Sopir Angkutan Umum Belum Terdampak Ganjil Genap
Penerapan sanksi atas kebijakan ganjil genap belum banyak memberikan pengaruh kepada pengemudi angkutan umum. Mereka masih merasakan kesulitan finansial di tengah pandemi Covid-19 ini.
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan kebijakan ganjil genap belum berdampak signifikan terhadap pendapatan sopir transportasi umum. Ancaman finansial menanti di depan mata.
Polisi mulai melakukan penindakan terhadap pelanggar kebijakan ganjil genap, Senin (10/8/2020) ini. Kebijakan ganjil genap diterapkan di 25 ruas jalan di DKI Jakarta.
Menurut Muhammad Ali (55), pengemudi taksi daring asal Depok, Jawa Barat, pemberlakuan ganjil genap membuat pendapatannya naik meski tidak signifikan. Pria yang memiliki mobil berpelat nomor ganjil ini bisa mendapatkan penumpang hingga delapan orang pada tanggal ganjil.
Baca juga: Senin, Penindakan di 13 Ruas Jalur Ganjil Genap Gunakan Kamera ETLE
Sementara untuk tanggal genap, ia hanya mendapatkan tiga hingga lima penumpang. Jumlah ini sama seperti saat sebelum pemberlakuan ganjil genap, tepatnya sejak Juni 2020.
”Jadi lumayan ya, penghasilan buat tanggal ganjil nutupin buat yang tanggal genap,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin (10/8/2020).
Dengan delapan penumpang sehari, Ali bisa membawa uang Rp 300.000-Rp 400.000. Namun, jika hanya mendapat penumpang 3-5 orang per hari, ia hanya mengantongi Rp 100.000-Rp 200.000. Uang tersebut belum termasuk untuk membeli bahan bakar minyak (BBM). ”Kalau seharian biasanya, sih, habis BBM Rp 100.000-Rp 150.000,” katanya.
Meski ada peningkatan, jumlah tersebut masih jauh dibandingkan dengan sebelum adanya pandemi Covid-19. Saat itu, Ali mengaku bisa mendapatkan 16-17 penumpang setiap hari dengan keuntungan di atas Rp 500.000.
Dengan kondisi saat ini, Ali mengaku waswas tidak bisa membayar angsuran mobilnya yang mencapai Rp 4,4 juta per bulan. Ia khawatir harus menyerahkan mobilnya kembali ke pihak pemberi kredit, seperti pada Maret silam.
Saat itu, kondisi keuangan Ali berantakan, menyusul masuknya Covid-19 ke Tanah Air. Ia tidak mampu membayar angsuran mobilnya dan terpaksa memasrahkan mobilnya diambil oleh pemberi kredit.
Beruntung, tiga bulan setelahnya, paman Ali mau membayarkan biaya relaksasi kredit sebesar Rp 2,5 juta beserta angsuran untuk Juli 2020. Namun, kini, justru sang paman yang terancam menutup usaha kateringnya karena banyak pesanan dibatalkan.
”Uwak mau lanjutin angsurannya saat itu. Eh, tapi usahanya juga kena dampak Covid-19. Jadi, sekarang mobil dipasrahkan ke saya lagi,” katanya.
Saat ini Ali kebingungan untuk membayar angsuran bulan Agustus ini. Sebab, dengan pendapatan harian seperti saat ini, mustahil baginya untuk mengumpulkan uang Rp 4,4 juta pada akhir bulan.
”Saya sudah berencana menawarkan oper kredit mobil ini ke teman saya. Yang penting nama saya enggak masuk daftar merah di leasing,” katanya.
Menurut Iam (46), sopir taksi konvensional asal Bekasi, Jawa Barat, aturan ganjil genap tidak memberikan pengaruh. Pada Jumat (7/8/2020), misalnya, ia masih saja mendapatkan penghasilan Rp 75.000 dalam sehari. Hari setelahnya, ia bisa mendapatkan Rp 400.000.
Pada hari normal, Iam bisa mendapatkan di atas Rp 500.000 per hari. ”Sistemnya 40 persen untuk saya, 60 persen untuk perusahaan. Jadi, kalau dapatnya cuma Rp 75.000, habis buat beli BBM,” katanya.
Sejak Juni lalu, Iam mengamati, penumpang cenderung ramai pada pagi hingga pukul 09.00 dan sore mulai pukul 16.00. Sementara pagi hingga siang, Iam sering gigit jari, termasuk saat jam istirahat, saat karyawan sering keluar untuk makan siang bersama.
”Dulu kalau jam istirahat, enggak ada taksi yang ngetem kayak gini, pada nganter penumpang. Sekarang pada ngetem di mana-mana,” katanya.
Berdasarkan pantauan pada Senin pukul 12.00, taksi-taksi terlihat berjajar di sepanjang Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Seperti di depan Kementerian Kesehatan, tidak kurang dari sepuluh taksi berjajar di sana.
Dulu kalau jam istirahat, enggak ada taksi yang ngetem kayak gini, pada nganter penumpang. Sekarang pada ngetem di mana-mana.
Hal yang sama terlihat di Jalan Achmad Bakrie Barat, Kuningan, Jakarta Selatan. Para sopir taksi daring dan taksi konvensional terlihat memarkir mobil mereka di kawasan tersebut.
Salah seorang petugas sekuriti gedung berkali-kali harus menyuruh mereka berpindah tempat. Menurut dia, area tersebut merupakan kawasan dilarang parkir.
Iam mengatakan, hal tersebut terjadi karena karyawan yang mulai masuk kerja masih terbatas. Mereka juga memilih untuk tidak keluar kantor saat jam makan siang. Selama mobilitas karyawan masih belum normal, ia meyakini pendapatannya masih akan berkutat di angka saat ini. ”Kayak penumpang saya tadi pagi, dia ke kantor cuma seminggu sekali,” katanya.
Di Tanah Abang, Jakarta Pusat, stan pengojek daring sedang ramai mendiskusikan informasi mengenai bantuan bagi pekerja dengan gaji Rp 5 juta per bulan berupa transfer tunai Rp 600.000 per bulan selama empat bulan. Dengan berstatus sebagai mitra aplikator, mereka khawatir tak mendapat subsidi tersebut.
Padahal, dari sisi pendapatan, hampir semua pengojek daring di Tanah Abang berpendapatan di bawah Rp 5 juta. ”Boro-boro Rp 5 juta, selama Covid-19, rasanya enggak pernah bawa sampai Rp 100.000 per hari. Tanya saja ke driver lain,” tutur Sugiharto (53), salah seorang pengojek daring.
Menurut Sugiharto, meskipun ada pengguna mobil pindah dengan naik kereta rel listrik, bukan berarti mereka menggunakan jasa ojek daring. ”Mereka itu mana mau naik ojol. Pasti pada masih khawatir semua dan lebih memilih naik taksi. Meskipun sebenarnya kami juga taat protokol kesehatan dan suhu tubuh diperiksa secara rutin,” jelasnya.
Kondisi pengojek daring tak jauh berbeda dengan pengojek pangkalan. ”Kami sibuk saja tuh ngacungin jari (menawarkan jasa) ke penumpang KRL yang turun, tapi enggak ada yang naik,” ujar Ardian (33), pengojek pangkalan di Tanah Abang.
Hingga siang hari, baru satu penumpang menaiki sepeda motor matik milìknya. Ia mengantar penumpang itu ke Pasar Senen dengan ongkos Rp 15.000. ”Covid-19 ini bikin opang lebih susah lagi. Dulu, penghasilan kami Rp 100.000 paling banyak. Karena Covid-19, jadi nyungsep. Kadang cuma buat beli rokok saja,” jelasnya.
Sopir mikrolet M03, Adi (50), pun mengeluhkan hal yang sama. Dari Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, ia hanya mengangkut satu penumpang ke Stasiun Tanah Abang. Mengetem 10 menit di depan stasiun, mobil baru berisi satu orang.
”Kalaupun ada banyak pengguna mobil naik angkutan umum, pasti mereka memilih JakLingko karena gratis, toh,” katanya.
Selama seminggu terakhir, Adi hanya membawa pulang sekitar Rp 60.000. Sebelum Covid-19, ia bisa mendapat penghasilan bersih hingga Rp 200.000.
Dia melanjutkan, yang akan mengembalikan pendapatan sopir mikrolet adalah dengan pembukaan sekolah. ”Kalau saya tuh, hampir 40 persen pendapatan itu dari anak sekolah,” jelasnya.