Manipulasi Cinta dan Bobolnya Perlindungan Keluarga Mudahkan Kejahatan Eksploitasi Anak
Kejahatan seksual pada anak masih terus terjadi di Ibu Kota. Manipulasi cinta dan janji nikah sering dengan mudah menjerumuskan anak-anak menjadi korban pemerkosaan.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
Kasus eksploitasi anak di bawah umur masih terus terjadi di Ibu Kota. Tipu muslihat dan janji manipulatif dengan alasan cinta jadi senjata ampuh pelaku kejahatan menghancurkan masa depan anak-anak Indonesia. Benteng pertama perlindungan anak dari orangtua pun masih terus kebobolan.
Kasus pemerkosaan terhadap anak hingga hamil dan melahirkan kembali terjadi di Cengkareng, Jakarta Barat. Setelah korban melahirkan, pelaku kembali nekat membawa kabur korban dan anak balitanya. Pelaku W (41) baru ditangkap aparat Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat, Jumat (21/8/2020).
Pelaku terancam pasal berlapis lantaran selain memerkosa korban F (14) hingga hamil dan melahirkan, ia juga membawa kabur korban dan anak balitanya ke sejumlah tempat berbeda di luar Jakarta. Perbuatan pelaku dengan alasan saling suka, cinta, dan janji menikahi korban bersifat manipulatif karena korban masih di bawah umur.
Menurut Kepala Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Audie S Latuheru, kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur oleh W sebenarnya sudah dilaporkan ke Kepolisian Sektor Cengkareng sejak Maret 2020. Namun, saat itu F sedang hamil besar.
”Polsek Cengkareng saat itu ingin melaksanakan pemeriksaan. Namun, korban F waktu itu sedang hamil besar sehingga disepakati nanti sudah selesai melahirkan baru diperiksa,” kata Audie, Jumat, di Jakarta Barat, melalui siaran langsung Instagram.
Setelah F melahirkan, W yang juga tinggal bertetangga dengan korban di Cengkareng membawa kabur korban bersama anak balitanya dan hidup berpindah-pindah tempat, mulai dari Bekasi hingga Sukabumi. Selama masa pelarian lebih kurang 10 hari, pelaku menjual sejumlah barang milik korban untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Teuku Arsya Khadafi menambahkan, tersangka W ditangkap polisi bersama korban F dan anak balitanya pada Jumat dini hari di daerah Sukabumi. Korban dan anak balitanya ditemukan bersama pelaku dalam kondisi selamat dan sehat.
”Pencarian kepada tersangka dan korban ini memang butuh waktu karena tersangka terus mengawasi pergerakan polisi. Mereka terus berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas,” katanya.
Akibat perbuatannya, pelaku terancam hukuman pidana penjara 14 tahun. Pelaku disangka melanggar Pasal 81 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Perlindungan Anak.
”Fokus kami saat ini mengembalikan kesehatan mental dan fisik korban. Sebab, saat ini korban masih mengalami guncangan yang berat sehingga fokus kami menyelamatkan anak,” ujar Teuku.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, mengatakan, proses hukum terhadap pelaku harus dilakukan dengan serius. Pelaku harus dikenai pasal berlapis karena kasus ini tak hanya terkait persetubuhan pada anak. Pelaku juga membawa kabur anak di bawah umur.
”Belum lagi ada indikasi atau unsur-unsur eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual. Ini perlu dilihat kembali. Artinya, pasal berlapis bisa menjadi efek jera bagi pelaku-pelaku kejahatan pada anak,” katanya.
Sementara itu, dari sisi korban, kata Putu, F tak hanya jadi korban persetubuhan, tetapi juga korban salah asuh. Sistem asuh yang tak berjalan di rumah sering kali menyebabkan anak tidak nyaman di rumah.
”Saat anak tidak nyaman di rumah dan mendapat figur lain yang memberinya perhatian, terjadilah kasus persetubuhan. Artinya, peran orangtua juga jadi perhatian KPAI,” katanya.
Saat anak tidak nyaman di rumah dan mendapat figur lain yang memberinya perhatian, terjadilah kasus persetubuhan. Artinya, peran orangtua juga jadi perhatian KPAI.
KPAI serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak masih akan berkoordinasi untuk sementara waktu menempatkan korban di rumah aman. Artinya, untuk mengembalikan anak ke orangtuanya masih dibutuhkan kajian agar saat dikembalikan ke rumah, korban benar-benar mendapat perlindungan dari keluarga dan orangtua.
”Kita tidak tahu kondusif bagi kondisi anak untuk tetap di rumah atau bersama orangtuanya. Kalau itu tidak cukup aman, rekomendasi KPAI adalah korban tetap di rumah aman sampai rehabilitasi selesai. Tentu upaya pendidikan juga dibutuhkan karena korban putus sekolah di tingkat sekolah dasar,” ujar Putu.