Benda yang diduga cagar budaya di Stasiun Bekasi diperkirakan gorong-gorong air yang dibangun Belanda pada 1880-an. Struktur benda itu masih akan diteliti oleh tim pelestari cagar budaya.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
Benda cagar budaya yang ditemukan saat penggalian proyek rel dwiganda di Stasiun Bekasi, Kota Bekasi, Jawa Barat, diduga merupakan sisa bangunan fondasi stasiun lama dan gorong-gorong air peninggalan Belanda. Bangunan itu diperkirakan dibuat Belanda pada tahun 1880-an.
Benda yang ditemukan di Stasiun Bekasi itu berupa satu lembar jendela kuno dan dua bangunan struktur bata sepanjang 15 meter. Bata bangunan itu memiliki panjang 28 sentimeter (cm), lebar 15 cm, dan tebal 5 cm. Bangunan itu tertimbun di bawah Stasiun Bekasi dan ditemukan saat penggalian pengerjaan proyek pembangunan rel dwiganda (double double track/DDT) di Stasiun Bekasi, tepatnya di perimeter stasiun.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Bekasi Ali Anwar mengatakan, Stasiun Bekasi pertama kali dibangun Belanda pada 1880-an. Saat itu, statusnya masih halte yang mirip dengan stasiun, tetapi berukuran kecil. ”Stasiun dan halte itu dari bahasa Belanda. Tetapi fungsinya sama, tidak berbeda, hanya ukurannya yang kecil,” ujar Ali, di Kota Bekasi, Rabu (12/8/2020).
Pembangunan Stasiun Bekasi lama dilakukan Belanda setelah selesai membangun Jalan Raya Daendels atau Jalan Raya Pantura (termasuk Jalan Raya Ir Juanda, Kota Bekasi) pada 1811 sampai 1820-an. Jalan raya itu dibangun dari Jakarta hingga Jawa.
”Setelah Jalan Raya Daendels selesai dibangun, banyak investor asing masuk ke Bekasi. Investor itu ada yang dari China, Perancis, Belanda, Inggris, dan Arab,” kata Ali.
Saat investasi kian menggeliat di Kota Bekasi, Belanda membangun rel kereta api dari Stasiun Jakarta Kota, Manggarai, Jatinegara, Cakung, Kranji, Bekasi, Tambun, Cikarang, Lemah Abang, hingga Kedung Gede (perbatasan Kabupaten Bekasi dan Karawang). Stasiun atau halte dibangun Belanda di Kota Bekasi lantaran pada saat itu, daerah itu menjadi salah satu pusat pemerintahan Batavia.
”Bekasi waktu itu statusnya masih kawedanan. Jadi, saat itu pusat pemerintahannya di alun-alun Kota Bekasi. Di sebelah selatan alun-alun pada waktu itu ada kantor kawedanan, kantor polisi, ada kantor militer, kejaksaan, militer, masjid, dan rumah dinas,” kata Ali.
Tata air
Ketika Kota Bekasi jadi pusat pemerintahan, pembangunan oleh Belanda juga tak melupakan aspek tata kota, termasuk saluran air. Salah satu pembangunan saluran air di Kota Bekasi dimulai dari Stasiun Bekasi lama dan diperkirakan terhubung dengan parit sisi selatan stasiun atau di tepi Jalan Ir H Juanda. Saluran itu kemudian mengalir ke Kali Bekasi.
”Di tahun 1970-an, saat saya masih di bangku sekolah, parit di Stasiun Bekasi (parit peninggalan Belanda) itu kedalamannya sekitar 2 meter. Jadi saluran air dari Stasiun Bekasi dialirkan masuk dalam parit dan dialirkan ke Kali Bekasi,” kata Ali.
Pembanguan sistem tata air pada zaman Belanda diduga memiliki keterkaitan dengan struktur bata yang ditemukan di Stasiun Bekasi. Namun, temuan itu masih dugaan awal.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bekasi, melalui siaran pers yang diterima Kompas, sudah bersurat ke Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI untuk segera mengundang tim ahli dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. Tim pelestarian itu akan melakukan kajian, penelitian, dan rekomendasi atas temuan dugaan cagar budaya itu.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan juga bersurat ke PT Istaka Minarasindo selaku perusahan pengerjaan proyek DDT untuk mengamankan temuan dugaan benda cagar budaya berupa batu bata dan jendela kayu tersebut. Temuan itu diminta untuk tidak dibongkar dengan tujuan tidak mengubah keaslian sebelum ada penelitian dan rekomendasi dari BPCB Banten.
Pembanguan sistem tata air pada zaman Belanda diduga memiliki keterkaitan dengan struktur bata yang ditemukan di Stasiun Bekasi.
Menurut Kepala Balai Teknik Perkerataapian Wilayah Jakarta dan Banten Rode Paulus, revitalisasi di lokasi sekitar Stasiun Bekasi yang ditemukan benda diduga cagar budaya untuk sementara dihentikan. Pengerjaan akan dilanjutkan kembali setelah ada penelitian dan rekomendasi dari BPCB Banten.
”Dalam undang-undang pelestarian cagar budaya, ada beberapa cara dalam pelestarian cagar budaya. Oleh karena itu, akan dirapatkan lagi dengan instansi terkait,” kata Rode.