Upacara Mengapung, Pentingnya Menjaga Kelestarian Sumber Daya Air
Puluhan anak muda berpartisipasi dalam upacara mengapung di Tangerang Selatan. Kegiatan ini mencoba merawat ingatan tentang pentingnya pelestarian lingkungan, khususnya sumber air.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
Absen tahun lalu, peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia di tengah danau atau Situ Tujuh Muara, Tangerang Selatan, Banten, kembali diadakan. Lewat momentum tersebut, para pemuda-pemudi mengingatkan warga dan pemerintah untuk senantiasa menjaga kelestarian sumber daya air di wilayahnya.
Jalan selebar 2 meter di tepi Situ Tujuh Muara sudah dipenuhi ratusan pemuda-pemudi dari sejumlah wilayah di Tangsel, Senin (17/8/2020) pagi. Mereka datang dari berbagai organisasi kepemudaan, sekolah, dan kampus. Keramaian oleh para pemuda itu membuat warga yang tinggal di sekitar danau kesulitan melintas di jalan.
Dua jam lagi mereka bakal terlibat dalam momentum setahun sekali: pengibaran bendera Merah Putih di tengah situ. Agenda tahunan itu sejatinya rutin dilaksanakan, hanya saja tahun lalu terpaksa ditiadakan.
Senyum serta canda tawa mereka tidak putus-putus terdengar. Di beberapa sudut tepian danau, sebagian mahasiswa terlihat melakukan pemanasan. Mereka bertelanjang kaki dengan mengenakan pelampung di badan. Di permukaan danau, beberapa panitia terlihat mempersiapkan perahu.
Pengibaran bendera menurut rencana bakal dimulai pukul 08.00. Sebuah tiang bendera setinggi 4 meter terpancang di tengah danau. Momen tersebut menarik perhatian warga sekitar. Tidak sedikit pengendara menepikan kendaraan untuk menyaksikan detik-detik menjelang bendera Merah Putih dikibarkan di atas air.
Setelah semua perangkat upacara siap, satu per satu dari mereka menceburkan diri ke dalam situ. Dengan sedikit gerakan renang, dalam sekejap para pemuda-pemudi itu sudah sampai di tengah situ. Mereka lalu berkoordinasi satu sama lain dan membentuk formasi menyerupai huruf L.
Tidak jauh dari para perangkat upacara itu, sejumlah panitia di atas perahu mengawasi, bersiap membantu apabila terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Dalam hitungan menit, upacara siap dimulai.
Mendekati momen pengibaran bendera Merah Putih, pembawa bendera dan dua perangkat upacara yang bertugas menarik tali terlihat agak kesulitan mengibarkan bendera di dalam air. Butuh sekitar lima menit bagi mereka untuk mengondisikan bendera agar siap dibentangkan.
Beberapa saat setelahnya, tanpa dikomando, warga dan peserta upacara di tepi danau serentak menyanyikan lagu ”Indonesia Raya”. Mengikuti alunan lagu, bendera perlahan-lahan naik hingga ke ujung tiang. Tepuk tangan riuh membahana ketika bendera selesai dikibarkan.
”Hore-hore, benderanya sudah naik,” ucap seorang ibu kepada anak balitanya di tepi danau. Ibu itu menggenggam kedua tangan balitanya seraya membuatnya bertepuk tangan. Anak balita itu terdiam mematung melihat ke arah situ, tidak memahami momen apa yang tengah ia saksikan.
Acara kemudian segera beralih ke pembacaan Pancasila. Segera setelahnya dilanjutkan dengan pembacaan Undang-Undang Dasar 1945. Sementara itu, di atas air, para perangkat upacara bergeming di sekitar tiang bendera.
Kelestarian sumber air
Ketua panitia upacara mengapung Firmanudin menyampaikan, kegiatan ini sudah delapan kali dilaksanakan di tempat yang sama. Ratusan pemuda-pemudi terlibat dalam kegiatan ini, baik sebagai peserta maupun perangkat upacara.
Selain agar unik dan menarik, upacara mengapung, kata Firmanudin, ingin mengingatkan kepada pemerintah dan masyarakat agar lebih memberi perhatian pada kelestarian sumber air. ”Situ ini, kan, airnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat juga. Kalau ini sampai tercemar, kita semua yang akan kenda dampaknya,” ujarnya.
Isu lingkungan, khususnya menjaga keberlangsungan sumber air, relevan untuk terus digaungkan di Kota Tangerang Selatan. Selain sejumlah situ yang mulai dipenuhi sampah, pada Mei 2020 terjadi pencemaran Sungai Cisadane setelah turap atau sheet pile Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang longsor. Ratusan ton sampah di TPA tersebut jatuh hingga menutupi dua pertiga bagian Sungai Cisadane.
Oleh sebab itu, upacara mengapung akan terus digelar setiap tahun. Para pemuda-pemudi Tangerang Selatan itu berniat mengingatkan pemerintah dan warga akan pentingnya menjaga keberlangsungan sumber daya air.
”Upacara mengapung yang kami selenggarakan saat ini merupakan ungkapan kegelisahan kami akan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kelestarian sumber daya air,” kata Ketua Umum Organisasi Kepemudaan Ganespa Dodi Haryanto. Ganespa merupakan sebuah organisasi kepemudaan yang memberikan perhatian terhadap isu-isu lingkungan hidup, sekaligus motor penggerak upacara mengapung.
Menurut Firmanudin, rangkaian kegiatan upacara mengapung hampir sama dengan upacara bendera pada umumnya. Hanya saja, teknis pelaksanaannya sedikit lebih sulit karena perangkat upacara agak tidak leluasa bergerak di dalam air.
Untuk itu, mereka membutuhkan latihan selama lebih kurang satu pekan sebelum terjun. Perangkat upacara mayoritas berasal dari gabungan organisasi, antara lain siswa pencinta alam (Sispala), mahasiswa pencinta alam, dan karang taruna.
Fachrian Ahmad Mustafa (16), peserta upacara mengapung, menyampaikan kegelisahannya terhadap pencemaran sumber air yang mulai sering terjadi di Tangerang Selatan. Fachrian merupakan siswa kelas XI di SMA Negeri 9 Tangerang Selatan. Kecintaannya terhadap alam membimbingnya mengikuti ekstrakurikuler Sispala.
Ia mengidamkan alam Indonesia yang tetap lestari 25 tahun mendatang. Saat usia republik ini genap 100 tahun, ia berharap hutan, laut, dan segala keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia mampu bertahan. Satu hal yang ia rasa bisa menghalangi angan-angan tersebut: derap pembangunan yang terlampau ekstraktif.
”Pembangunan, bagi saya, penting. Cuma harus bisa selaras dengan alam. Tidak saling mengorbankan,” kata Fachrian saat ditanya mengenai harapannya mengenai kondisi Indonesia saat satu abad kemerdekaan.
Apa yang Fachri dambakan boleh jadi tak akan terwujud apabila masyarakat masih mengesampingkan kelestarian alam demi memenuhi kebutuhan sesaat. Pun demikian, kiranya kita boleh menaruh harap pada pemuda yang punya kegelisahan dan komitmen. Menitipkan mimpi Indonesia kepada mereka yang akan menerima estafet kepemimpinan 25 tahun mendatang.