Pendekatan Psikologis Sosial Masyarakat untuk Kecilkan Kesenjangan
Kampanye lewat simbolisme saja tidak cukup. Apalagi sering luput dipertimbangkan ada persepsi bahwa masyarakat Indonesia masih memilih untuk tidak tahu tentang suatu hal daripada tahu dan menjadi beban pikiran.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Simbolisme di era pandemi Covid-19 merupakan salah satu metode kampanye protokol kesehatan yang potensial. Akan tetapi, mendekati psikis masyarakat guna membangun kesadaran bahwa penularan virus korona jenis baru itu nyata dan berbahaya merupakan strategi jangka panjang.
Pada Rabu (19/8/2020), Dinas Komunikasi dan Informatika DKI Jakarta mengumumkan kepada para awak media bahwa acara pemakaian masker di patung Jenderal Besar Sudirman, Jakarta Pusat, batal dilakukan. Awalnya, memakaikan masker kepada patung pahlawan nasional ini akan dijadikan simbol Ibu Kota dalam pengendalian pandemi Covid-19 yang sangat bertumpu pada kedisiplinan masyarakat memakai masker dan menjaga jarak.
”Simbolisme merupakan salah satu strategi kampanye yang tidak boleh diremehkan, tetapi itu saja tidak cukup,” kata sosiolog akar rumput Universitas Negeri Jakarta, Asep Suryana.
Simbolisme merupakan cara Pemerintah Provinsi Jakarta menyiarkan bahwa pandemi masih menjadi momok di Ibu Kota meski pada beberapa pekan terakhir kampanye keamanan tersebut mulai mengendur dan masyarakat kian banyak terlihat tidak memakai masker ataupun menjaga jarak.
Simbolisme merupakan salah satu strategi kampanye yang tidak boleh diremehkan, tetapi itu saja tidak cukup.
Jargon ”normal baru” telanjur terpatri di benak masyarakat sehingga adanya pembatasan sosial berskala besar masa transisi ditafsirkan seolah keadaan kembali seperti masa awal 2020 saat Covid-19 belum merebak di dunia. Pemerintah pusat mulai mengalihkan narasi kampanye menjadi ”adaptasi kebiasaan baru”, yakni gaya hidup yang aman di masa pandemi. Namun, narasi ini gaungnya tidak sekencang ketika ”normal baru” disosialisasikan.
”Akibat jargon ’normal baru’ ini persoalan Covid-19 selalu diadu dengan persoalan ekonomi. Penularan virus korona dianggap sebagai masalah pribadi yang bergantung pada kedisiplinan setiap individu, sementara kesejahteraan ekonomi adalah masalah bersama yang harus diutamakan. Padahal, kesejahteraan ekonomi hanya tercapai jika masyarakat sehat. Segala kegiatan ekonomi dan sosial tidak punya pilihan selain beradaptasi dengan kebiasaan baru,” ujar Asep.
Kesenjangan sosial
Asep menjelaskan, kampanye protokol kesehatan Covid-19 terbentur di kendala persepsi masyarakat. Sejak masa Orde Baru hingga awal Reformasi, negara dan pemerintah jarang hadir di antara khalayak akar rumput. Sekali hadir biasanya untuk meminta sesuatu dari rakyat, seperti memerintahkan kewajiban dan aturan baru yang minim penjelasan manfaatnya kepada masyarakat.
”Ketika kampanye protokol kesehatan ada disambut dengan kecurigaan oleh masyarakat. Kita lupa mempertimbangkan pembelahan sosial dan vertikal di masyarakat akibat perbedaan politik, ekonomi, dan kepercayaan sehingga mitos dan teori konspirasi Covid-19 dirancang untuk kepentingan politik kelompok tertentu menjadi subur di akar rumput,” kata Asep yang meneliti suasana media sosial pada masa pandemi.
Luput dipertimbangkan juga persepsi bahwa masyarakat Indonesia masih memilih untuk tidak tahu tentang suatu hal daripada tahu dan menjadi beban pikiran. Hal ini yang membuat di beberapa wilayah warga menolak untuk mengikuti tes reaksi rantai polimerase (PCR) untuk melihat kemungkinan penularan Covid-19.
Luput dipertimbangkan juga persepsi bahwa masyarakat Indonesia masih memilih untuk tidak tahu tentang suatu hal daripada tahu dan menjadi beban pikiran.
Mereka khawatir jika ketahuan positif akan distigma orang sekitar dan tidak bisa mencari nafkah karena harus diisolasi. Apalagi, di wilayah sekitar Jakarta tes PCR belum masif dan warganya tampak baik-baik saja. Faktor ini memengaruhi pandangan masyarakat akar rumput Ibu Kota terhadap risiko penularan virus.
”Selain pemakaian cara persuasif hingga koersif untuk menegakkan kedisiplinan masyarakat, pandemi juga harus ditindak dengan mengurangi kesenjangan sosial. Tidak hanya melalui bantuan sosial dari pemerintah, tetapi juga uluran tangan selain karitatif,” papar Asep.
Permukiman-permukiman eksklusif harus mulai memikirkan keadaan perkampungan ataupun permukiman padat di sekitarnya. Bahkan, di wilayah seperti Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dan Bumi Serpong Damai di Tangerang Selatan, permukiman untuk kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas ini berbatasan langsung dengan permukiman padat penduduk.
Akibat pandemi, kompleks-kompleks menutup gerbang. Orang yang datang wajib menunjukkan kartu tanda penduduk. Warga perkampungan yang biasanya menggunakan jalan di kompleks kini tidak boleh lewat dan harus mengambil rute memutar.
Hal itu memunculkan kekesalan yang memendam di masyarakat akar rumput. Di sini persepsi kebiasaan baru harus masuk. Pemerintah bisa memediasi dengan membuat aturan perusahaan pengembang real estat atau pengelola kompleks agar membantu perkampungan padat di sekitarnya.
”Bukan berupa sumbangan, tetapi bisa bersama membuat sistem pencegahan penularan Covid-19, seperti membuat sistem sanitasi yang baik dan sistem pemantauan kedisiplinan warga bersama atau fasilitas belajar jarak jauh untuk siswa sekolah. Interaksi ini tidak bisa terjadi secara alami karena ada jarak sosial-ekonomi yang berisiko menjadi bom waktu seiring apatisme masyarakat terhadap Covid-19 karena didorong kebutuhan mencari nafkah,” tutur Asep.
Bisa beragam
Pada akhir Juli 2020, Koalisi Pemantau Bantuan Sosial beraudiensi dengan Wakil Gubernur Jakarta Ahmad Riza Patria. Mereka memaparkan pembagian dan pendataan bantuan sosial yang diterima oleh warga Jakarta. Dalam kesempatan itu, perwakilan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Dika Moehammad, menerangkan bahwa ada baiknya wujud bansos dibuat beragam karena tidak semua warga membutuhkan paket kebutuhan pokok.
”Bisa dipetakan wilayah yang membutuhkan bahan pokok, seperti zona yang menjalani karantina wilayah. Di zona lain, bansos dapat berupa insentif kepada toko kelontong ataupun warung lokal agar ekonomi di wilayah itu berjalan,” ujarnya.
Per 19 Agustus 2020, di Jakarta ada 31.162 kasus positif Covid-19 dengan 21.069 orang sembuh dan 1.046 orang meninggal dunia. Kepala Bidang Pencegahan Penyakit Dinas Kesehatan Jakarta Dwi Oktavia Tatri Lestari Handayani mengatakan, dalam sepekan terakhir sudah 49.280 warga menjalani tes PCR.