Pembunuhan Warga Taiwan Buka Tabir Praktik Pengguguran Ribuan Kandungan
SS mendalangi pembunuhan warga Taiwan, Hsu Ming-Hu, karena sakit hati akibat korban tidak bertanggung jawab atas kehamilannya. Korban membiayai aborsi pelaku di sebuah klinik, yang lantas digerebek polisi pada 3 Agustus.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
Pembunuhan bos bisnis roti asal Taiwan, Hsu Ming-Hu (52), membuka tabir praktik pengguguran kandungan ilegal di salah satu klinik di kawasan Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Klinik itu diduga sudah ribuan kali mengaborsi selama lima tahun beroperasi.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menyebutkan, pengungkapan ini hasil tindak lanjut tim dari Subdirektorat III/Reserse Mobil Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya terhadap keterangan otak pembunuhan Hsu Ming-Hu yang juga karyawan korban, SS (37). Tersangka mengaku menggugurkan kandungan hasil hubungan gelap dengan korban di sebuah klinik di Jakarta Pusat.
Seperti diberitakan, SS menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisi nyawa bosnya pada 24 Juli lalu di rumah korban di Kota Deltamas, Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Motifnya, SS sakit hati Hsu Ming-Hu sudah menghamilinya, tetapi tidak bertanggung jawab, malah berniat menikahi perempuan lain yang adalah asisten rumah tangga korban. Hsu Ming-Hu memberikan uang sekitar Rp 15 juta agar SS menggugurkan kandungannya.
”Tanggal 3 Agustus yang lalu, tim mengamankan 17 tersangka di klinik yang beralamat di Jalan Raden Saleh I, Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen,” ucap Yusri dalam konferensi pers pada Selasa (18/8/2020) di Jakarta. Klinik itu milik dokter spesialis kebidanan dan kandungan berinisial SWS (84), dan lokasinya sesuai dengan keterangan SS.
Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat menjelaskan, ke-17 tersangka terdiri dari enam tenaga kesehatan, empat staf pengelola klinik, empat orang yang turut membantu, serta tiga pengguna jasa aborsi ilegal. Sebanyak enam tenaga kesehatan terdiri dari tiga dokter termasuk SWS.
Berdasarkan pemeriksaan, klinik dokter SWS sudah beroperasi lima tahun. Polisi masih mendalami jumlah pasien pengguguran sejak lima tahun lalu. Namun, tim mendapatkan data bahwa kurun Januari 2019-10 April 2020 klinik sudah melayani 2.638 pasien aborsi. ”Dalam sehari, ada lima-tujuh orang pasien,” ujar Ade.
Klinik memasarkan jasa aborsi melalui para calo, termasuk seorang tukang parkir berinisial WS (49) yang dijadikan salah satu tersangka. Selain itu, melalui iklan ”dari mulut ke mulut” di kalangan masyarakat. Belum ada indikasi klinik memanfaatkan internet dan media sosial untuk berpromosi.
Tim mendapatkan data bahwa kurun Januari 2019-10 April 2020 klinik sudah melayani 2.638 pasien aborsi.
Biaya pengguguran di klinik dokter SWS bervariasi, tergantung usia kandungan serta tingkat kesulitan penanganan. Ade mencontohkan, biaya paling murah adalah Rp 1,5 juta-Rp 2 juta untuk aborsi kandungan berusia 6-7 minggu. Untuk kandungan usia 15-20 minggu (3 bulan 3 minggu-5 bulan), biaya berkisar Rp 7 juta-Rp 9 juta.
”Rata-rata pendapatan Rp 70 juta per bulan,” kata Ade. Dari setiap pasien aborsi, 40 persen pembayaran dialokasikan bagi para tenaga kesehatan, 40 persen untuk calo, dan 20 persen untuk staf pengelola.
Ade menyadari, tidak semua aborsi bisa digolongkan ilegal. Sebab, berdasarkan Pasal 75 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, larangan aborsi bisa dikecualikan terhadap dua kondisi, yaitu indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, serta kehamilan akibat pemerkosaan yang memicu trauma psikologis pada korban.
Dari ribuan pasien aborsi di klinik SWS, kemungkinan ada yang memenuhi kriteria untuk dikecualikan. Namun, Ade menegaskan, saat penggerebekan pada 3 Agustus lalu, polisi mendapati seorang pasien tidak memenuhi kriteria untuk dikecualikan dari larangan aborsi. Pasien itu berinisial CCS (22), datang bersama ayah biologis kandungannya, HR (23), serta bibi dari pasien, LH (46).
Klinik tempat ribuan janin digugurkan itu milik dokter spesialis kebidanan dan kandungan berinisial SWS (84).
Karena itu, bukti sudah cukup untuk menjerat para tenaga kesehatan dan staf pengelola di klinik dengan pidana aborsi tidak sesuai dengan ketentuan. Bahkan, CCS, HR, dan LH turut dijadikan tersangka.
Pasal yang dipersangkakan terhadap setiap tersangka beragam, bergantung peran masing-masing. Polisi menggunakan pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU No 36/2009, serta UU No 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukuman terberat adalah penjara maksimal 10 tahun.
Di Jalan Raden Saleh dan sekitarnya, praktik aborsi ilegal sudah menjadi rahasia umum. Dalam penelusuran Kompas pada 20 Februari lalu terdapat calo di Jalan Raden Saleh Raya serta Jalan Cimandiri, Jakarta Pusat, yang menawarkan jasa menghubungkan ke lokasi atau pelaku praktik aborsi.
Di Jalan Cimandiri, misalnya, seseorang berinisial G merespons sewaktu diberi kata kunci ”Mau ke klinik untuk pacar”. Ia langsung meminta calon pasien diajak datang saja saat sudah siap menjalani tindakan. Ia akan mengantar ke suatu tempat dan bakal dijemput pihak dokter untuk dibawa ke klinik. ”Mulih ki seger (pulang segar atau sehat). Sebelum segar tidak boleh keluar,” ucap G.
Terkait dengan hal itu, Ade meminta masyarakat berperan aktif menginformasikan kepada polisi, termasuk jika praktik semacam itu memang marak di Jalan Raden Saleh dan sekitarnya. Tindak pidana aborsi ilegal bersifat rahasia antara pasien dan pemberi jasa sehingga penyelidikannya pun bersifat sangat tertutup.
Yusri menambahkan, pada Februari, tim dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mengungkap praktik aborsi ilegal di sebuah rumah di Jalan Paseban Raya, Jakarta Pusat. Selama beroperasi, klinik itu diketahui menerima 1.613 pasien untuk konsultasi, dengan 903 pasien di antaranya menjalani aborsi.
Polisi menetapkan tiga tersangka, yaitu MM alias dokter A (46), buronan kasus klinik aborsi ilegal di Jalan Cimandiri, Jakarta Pusat, tahun 2016; perempuan berinisial RM (54) yang divonis 3 tahun penjara terkait aborsi di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tahun 2006; dan perempuan berinisial S alias I yang pada 2016 ditangkap karena terlibat praktik aborsi ilegal dokter A dan divonis 2 tahun penjara.
Reza Indragiri, pekerja Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Lentera Anak, menduga dokter SWS merupakan residivis kasus aborsi ilegal, sama halnya seperti dokter A dalam kasus di Paseban. Nama SWS pernah tersangkut dalam kasus pengguguran kandungan ilegal di Klinik Sarastri Griya di Jalan Otista III Raya No 115, Jatinegara, Jakarta Timur, yang diungkap polisi pada November 2000, hampir 20 tahun silam (Kompas, 11/11/2000).
Terkait dengan hal itu, Reza mempertanyakan efek jera hukuman terhadap para residivis aborsi ilegal. Padahal, para pelakunya bagi dia sama saja dengan pelaku pembunuhan berencana terhadap anak yang sudah dilahirkan.
Reza mencontohkan, predator seksual yang menyasar anak-anak dan korbannya lebih dari satu orang bisa dijatuhi hukuman mati, sesuai dengan UU No 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1 No/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
”Namun, (oknum) dokter jagal dengan korban ratusan bahkan mungkin ribuan janin (manusia), ancaman pidananya hanya sepuluh tahun, tanpa pemberatan,” ujarnya lewat keterangan tertulis.