Kaum komuter menghadapi situasi sulit saat ada kepadatan angkutan umum dan pembatasan kendaraan ganjil genap. Sejumlah kondisi itu membuat mereka semakin khawatir melakukan mobilitas di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mobilitas dari sejumlah kota penyangga menuju Jakarta pada Senin (10/8/2020) tampak padat sejak pagi. Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah jalan protokol dan pemberhentian moda angkutan umum tak luput dari hilir mudik warga yang hendak beraktivitas.
Senin pagi ini pun menjadi sedikit berbeda bagi sebagian orang karena diterapkannya pembatasan kendaraan ganjil genap. Sejumlah kalangan komuter yang terbiasa menuju Jakarta dengan mobil, kini mencoba untuk naik angkutan umum. Namun, situasi di angkutan umum cukup mengagetkan mereka.
Efie (42), pekerja yang terbiasa membawa mobil dari Bogor, Jawa Barat, dikejutkan dengan antrean penumpang yang membeludak saat ia mencoba naik moda kereta rel listrik (KRL). Tadi pagi sekitar pukul 08.00, dia menjumpai antrean panjang sejak di pintu paling depan stasiun. Antre dengan jarak antarorang sekitar 1 meter membuat dirinya baru bisa masuk ke stasiun sekitar pukul 08.30.
Saat naik KRL, dirinya mesti menghadapi kepadatan penumpang hingga Stasiun Manggarai. Dalam kereta, penumpang yang berdiri kerap berjarak kurang dari 1 meter. Efie juga senewen saat ada penumpang yang batuk meski menggunakan masker.
”Sebisa mungkin tanganku enggak pegang barang apa pun pas di dalam KRL. Bisa saja kita ketularan virus penyebab Covid-19 sewaktu naik kereta,” ungkap perempuan yang mempunyai dua anak itu.
Pengalaman Efie mungkin menggambarkan kegelisahan sebagian kaum komuter yang ”melaju”, yakni menjalani rutinitas pergi-pulang dari satu kota ke kota lain dalam sehari. Pada hari ini, sekitar 1,1 juta kaum komuter di Jakarta praktis direpotkan dengan pembatasan kendaraan ganjil genap. Alhasil, mereka harus memilih alternatif kendaraan saat berangkat kerja.
Efie yang berangkat naik KRL hari ini merasa tidak punya pilihan moda lain. KRL dianggap paling mudah dijangkau dan bisa langsung menjangkau kantor ketika hari kerja sedang padat-padatnya. Namun, dia juga sulit menerima suasana KRL yang begitu padat.
”Aku takutnya naik KRL ke kantor malah memicu penularan pandemi. Kalau naik kereta rutin, masih harus pikir dua kali dengan situasi kepadatan seperti itu,” jelasnya.
Jursum Nasir (62) juga mengalami hal serupa seperti Efie. Penumpang KRL asal Bekasi, Jawa Barat, itu tadi pagi turut terjebak kepadatan antrean penumpang kereta rute Bekasi-Jakarta Kota. KRL menjadi satu-satunya moda pilihan karena yang ia dengar, bus Transjakarta dari Bekasi menuju Kota belum beroperasi sekitar sebulan terakhir.
Jursum merasa pilihan moda angkutan ke Jakarta semakin terbatas selama pandemi Covid-19. ”Ya, makin terbatas, padahal di masa sulit begini orang butuh bergerak, berdagang. Jadi, enggak cuma yang bekerja kantoran saja yang kena dampak,” ungkap pengusaha yang hari itu mampir ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Sementara Nurul Eka (24), warga Sumatera Utara yang sedang menetap di Bekasi, Jawa Barat, berusaha tetap bertahan naik KRL meski berisiko terhadap penularan Covid-19. Lulusan perguruan tinggi di Medan, Sumatera Utara, ini membutuhkan moda yang murah, seperti KRL, selama pandemi.
Perwakilan dari Forum Pengguna dan Pecinta Kereta Api (FPPKA), Hadi Setiawan Ahmad, menuturkan, rekan pengguna angkutan umum sebenarnya sudah sangat khawatir dengan situasi di angkutan umum. Selama pandemi Covid-19, sebagian penumpang cenderung pasrah jika penularan terjadi meski tetap menerapkan protokol kesehatan.
”Kegelisan itu terus ada setiap naik kereta atau naik angkutan umum lain. Di forum pengguna angkutan, kami saling berpesan untuk jangan pegang benda yang ada di dalam kereta. Tetapi, tetap saja, untuk urusan berdesakan saat angkutan umum lagi padat, sebagian penumpang hanya bisa pasrah,” ucap Hadi.
Kepala Dinas Perhubungan Syafrin Liputo sebelumnya menyebut kalau pembatasan ganjil genap adalah rem darurat untuk menekan mobilitas warga saat pandemi Covid-19. Walakin, sejumlah warga kini justru khawatir kalau kepadatan orang berpindah ke transportasi umum.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengingatkan kalau kebutuhan mobilitas warga harus terjamin meski dalam masa pembatasan sosial. Moda angkutan, menurut dia, harus lebih beragam dari sekadar Transjakarta dan KRL.
Djoko mengapresiasi penggunaan moda bus tambahan dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) untuk sejumlah stasiun. Bus alternatif tersebut dapat mengurai kepadatan penumpang di moda kereta sehingga praktik berjaga jarak bisa lebih bisa dilakukan di setiap moda.
”Intinya, jenis angkutan diperbanyak agar masing-masing bisa menerapkan jaga jarak fisik yang ideal. Bus BPTJ yang sudah ada saat ini cukup bagus, bisa ditambah dengan jenis moda lain,” katanya.
Djoko menyarankan moda bus JR Connexion milik BPTJ bisa dimanfaatkan untuk mengakomodasi kebutuhan angkutan langsung dari wilayah permukiman. Dengan begitu, praktik pembatasan sosial semestinya berjalan lebih efektif karena setiap moda berperan mengurangi tingkat mobilitas warga.
”Ya, JR Connexion bisa dimaksimalkan. Saat ini sebaiknya berbagai cara untuk menekan mobilitas segera dilakukan. Sebab, kondisi kerumunan warga di angkutan umum bisa menyebabkan muncul kluster penularan. Apabila kerumunan tidak bisa dicegah, mustahil jika berharap pandemi segera berakhir,” tuturnya.