Integrasi dan Adaptasi di Tengah Pandemi, Kunci Pengembangan Angkutan Umum Jabodetabek
Di tengah pandemi Covid-19, penggunaan angkutan umum tetap harus didorong. Untuk itu, perlu dikembangkan konsep angkutan yang saling terintegrasi dari semua aspek layanan transportasi publik.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki tatanan adaptasi kebiasaan baru dengan adanya pandemi Covid-19, saatnya angkutan umum perkotaan dibenahi untuk mendorong dan memenuhi kebutuhan masyarakat menggunakan transportasi umum. Integrasi menjadi kunci pembenahan angkutan umum untuk memudahkan masyarakat bermobilitas, di samping juga menjamin kesehatan supaya tidak ada kekhawatiran menggunakan angkutan umum.
Elly Adriani Sinaga, dosen senior pada Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti, dalam diskusi virtual yang digelar Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) tentang pengembangan angkutan umum perkotaan di Jabodetabek, Rabu (12/8/2020), menjelaskan, pengembangan angkutan umum di Jabodetabek dimungkinkan. Utamanya karena potensinya besar.
Mengacu pada angka perjalanan harian warga Jabodetabek yang terakhir, tercatat sudah mencapai 88 juta perjalanan per hari. Apabila populasi Jabodetabek 31 juta jiwa, per orang rata-rata setidaknya melakukan 2,8 perjalanan per hari.
BPTJ, Elly Sinaga menyebut, memiliki peran besar untuk bisa membuat perjalanan orang di Jabodetabek menjadi lebih mudah, nyaman, aman, dan selamat. Ditambah lagi dengan adanya pandemi Covid-19, BPTJ berperan untuk memastikan publik bisa tetap bermobilitas dengan angkutan umum dan tetap sehat. Apalagi, BPTJ sudah memiliki panduan berupa Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018.
Beberapa target yang mesti dicapai dalam pengembangan angkutan umum adalah cakupan layanan yang mencapai 80 persen, pengguna angkutan umum sebesar 60 persen, pergantian menggunakan angkutan umum maksimal tiga kali, waktu perjalanan dari asal ke tujuan 90 menit, adanya transit di simpul transportasi, lalu wajib ada pengumpan ke rute utama, warga bisa mengakses angkutan umum dalam jarak 500 meter, hingga kecepatan perjalanan minimal 30 km per jam.
Melihat angka perjalanan di Jabodetabek, kata Sinaga, itu adalah sebuah potensi besar. Hanya saja, lanjutnya, ia mempertanyakan apakah penyediaan angkutan umum saat ini sudah sesuai dengan karakteristik pengguna atau sudahkah sesuai dengan kebutuhan pengguna.
”Untuk memenuhi, kata kunci dalam pengembangan konsep angkutan umum di Jabodetabek saat ini adalah integrasi, yaitu integrasi jaringan, simpul, layanan, informasi, dan tarif,” jelas Sinaga yang juga pernah menjabat sebagai Kepala BPTJ tersebut.
Untuk mengintegrasikan itu semua, dibutuhkan kelembagaan. BPTJ tidak bisa mengendalikan semua moda transportasi di Jabodetabek, tetapi bisa memiliki dewan transportasi Jabodetabek yang terdiri dari dinas perhubungan, Organda, juga para operator. Melalui dewan ini semua hal terkait layanan, jaringan, informasi, simpul atau kawasan berorientasi transit juga tarif diintegrasikan.
”Namun yang perlu menjadi perhatian awal adalah peninjauan ulang atas asal dan tujuan dari perjalanan orang di Jabodetabek. Selama ini, pola asal-tujuan di Jabodetabek ini belum spesifik. Itu harus di-review ulang supaya betul-betul memiliki karakteristik perjalanan,” jelas Sinaga.
Di masa pandemi dan setelahnya nanti, BPTJ berperan untuk memastikan publik bisa tetap bermobilitas dengan angkutan umum dan tetap sehat.
Peninjauan ulang itu perlu untuk bisa menyusun kembali jaringan simpul, trayek baik trayek utama, trayek pengumpan, maupun nontrayek. ”Karena di masa pandemi bersepeda dan berjalan kaki kembali diminati, saya kira bisa dimasukkan dalam penyusunan kembali,” jelas Sinaga.
Dengan adanya kelembagaan itu pula, masyarakat bisa mendapatkan informasi layanan seperti jadwal kedatangan dan keberangkatan. Tak lupa, soal integrasi tarif. Untuk integrasi tarif, saat ini sudah terbentuk perusahaan gabungan antara PT MRT Jakarta, PT Transportasi Jakarta, PT MITJ, dan PT Jakarta Propertindo yang akan mengurusi integrasi tarif. Tentu saja integrasi tarif yang akan diwujudkan sangat dinantikan.
”Dengan adanya integrasi dari lima hal ini, pengguna angkutan umum di Jabodetabek dimudahkan dan menjadi mampu merencanakan perjalanannya,” jelas Sinaga.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dan akademisi Unika Soegijapranata, Semarang, yang hadir sebagai pembahas, menambahkan, selain kelima aspek tersebut, perlu juga adanya integrasi pemikiran. Yang dimaksud khususnya integrasi pemikiran dari kepala-kepala daerah di Jabodetabek supaya saling mendukung pengembangan jaringan layanan angkutan umum bersama se-Jabodetabek.
Kalau ada integrasi pemikiran, lanjut Djoko, akan ada perubahan dalam diskusi pengembangan angkutan umum di Jabodetabek. Terdekat, ia melihat Jabodetabek bisa mengembangkan angkutan regional JR Connexion yang saling menghubungkan antardaerah.
”Ini pemerintah daerah harus mendukung karena pelayanan langsung kepada masyarakat,” katanya.
Sementara untuk perbaikan di sektor angkutan lokal, lanjut Djoko, pemerintah pusat memiliki anggaran untuk mengembangkan konsep buy the service untuk mendorong perubahan dan perbaikan layanan angkutan umum lokal di daerah-daerah. Dengan demikian, setiap pemerintah daerah bisa memanfaatkan anggaran itu untuk mengembangkan angkutan lokal berkonsep bus cepat massal (bus rapid transit/BRT). Contohnya Tangerang yang mulai dengan Trans-Tayo.
Agus Pambagio, pengamat kebijakan yang turut hadir sebagai pembahas, menjelaskan, situasi pengembangan angkutan umum di Jabodetabek saat ini pengembangannya bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat dan kemampuan negara membangun, melainkan lebih pada menjalankan proyek yang terkadang tidak ada dalam peta jalan.
Untuk itu, ia melihat perlu ada revisi program transportasi massal DKI Jakarta juga regulasi lainnya atau memperkuat RITJ. ”Hindari membangun moda transportasi umum baru di luar yang sudah tertuang dalam RITJ atau regulasi yang sudah diatur. Selain itu juga lakukan pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi,” jelas Agus.
Kepala BPTJ Polana B Pramesti sepakat integrasi menjadi kata kunci dalam pengembangan angkutan umum perkotaan di Jabodetabek yang baik. ”Itu menjadi masukan bagi kami untuk memperbaiki transportasi perkotaan dan untuk bisa meningkatkan modal share 60 persen seperti yang termuat dalam RITJ,” jelasnya.
Namun, ia melihat tetap perlu ada integrasi perencanaan tata guna lahan dengan transportasi umum. Polana juga menegaskan, protokol kesehatan masih harus diterapkan dalam tatanan adaptasi kebiasaan baru untuk tetap menarik minat masyarakat menggunakan transportasi umum.