karena sebagian warga berpikir situasi sudah kembali normal. Pola pikir ini menimbulkan persepsi bahwa Covid-19 saat ini sudah mereda, padahal belum.
Di sisi lain, sosialisasi tentang Covid-19 dan protokol kesehatan tidak berjalan dengan baik di lapangan. Apalagi bertebaran infodemi dari laman atau situs di ruang maya hingga grup percakapan. Infodemi ini menimbulkan anggapan bahwa Covid-19 tidak berbahaya hingga tidak ada. ”Sanksi progresif sebagai upaya supaya warga kembali patuhi protokol kesehatan. Akan lebih baik dibarengi sosialisasi ke level rukun warga,” kata Irsyad.
”Situasi di lapangan, tidak semua orang patuh pada (protokol) kenakan masker, jaga jarak, dan cuci tangan pakai sabun pada air mengalir atau gunakan antiseptik. Apalagi, camat, lurah, dan satuan polisi pamong praja tidak bisa memantau terus-menerus,” ujarnya.
Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi mencontohkan, penjual makanan di kawasan Cempaka Putih harus mengenakan sarung tangan saat melayani pembeli dan menyediakan tempat cuci tangan. Kedai dan kafe di kawasan Sabang juga harus membatasi jumlah pengunjung untuk jaga jarak.
”Ada saja yang tidak patuh. Kenakan sanksi denda dan ingatkan usaha bisa ditutup,” ujar Irwandi. Pemerintah kota juga mengadakan operasi tertib kenakan masker, memberikan sosialisasi protokol kesehatan, dan menyampaikan imbauan kepada pedagang dan pembeli untuk mematuhi peraturan. Menurut Irwandi, warga terpukul dua kali karena Covid-19 dan ekonomi sehingga pendekatan tersebut diambil, bukan serta-merta menutup usaha.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho menilai, penerapan denda progresif rumit dilakukan saat situasi pandemi. Setidaknya harus ada basis data pelanggar protokol kesehatan dan dasar hukum berupa peraturan daerah karena pergub hanya mengatur tata laksana kebijakan, bukan sanksi.
Kemudian, diperlukan sumber daya manusia untuk pengawasan, penindakan, serta perlindungan hukum dan fisik kepada petugas. Tujuannya untuk menghindari potensi ketidakpuasan warga yang kena sanksi. Ia justru meminta pemerintah provinsi fokus mengatur mobilitas warga, mengawasi, dan menindak perusahaan yang tidak taat pada pembatasan jumlah karyawan yang bekerja di kantor. ”Fokus pemprov mengurangi mobilitas penduduk tidak pada sumber masalahnya, yakni kepatuhan pembatasan jumlah orang di perkantoran dan industri. Selama in untuk mengawasi perkantoran selalu kekurangan petugas lapangan, apalagi mengawasi dan menindak mobilitas warga,” ucap Teguh.
Hal serupa juga berlaku untuk sanksi pidana. Sanksi itu hanya bisa dalam bentuk peraturan daerah. Apalagi, saat ini jumlah penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan melebihi kapasitas sehingga ada asimilasi untuk mengurangi jumlah tahanan.
Menurut Teguh, penataan mobilitas serta edukasi bagi para pelanggar protokol kesehatan harus tetap dilakukan secara intensif. Jangan sampai warga terus-menerus abai pada protokol yang ada. Kalau terus dibiarkan, lonjakan kasus baru Covid-19 di Jakarta tidak akan pernah berhenti.