Sejumlah warga mulai jengah dengan pemberitaan mengenai klaim obat Covid-19 yang belum teruji secara klinis. Sebagian dari mereka cenderung menunggu klarifikasi dari kanal resmi terkait kebenaran klaim tersebut.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga semakin skeptis menyikapi kemunculan obat yang diklaim menyembuhkan Covid-19. Mereka tidak yakin keampuhan calon obat itu sekuat klaim sebagian orang karena belum teruji secara ilmiah. Penilaian itu muncul merespons klaim sejumlah kalangan terkait obat itu.
Warga gelisah soal klaim obat Covid-19 yang baru-baru ini dikembangkan Universitas Airlangga (Unair) bersama TNI Angkatan Darat dan Badan Intelijen Negara. Mereka mengklaim telah mengikuti tahapan uji klinis dari otoritas terkait meski belum ada bukti yang jelas terhadap pernyataan itu.
Suhartono (53), seorang mandor pekerja proyek transportasi umum di Jakarta Pusat, memilih tidak percaya dengan ujaran terkait penemuan obat Covid-19 tersebut. Dia merasa sejumlah kabar obat Covid-19 yang muncul belakangan tidak jelas sumber dan cara penyembuhannya.
”Saya memang bukan dari kalangan medis, tetapi kabar soal obat Covid-19 belakangan ini sepertinya terlalu melebih-lebihkan. Saya sendiri belum mengikuti detail berita soal obat yang dari Unair, tetapi saya kurang percaya karena klaimnya terlalu sepihak begitu,” ujarnya di Jakarta, Kamis (20/8/2020).
Pola klaim serupa, menurut dia, mirip dengan kasus sebelumnya. Suhartono mengingat, sekitar awal Agustus ini ada obat Covid-19 yang juga dibawa seorang bernama Hadi Pranoto. Obat berupa cairan minuman itu kemudian viral di media sosial Youtube milik Dunia Manji dan dilaporkan kepada polisi karena dugaan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lisna Dwira (40) juga berpandangan serupa dengan Suhartono. Pedagang tekstil ini belakangan mengurangi terpaan informasi tidak jelas terkait obat Covid-19 di media sosial. Hal yang dia tahu, obat mesti melewati uji klinis dan mungkin memiliki semacam nomor edar resmi saat dijual di pasaran.
”Cenderung skeptis, sih, dengan kabar obat Covid-19 yang langsung muncul di media seperti kemarin. Terutama setelah kasus Hadi Pranoto itu, saya baru tahu bahwa suatu obat harus melalui uji klinis yang panjang, lalu mendapat ulasan terlebih dulu dari kalangan sesama ahli. Dari situ, saya juga baru tahu mestinya obat enggak bisa asal klaim menyembuhkan orang,” kata Lisna.
Pri Hendratmoko (57), pengajar di sebuah perguruan tinggi di Jakarta Barat, juga tidak menanggapi terlalu serius terkait kemunculan klaim obat Covid-19 yang beredar di media massa. Dia sendiri lebih menunggu kabar perkembangan vaksin yang tengah dikembangkan pemerintah beberapa bulan terakhir. ”Saya enggak terlalu serius kalau menanggapi klaim obat sejak munculnya klaim kalung obat Covid-19 beberapa bulan lalu. Kalau ingin yang pasti-pasti saja, ya, menunggu kabar vaksin yang dikembangkan di Bandung itu,” ucapnya.
Suhartono, Lisna, dan Pri mewakili sebagian pendapat warga terkait sejumlah klaim obat Covid-19 yang berlebihan. Catatan Kompas, sejumlah warga di Jakarta sebelumnya juga skeptis terhadap klaim obat berupa kalung antikorona yang dibuat oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kemeterian Pertanian (Kompas, 6/7/2020).
Anggota Komite Nasional Penilai Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Anwar Santoso, menyatakan, sejauh ini belum ada obat yang manjur dan aman untuk Covid-19. Perlu diketahui, obat yang diklaim untuk terapi suatu penyakit harus memenuhi manfaat saintifik dan sosial. Sejumlah proses penelitian pun harus dilakukan, mulai dari uji preklinis, uji klinis tahap pertama sampai ketiga, hingga registrasi obat.
”Sampai saat ini belum ada persetujuan yang dikeluarkan Badan POM bahwa ada obat yang manjur dan aman untuk Covid-19. Semuanya masih dalam fase uji klinis. Bahkan, WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) belum menyampaikan pernyataan resmi bahwa ada obat yang direkomendasikan spesifik untuk Covid-19,” ujarnya, Selasa (18/8/2020).
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menekankan, hasil dari uji klinis obat bahkan harus diuji dengan didaftarkan ke kongres dunia. Hasil itu selanjutnya juga dipublikasi di jurnal internasional untuk mendapat pengakuan bahwa uji klinis tersebut valid.
Menurut Ari, uji klinis harus dilakukan dengan prinsip double-blinded randomized clinical trial. Artinya, peneliti dan pasien tidak tahu obat yang diberikan. Proses riset, selain harus lolos etik kesehatan, juga didaftarkan ke Clinicaltrial.gov, yang menjadi kewajiban sebelum dikirim ke jurnal internasional.
Ahli kesehatan masyarakat dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, menyebutkan bahwa klaim obat-obatan tidak bisa dilakukan sembarangan dengan pernyataan di media massa. Sejumlah proses, seperti uji klinis dan review atau tinjauan dari ilmuwan sejawat, sangat penting ditempuh untuk membuktikan efektivitas obat, terutama karena obat-obatan ini bisa mengatasi penyakit yang telah menjadi pandemi global (Kompas, Selasa, 18/8/2020).