Pandemi Covid-19 telah memaksa sistem pendidikan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kondisi ini rentan bagi anak-anak di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) karena berpotensi kehilangan hak belajarnya.
Oleh
MB. DEWI PANCAWATI (LITBANG KOMPAS)
·4 menit baca
Pembelajaran jarak jauh dengan berbagai bentuknya, baik daring (online) yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi maupun luring (offline), sudah berjalan lima bulan sejak pandemi Covid-19. Akhirnya, sistem PJJ dikembangkan sebagai pilihan utama melanjutkan kegiatan belajar mengajar di tengah pandemi.
Tahun Ajaran Baru 2020/2021 ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan, 94 persen siswa yang berada di zona selain zona hijau harus tetap menjalankan sistem belajar dari rumah. Artinya, PJJ yang dinilai tidak efektif dan masih menimbulkan banyak masalah itu akan semakin lama dijalankan selama penyebaran Covid-19 belum bisa dikendalikan.
Dalam pelaksanaannya, PJJ juga telah menimbulkan bias persoalan. Dari aspek geografis telah menimbulkan bias antara Jawa dan Luar Jawa. Kemudian dari sisi akses teknologi dan ketersediaan listrik, belajar dari rumah ini telah memunculkan bias antara daerah berkoneksi internet lancar dan daerah yang tidak terjangkau jaringan internet sama sekali, ataupun belum teraliri listrik.
PJJ daerah 3T
Ketimpangan pembelajaran jarak jauh yang terjadi selama pandemi di daerah 3T tergambar dari Studi Penilaian Cepat yang dilakukan Yayasan Wahana Visi Indonesia pada Mei lalu. Dari 943 responden siswa di 251 desa 3T, ditemukan fakta 68 persen siswa memiliki akses untuk belajar daring atau luring.
Dari kelompok siswa tersebut, 20 persennya mengikuti program belajar dengan aplikasi Whatsapp, 19 persen mengikuti kelompok belajar atau kunjungan guru ke rumah. Sementara itu, ada 15 persen siswa yang sudah menggunakan aplikasi interaktif dalam pembelajaran seperti Zoom, Google Meet, atau Skype. Sementara 14 persen lainnya memanfaatkan program belajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui televisi atau radio.
Meski demikian, proses belajar tersebut masih menghadapi tantangan. Sebanyak 37 persen siswa mengaku tidak bisa mengatur waktu belajar. Faktor kesulitan memahami pelajaran dialami oleh 30 persen siswa. Sementara 21 persen tidak bisa memahami instruksi guru.
Tantangan yang lebih berat muncul karena ada 32 persen siswa di daerah tertinggal tersebut yang tidak memiliki akses sama sekali dalam PJJ, baik untuk belajar luring, apalagi daring. Hal inilah yang menjadi masalah karena satu dari tiga siswa tersebut harus belajar mandiri. Bahkan tidak belajar sama sekali alias ”libur” jika tidak ada yang mendampingi atau membimbing.
Ketimpangan fasilitas
Tak dapat dimungkiri, ketimpangan fasilitas yang dialami siswa di daerah 3T yang tidak memiliki akses sama sekali dalam PJJ membuat siswa tidak berdaya di masa pandemi. Sulitnya akses di daerah pedalaman membuat pembelajaran luring pun sulit diberlakukan.
Catatan Kemendikbud (2020), di Indonesia, masih ada 31,8 persen daerah yang belum tersentuh jaringan internet dan 7,1 persen yang belum menikmati listrik. Daerah yang belum terkoneksi dengan internet tersebut, 16,6 persen ada di daerah 3T, sedangkan yang belum teraliri listrik ada 5,9 persen.
Sementara itu, separuh lebih daerah 3T sudah memiliki jaringan internet, tetapi kurang bisa digunakan dengan baik. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh kekuatan sinyal yang lemah, di samping juga kurangnya kemampuan sumber daya manusianya dalam mengakses teknologi.
Menurut Statistik Potensi Desa BPS tahun 2018, masih ada 13.720 (16,3 persen) desa yang tidak ada sinyal internet maupun sinyal telepon seluler. Di Provinsi Papua, 81,3 persen desanya belum tersentuh jaringan internet ataupun telepon seluler. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Papua mencatat ada 14 daerah yang sama sekali tidak bisa melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Beberapa provinsi lainnya, seperti Papua Barat, NTT, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Barat, juga menghadapi kendala yang sama.
Perkuat akses
Masalah akses teknologi informasi dan komunikasi masih menjadi kendala bagi sebagian daerah di Indonesia, terutama daerah 3T. Kendala lainnya adalah keterbatasan akses sarana penunjang pembelajaran, seperti buku cetak, buku cerita, juga transmisi radio.
Minimnya ketersediaan dan akses infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi ini menjadi tantangan PJJ, khususnya di daerah pelosok. Hal ini harus segera ditangani secara khusus oleh pemerintah bersama dengan masyarakat.
Hasil jajak pendapat Kompas akhir Juni lalu menyebutkan, sejumlah hal kekhawatiran masyarakat jika sistem PJJ tidak berjalan dengan baik. Di antaranya, semakin banyak siswa di daerah 3T yang berisiko ketinggalan pelajaran dan menurun performa akademiknya. Motivasi belajar siswa juga menurun sehingga menjadi malas belajar dan akhirnya bisa memicu putus sekolah. Dampaknya tentu pada kualitas pendidikan di daerah 3T yang akan semakin tertinggal.
Salah satu solusinya, bisa juga dengan membuat modul materi ajar yang sederhana dan menarik agar siswa yang tidak terjangkau teknologi maupun pendampingan guru tetap bisa belajar mandiri. Selain itu, guru-guru di daerah terpencil juga perlu mendapat perhatian khusus, seperti subsidi tunjangan khusus.
Pendidikan di daerah 3T di masa sebelum pandemi sudah mengalami beberapa kendala. Di masa pandemi ini, kondisinya semakin rapuh. Jangan sampai siswa di daerah 3T kehilangan hak mendapatkan pendidikan yang baik.