Kota Depok Masuk 13 Besar Nasional Daerah Zona Merah Covid-19
Secara nasional, status Kota Depok bergeser dari zona oranye ke zona merah atau tingkat risiko penularan tinggi.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Kota Depok, Jawa Barat, menjadi satu dari 13 kabupaten/kota yang masuk atau mengalami perubahan status zona oranye ke zona merah secara nasional. Kebijakan PSBB dinilai tidak aplikatif dan tidak implementatif sampai ke akar rumput. Perpanjangan PSBB justru semakin menambah jumlah kasus positif.
Perubahan status zona ini disampaikan Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, melalui keterangan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (6/8/2020). Perubahan 13 kabupaten/kota dari zona oranye (risiko sedang) menjadi zona merah (risiko tinggi), masing-masing terjadi di Provinsi Bali di Karangasem, Gorontalo di Gorontalo Utara dan Pahuwato, Jawa Barat di Kota Depok, Kalimantan Selatan di Hulu Sungai Tengah, Maluku di Kota Ambon, Papua di Mimika, Sulawesi Selatan di Gowa, Sulawesi Utara di Minahasa dan Minahasa Selatan, Sumatera Selatan di Prabumulih, dan Sumatera Utara di Binjai.
”Kami mohon pemerintah daerah untuk betul-betul bisa meningkatkan penanganan Covid-19 agar wilayah masing-masing status zonasinya bisa membaik. Mari, bekerja sama semoga kondisi bisa membaik,” kata Wiku.
Adapun delapan kabupaten/kota yang berstatus zona merah selama empat minggu berturut-turut tidak berubah statusnya, yaitu Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Kota Semarang, Kabupaten Banjar, Kota Banjar Baru, Kabupaten Tabalong, Kota Medan, dan Kabupaten Deli Serdang.
Wiku melanjutkan, risiko penularan Covid-19 dengan pembobotan indikator masyarakat. Indikator tersebut terdiri atas tiga kategori, yaitu pelayanan kesehatan, surveilans kesehatan masyarakat, dan epidemiologi.
Penzonaan merah sebagai tanda waspada bagi semua pihak selama pandemi masih terjadi. Wiku meminta agar seluruh lapisan masyarakat memantau data dengan baik. Melindungi seluruh masyarakat sehingga zonasi risiko penularan makin rendah adalah upaya bersama setiap daerah, masyarakat, dan pemerintah.
Berdasarkan data harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Kota Depok, setelah pelonggaran PSBB pada 5 Juli 2020 hingga 6 Agustus 2020, terjadi fluktuasi jumlah pasien positif Covid-19, rata-rata ada 200 kasus aktif. Sebagai gambaran, dari rentang waktu 5 Juli-6 Agustus, lonjakan paling tinggi terhitung mulai dari 23 juli, yaitu 207 kasus aktif. Lalu turun 178 kasus pada 25 Juli. Mulai 27 Juli, kasus terus melonjak, hingga mencapai 310 kasus pada 6 Agustus.
Pada Jumat (7/8/2020) hingga pukul 13.51, jumlah pasien terkonfirmasi positif mencapai 1.383 orang, jumlah pasien sembuh 1.023 orang, jumlah meninggal 51 orang. Sementara total jumlah orang dalam pemantauan (ODP) 4.436 orang dan saat ini ODP yang masih dipantau ada 394 orang. Pasien dalam pengawasan (PDP) total 1.651 orang, saat ini ada 20 orang dalam pengawasan. Sementara, orang tanpa gejala (OTG) 3.138, saat ini ada 371 orang dalam pemantauan.
Berdasarkan data Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat, hingga saat ini belum ada kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat yang mencapai angka 1.000 kasus terkonfirmasi positif, selain Kota Depok.
Sementara itu, terkait perubahan status zona oranye ke zona merah di Kota Depok, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Depok Dadang Wihana mengatakan, tren penambahan kasus terjadi di Jabodetabek dan banyak daerah lainnya. Jumlah kasus tersebut bersifat fluktuatif dari waktu ke waktu.
Menurut Dadang, wabah Covid-19 sifatnya bukan lokal semata, melainkan ekternalitas regional, nasional, dan global. Terlebih warga Depok menggunakan transportasi massal bergerak keluar mencapai 60 persen.
”Penambahan kasus saat ini terjadi lebih banyak dari dampak tingginya pergerakan orang, terutama mereka yang bekerja di perkantoran dan berpotensi menularkan di dalam lingkungan keluarga. Tentu saat ini, kami tidak bisa membatasi aktivitas orang dalam bekerja karena sudah dibuka di semua sektor,” kata Dadang, Jumat (7/8/2020).
Dadang melanjutkan, ia sedang mencoba berkomunikasi dengan tim pakar epidemiologi satgas pusat Covid-19 yang menghitung nilai zonasi di Kota Depok.
”Hitungan mereka adalah mingguan, berdasarkan parameter yang sudah mereka tentukan. Namun, dalam rilis itu tidak menyebutkan periode waktunya dari tanggal berapa ke tanggal berapa,” lanjut Dadang.
Meski begitu, kata Dadang, sesuai arahan Ketua Gugus Tugas, mereka akan menguatkan kembali upaya pencegahan dan penanganan pada level RW atau kampung siaga. Tidak hanya itu, mereka juga akan terus mengingatkan dan mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan secara individu, seperti penggunaan masker maupun di aktivitas perkantoran, tempat umum, dan tempat kerja lainnya
”Hari ini gugus tugas dan camat akan melakukan rapat konsolidasi teknis untuk menindaklanjuti sejumlah kebijakan dan langkah taktisnya,” tutur Dadang.
PSBB tak implementatif
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan, berulang kali kebijakan perpanjangan PSBB proporsional pra-AKB di Bodebek dan PSBB transisi di Jakarta tidak menghasilkan dampak penurunan jumlah kasus Covid-19. Perpanjangan PSBB justru meningkatkan risiko penularan.
Trubus menilai, pemerintah tidak paham dan tidak memaknai PSBB sebagai upaya memutus mata rantai penularan dan penyebaran Covid-19. Aturan yang dibuat pemerintah pusat, provinsi, dan daerah tidak aplikatif dan tidak implementatif sampai ke bawah.
Data dan fakta lapangan berdasarkan tim Gugus Tugas Covid-19 di setiap daerah menunjukkan tingkat peningkatan epidemiologi, seperti kasus meninggal, ODP, OTG, dan PDP. Begitu pula dengan tingkat penularan dengan muncul kluster baru.
”Data fakta lapangan tidak menjadi cermin pemerintah melakukan langkah strategis untuk penanganan pandemi. Kenaikan kasus tidak tertangani, penanganan seperti bersifat di atas kertas, di lapangan implementasi aturan sangat kurang. Implementasi kebijakan harus dijalankan secara serius, harus sampai bawah,” katanya.
Ironisnya, lanjut Trubus, kasus positif juga banyak dari kalangan terdidik atau kelas menengah karena keabaian protokol kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa hanya menyorot kepatuhan protokol kesehatan di masyarakat kelas menengah ke bawah rendah.
”Tidak bisa menyalahkan masyarakat. Semua lapisan bisa kena. Masyarakat itu mengikuti aturan pemerintah, sementara aturan pemerintah tidak jelas dan justru buat bingung masyarakat. Pemerintah buat aturan, tapi tidak mereka jalankan,” lanjutnya.