Para pedagang kecil menyimpan harapan akan Kehidupan yang lebih baik pascapandemi Covid-19 ini.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyambut Hari Ulang Tahun Ke-75 Republik Indonesia, sejumlah pedagang kecil di Jakarta Timur berharap Indonesia lekas pulih dari Covid-19. Dengan demikian, mereka bisa bebas berusaha seperti sediakala.
Penerapan pembatasan sosial berskala besar transisi di DKI Jakarta membuat sejumlah pedagang di tepi Kanal Timur, Jakarta Timur, tidak leluasa berdagang. Sebab, waktu berdagang dibatasi.
Menurut pedagang kopi keliling Edi Sumarna (34), Senin (17/8/2020), pedagang baru bisa menggelar lapak pukul 11.00-16.00. ”Kalau kami datang terlalu pagi akan diusir sama Satpol PP,” kata warga Bintara, Bekasi, Jawa Barat, ini.
Biasanya, Edi sudah berdagang sejak pagi hari di tepi kanal ini. Pelanggannya merupakan orang yang sedang berolahraga ataupun warga yang sedang rekreasi. Pengurangan waktu berdagang membuat pemasukan Edi berkurang.
”Kalau normal, mah, bisa Rp 200.000 omzet. Kini cuma Rp 100.000-an. Makanya, Covid-19 ini cepat selesai. Biar saya berdagang aman dan tak diusir-usir lagi,” ujarnya.
Edi merupakan perantau asal Serang, Banten. ”Untungnya istri itu sabar orangnya. Tidak pernah minta macam-macam. Dia paham keadaan lagi susah,” katanya.
Pedagang tahu gejrot Boim (27) menambahkan, aturan PSBB transisi di Kanal Timur terasa diskriminatif. Ruang gerak pedagang dibatasi. Namun, pembatasan tak berlaku terhadap warga.
”Apa PSBB transisi ini hanya berlaku untuk pedagang?” katanya.
Sebulan lalu, gerobak miliknya ditahan Satpol PP. Hingga sekarang, gerobak itu belum dikembalikan. ”Beruntung itu punya bos. Bos saya juga ngerti, jadi gak minta ganti. Ini gerobak baru yang saya bikin sendiri,” kata pria yang tinggal di pabrik tahu gejrot, di Kampung Bojong Rangkong, Jakarta Timur, ini.
Dia pun berharap perdagangan di tepi Kanal Timur kembali normal. ”Pokoknya korona ini cepat selesai, deh. Waswas juga kalau jualan saat begini. Nanti gerobak saya ditahan lagi,” ujarnya.
Di Jalan Bekasi Timur, Jatinegara, Jakarta Timur, pedagang cutting sticker Rosid (59) mengeluh karena orderan sepi. Sudah seminggu terakhir, pendapatan hanya cukup untuk membeli ikan asin. ”Untung beras ditanggung pemerintah. Kalau tidak, kocar-kacir saya. Mau jadi kuli bangunan, badan sudah enggak kuat,” katanya.
Sebenarnya Rosid sudah lama berniat untuk mengganti usaha. Sebab, usaha cutting sticker pinggir jalan yang ia jalani sudah ketinggalan zaman. Konsumen mulai berpaling ke bengkel yang peralatannya lebih lengkap dibandingkan dengan usaha Rosid yang hanya mengandalkan pisau.
Ia ingin menjual sembako agar tidak perlu lagi berpanas-panasan di pinggir jalan. Apa daya, modal dari usaha pinggir jalan tak pernah terkumpul. Dia pernah berpikiran untuk meminjam modal ke bank. Namun, tinggal di rumah kontrak dan tempat usaha yang tak jelas membuat ia pesimistis bank akan mengabulkan keinginannya.
”Akhirnya, ya, begini saja, usaha untuk sekadar membeli ikan asin,” katanya.
Edi, Boim, dan Rosid sama-sama bergerak di sektor informal. Sejumlah pengamat ekonomi berpendapat, pekerja sektor informal rentan miskin. Sebab, usaha mereka memerlukan kehadiran fisik dan tidak bisa secara virtual.
Badan Pusat Statistik, pertengahan Juli 2020, mencatat, ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Semoga Edi, Boim, dan Rosid tidak menambah angka kemiskinan tersebut.