Polda Metro Jaya Gelar Rekonstruksi Pengguguran Kandungan yang Tak Sesuai Ketentuan
Rekonstruksi terdiri dari 41 adegan dan total 17 tersangka hadir. Adegan terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan pemusnahan barang bukti hasil pengguguran kandungan.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya menggelar rekonstruksi aborsi yang tidak sesuai ketentuan pada Rabu (19/8/2020) di rumah tempat praktik dokter SWS (84), di Jalan Raden Saleh I, Jakarta Pusat. Petugas mengungkap fakta, janin yang diaborsi diperlakukan dengan cara dilarutkan menggunakan asam sulfat dan dibakar.
”Setelah tindakan, oknum pengelola di sini menghilangkan barang bukti janin dengan dua cara,” ucap Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Jean Calvijn Simanjuntak, di sela rekonstruksi.
Pertama, lanjut Calvijn, janin dilarutkan menggunakan H2SO4 atau asam sulfat, kemudian dibuang ke salah satu saluran pembuangan di tempat tersebut. Kedua, jika terdapat bagian janin yang tidak terlarutkan, anggota staf akan membawanya ke lantai dua untuk dibakar. Di sana, terdapat cerobong asap untuk mengurangi bau hasil pembakaran.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menjelaskan, rekonstruksi terdiri dari 41 adegan dan total 17 tersangka hadir. Adegan terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan pemusnahan barang bukti hasil pengguguran kandungan.
Yusri mengoreksi, tempat aborsi ilegal yang digerebek tim dari Subdirektorat III/Reserse Mobil Ditreskrimum itu bukan klinik, melainkan rumah yang disewa SWS untuk praktik pribadinya sebagai dokter spesialis kebidanan dan kandungan (obstetri dan ginekologi). Namun, SWS menggunakannya juga untuk menyediakan tempat operasi, bahkan untuk aborsi yang tidak sesuai ketentuan.
Dokter yang praktik di tempat itu pun bukan hanya SWS. Di antara 17 tersangka, terdapat tiga dokter, yaitu SWS, SS (57), dan TWP (59), yang semuanya diduga terlibat pengguguran kandungan secara ilegal.
Di antara 17 tersangka, terdapat tiga dokter, yaitu SWS, SS (57), dan TWP (59), yang semuanya diduga terlibat pengguguran kandungan secara ilegal.
Calvijn mengatakan, para pasien aborsi ilegal datang ke sana setelah membuat janji dengan pengelola tempat praktik. Cara lainnya, mereka datang langsung untuk meminta jadwal pengguguran kandungan. Setiap kali ada pasien yang datang, terdapat calo yang akan menemani ke dalam.
Ia kembali menyebutkan, pengungkapan praktik aborsi ilegal di tempat praktik dokter SWS merupakan hasil pengembangan dari kasus pembunuhan berencana terhadap pemilik usaha roti asal Taiwan, Hsu Ming-Hu (52), di rumah korban di Kota Deltamas, Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, pada 24 Juli. Otak pembunuhan yang juga karyawan korban, SS (37), mengaku sakit hati bosnya menghamilinya, tetapi tidak mau bertanggung jawab.
Hsu Ming-Hu malah memberikan uang sekitar Rp 15 juta agar SS menggugurkan kandungannya. ”Tersangka mengaku melakukan aborsi di tempat ini,” ujar Calvijn.
Seperti diberitakan, tim Subdit III/Resmob menggerebek tempat praktik dokter SWS pada 3 Agustus lalu dan meringkus total 17 tersangka. Mereka terdiri dari 6 tenaga kesehatan, 4 staf pengelola klinik, 4 orang yang turut membantu, serta 3 pengguna jasa aborsi ilegal. Pengguna jasa terdiri dari ibu janin berinisial CCS (22), ayah biologis janin, HR (23), serta bibi dari pasien, LH (46).
Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat membeberkan, tim mendapatkan data bahwa pada kurun Januari 2019-10 April 2020 tempat itu sudah melayani 2.638 pasien aborsi. ”Dalam sehari, ada lima-tujuh pasien,” ujar Ade.
Biaya pengguguran di sana bervariasi, bergantung usia kandungan serta tingkat kesulitan penanganan. Ade mencontohkan, biaya paling murah adalah Rp 1,5 juta-Rp 2 juta untuk aborsi kandungan berusia 6-7 minggu. Untuk kandungan usia 15-20 minggu (3 bulan 3 minggu-5 bulan), biaya berkisar Rp 7 juta-Rp 9 juta.
”Rata-rata pendapatan Rp 70 juta per bulan,” kata Ade. Dari setiap pasien aborsi, 40 persen pembayaran dialokasikan bagi para tenaga kesehatan, 40 persen untuk calo, dan 20 persen untuk anggota staf pengelola tempat praktik.