Pembatasan Setengah Hati Memperburuk Pandemi
Tidak ada cara mudah keluar dari pandemi. Keselamatan warga seharusnya menjadi pandu penuntun pebijakan untuk menghadapi situasi sulit ini. Jika masih setengah hati, kurva pandemi bakal lama melandai.
Kegelisahan melanda para pekerja formal di Jakarta. Munculnya kasus-kasus baru menambah panjang daftar pasien Covid-19 di kluster perkantoran. Hasil penelusuran Pemerintah Provinsi DKI, penambahan kluster perkantoran terus meningkat. Penambahan kasusnya makin sulit terlacak karena sebagian pengelola kantor belum menyampaikan informasi terbuka.
Pada Juni lalu terdapat 68 kluster perkantoran di Jakarta, sedangkan pada Juli terdapat 90 kluster, pekan kedua Agustus 166 kluster, dan trennya semakin meningkat di pekan ketiga Agustus. Sejalan dengan itu, pasien Covid-19 di perkantoran juga bertambah lebih dari 1.000 orang.
Kenyataan ini terjadi sejak pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi awal Juni lalu. Sejak itu pula istilah normal baru semakin masif berkembang di kalangan warga. Tidak sedikit yang menganggap ”normal baru” itu kembali ke normal yang lama, bukan kebiasaan baru.
Tak heran, keramaian warga pun kembali terjadi mirip seperti situasi sebelum pandemi. Padahal, saat pandemi belum mereda, menjaga jarak fisik antarwarga sangat dianjurkan agar mengurangi risiko penularan virus. Apa boleh buat, mereka menghadapi ini dengan hari-hari penuh kecemasan sebagaimana yang dialami Diana (23).
Baca juga: Penularan di Perkantoran Meningkat, Kementerian Tetap Akan Lakukan Perjalanan Dinas
Sejak kasus pertama Covid-19 di awal Maret 2020 di Indonesia, Diana (23) tetap masuk kerja. Bedanya, setelah munculnya kasus Covid-19 di perkantoran, hari liburnya bertambah setiap pekannya. Namun, hal itu belum membuat kecemasannya sirna.
Betapa tidak, dia hampir selalu menggunakan kereta rel listrik (KRL) untuk menuju kantornya di wilayah Jakarta Pusat. Jika jam masuk kerja atau pulang kerja, dia berusaha menghindari kerumunan, tetapi tetap saja di area keramaian. Karenanya, Diana selalu membawa cairan antiseptik untuk tangan dan mengenakan masker.
”Pekerjaanku tidak bisa dikerjakan dari rumah. Sebagian kecil saja yang masih bisa dari rumah, tetapi banyak hal tidak bisa ditangani dari rumah,” kata Diana menjelaskan pekerjaannya, Sabtu (15/8/2020).
Hal serupa juga berlaku bagi teman-teman kerjanya, hingga kemudian beberapa orang di antara mereka dinyatakan positif Covid-19. Diana pun masih masuk kerja. Hanya saja, pimpinan kantornya membagi tim menjadi dua bagian besar agar penelusuran karyawan yang terjangkit Covid-19 lebih mudah dilakukan.
Pengalaman serupa dialami Rio (35), jurnalis televisi di Jakarta. Dia bahkan tidak berani pulang langsung ke rumahnya setelah dari kantor. Rio mampir ke rumah singgah yang disiapkan kantornya. Di sana dia mandi dulu, ganti pakaian, dan pulang menemui keluarganya.
”Kalau tidak begitu, saya enggak berani. Sebab, saya terus masuk selama pandemi ini,” kata Rio.
Baca juga: Kluster Perkantoran di DKI Sumbang Penambahan Kasus di Tangerang
Sebenarnya, kantornya mengikuti langkah yang dilakukan pemerintah. Saat pemerintah memberlakukan PSBB pekan kedua April 2020, pimpinan kantornya ikut mengetatkan aturan kerja. Ketika itu hanya separuh karyawan yang tetap bekerja secara bergantian. Namun, saat PSBB dilonggarkan ditandai dengan masa transisi di awal Juni, semuanya seakan kembali normal. Bedanya, karyawan mengenakan masker yang sebagian dipakai dengan tepat, sebagian dipakai ala kadarnya.
Seturut itu, kasus Covid-19 di Jakarta terus meningkat. Sejak awal Juni hingga pertengahan Agustus 2020, penambahan kasus harian Covid-19 di Jakarta cenderung meningkat. Beberapa kali menembus angka di atas 400 kasus per hari. Bahkan pada Sabtu (8/8/2020) lalu ada penambahan 721 kasus baru. Status PSBB transisi di DKI pun diperpanjang berkali-kali, dan kini memasuki masa perpanjangan keempat kalinya.
”Kami ikut apa yang diputuskan. Selama aturannya jelas sehingga kami dapat bekerja dengan nyaman,” kata Rio.
Diana dan Rio adalah salah satu dari 3,5 juta pekerja formal di Jakarta. Mereka akan mengikuti langkah pemerintah dan pimpinan di kantornya apa pun keputusannya. Mereka mengharapkan agar keputusan yang diambil selama pandemi membuat mereka nyaman dan aman bekerja. Namun, keputusan yang ragu-ragu dapat membuat mereka cemas. Namun, tidak banyak berbuat apa-apa saat terjebak dalam kerumunan warga.
Lantaran kasus cenderung meningkat, Pemprov DKI Jakarta memperpanjang kembali PSBB transisi untuk keempat kalinya. Status ini akan diberlakukan hingga 27 Agustus 2020 disertai pengawasan dan pengetatan kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan, (Kompas, Jumat, 14/8/2020).
”Melalui perpanjangan ini, kami bersama aparat kepolisian dan TNI akan fokus pada penegakan aturan, khususnya penggunaan masker kepada masyarakat,” kata Gubernur DKI Anies Baswedan.
Baca juga: Ganjil Genap Berlaku Senin, Karyawan Waswas
Pembatasan pergerakan warga sejauh ini masih bagus di tataran konsep. Namun, pelaksananannya, pergerakan warga tetap terjadi, kepadatan di jam berangkat dan pulang kerja belum belum terurai, begitu pun kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan yang belum baik.
Djoko Setijowarno, peneliti transportasi dari Universitas Soegijapranata, Semarang, menyampaikan, pembatasan pergerakan orang baru bisa efektif jika ada intervensi di hulu.
Hulu yang dimaksud Djoko adalah di sumber pergerakan, yaitu perkantoran itu sendiri. Sejauh ini, pembatasan kerja di kantor ataupun perubahan pola kerja baru selama pandemi belum terlihat maksimal. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatur pola kerja aparatur sipil negara (ASN) selama pandemi. Ketentuan itu dijelaskan dalam Surat Edaran Sekretaris Daerah Nomor 38 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemprov DKI Jakarta pada Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif. Dalam aturan ini, jam kerja pegawai pada Senin hingga Kamis terdiri dari dua sif kerja.
Sayangnya, ASN DKI Jakarta hanya 1 persen dari 5,17 juta pekerja di Jakarta. Mereka terdiri dari 3,5 juta pekerja formal dan 1,6 juta pekerja sektor informal (data Badan Pusat Statistik 2020).
Tetap produktif
Dengan kesadaran sendiri, sebagian perusahaan menerapkan kerja di luar kantor. Mereka bahkan tetap produktif meski pekerjaannya dikerjakan berbeda dengan sebelum pandemi. Iyos Kusuma (32), pekerja perusahaan konsultan komunikasi, lebih banyak bekerja di rumah. Dia merasa lebih produktif selama menerapkan pola kerja baru ini.
Baca juga: Peluang Memutus Mata Rantai Kluster Perkantoran
”Mungkin karena saya tinggal sendiri, jadi bisa tetap fokus kerja. Saya mengandalkan laptop dan jaringan internet. Pencapaian kerja selama dari rumah lebih ke proses adaptasi cara kerja. Banyak kegiatan dari klien yang harus dilakukan secara digital, persiapannya lebih kompleks dari biasanya,” kata Iyos.
Adapun Maria Kristanto (43), pekerja perusahaan ekspedisi, menjalani kerja campuran, sebagian di kantor, sebagian di rumah. Warga Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, ini hanya sesekali saja ke kantor. Manajemen kantor hanya mengizinkan 50 persen karyawan. Selama di kantor, protokol kesehatan benar-benar diterapkan tanpa terkecuali, mulai dari mengenakan masker, pengecekan suhu tubuh, mengatur sirkulasi udara kantor, sampai meniadakan acara kumpul-kumpul.
”Ini karena ada pandemi. Syukurlah belum ada yang kena di kantor saya,” kata Maria.
Meski demikian, Maria dan pekerja lain belum bisa tenang beraktivitas di kantor. Betapa tidak, memasuki bulan keenam penanganan pandemi belum ada tanda-tanda kasus mereda. Tren kasus harian malah meningkat sejak Juni di Jakarta. Bahkan, sejak Agustus hampir selalu di atas 400 kasus, kecuali tiga hari di tanggal 1 Agustus dengan 374 kasus, 2 Agustus 379 kasus, dan 5 Agustus 357 kasus. Adapun penambahan kasus harian tertinggi di Agustus terjadi pada 8 Agustus sebanyak 721 kasus merujuk data dari corona.jakarta.go.id.
Sulfikar Amir, Associate Professor dan Pakar Sosiologi Bencana di Nanyang Technological University, Singapura, menilai, kenyataan ini adalah buah dari penanganan pandemi yang setengah hati. Menurut dia, pemerintah terlalu mengedepankan faktor ekonomi. Sementara penanganan pandemi kurang dilakukan dengan cepat.
Saat ini, banyak negara mengalami kesulitan ekonomi. Kondisi ini sewajarnya terjadi karena memang yang menjadi prioritas adalah penyelamatan nyawa warga. ”Cara terbaik saat ini adalah memberlakukan PSBB dengan ketat. Dua bulan saja akan ada dampak positif setelahnya. Jika masih setengah hati, begini jadinya,” kata Sulfikar. Pilihan solusi memang berat, keselamatan rakyat tentu sangat penting diutamakan.