Pembatasan Mobilitas Orang Tidak Boleh Kendur Selama Kasus Penularan Tinggi
Sejumlah data dan tren kasus menunjukkan penularan Covid-19 terjadi seiring longgarnya mobilitas warga. Pelonggaran pembatasan mobilitas warga tidak bisa dilakukan selama penambahan kasus baru masih tinggi.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya membatasi mobilitas orang adalah langkah urgen yang harus dilakukan untuk menghambat laju penularan Covid-19. Sejumlah data dan tren kasus menunjukkan penularan terjadi seiring mobilitas warga dari satu kota ke kota lain.
Situasi kritis pandemi Covid-19 terlihat dari peningkatan jumlah pemeriksaan kasus dan angka positif Covid-19 dari total yang diperiksa (positivity rate). Di Jakarta, misalnya, positivity rate selama beberapa pekan sejak 1 Agustus menanjak pada kisaran 7 persen. Angka itu menunjukkan Jakarta belum berada pada batas aman yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 persen.
Sementara positivity rate sepekan terakhir di Jakarta, Kamis (6/8/2020), menunjukkan angka 7,4 persen dengan total kasus positif 23.863 pasien. ”Situasi tersebut sama sekali tidak aman, terutama saat mobilitas warga yang semakin tinggi di Jakarta seperti saat ini,” ujarKepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko, Kamis (6/8/2020).
Tri meyakini, penyebab peningkatan kasus Covid-19 adalah laju mobilitas warga yang terlalu longgar. Apabila menelusuri kepadatan mobilitas di angkutan umum sepekan terakhir, tampak kepadatan di sejumlah moda angkutan pada jam-jam sibuk.
Kepadatan serupa juga tampak tiga hari terakhir di sejumlah bus Transjakarta. Antrean warga dengan jarak kurang dari 1 meter terlihat di Halte Harmoni, Jakarta Pusat. Sementara pada Senin (3/8/2020), sejumlah halte Transjakarta di Jakarta Timur juga dipenuhi antrean warga tanpa protokol jaga jarak saat berangkat kerja.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta juga mencatat kenaikan jumlah penumpang angkutan umum pada 3 Agustus 2020. Untuk bus Transjakarta, jumlah penumpang yang diangkut pada pukul 05.00 hingga pukul 21.00 sebanyak 337.118 orang. Jumlah itu meningkat dibandingkan pada 27 Juli atau sepekan sebelumnya, yakni 318.155 orang.
Begitu pula moda kereta rel listrik yang dikelola PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI). Jumlah penumpang per 3 Agustus sebanyak 414.367 orang atau bertambah sekitar 3,5 persen dari sepekan sebelumnya, yaitu 400.600 orang.
Kondisi peningkatan itu juga dibarengi kemunculan pasien positif Covid-19 di Tangerang, Banten, yang diketahui berasal dari kluster perkantoran di Jakarta. Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah mengonfirmasi, ada 15 pasien positif di Tangerang melakukan mobilitas ke wilayah DKI Jakarta. ”(Kontak erat) dalam artian dia pergi ke kantor, lalu pulang ke rumah dan menularkan,” ujarnya, Senin.
Sejumlah tren tersebut menandai mobilitas warga turut berpengaruh terhadap laju penularan kasus. Tri menilai, mesti ada langkah pembatasan yang lebih progresif. Tidak bisa hanya mengandalkan pembatasan ganjil genap yang sedang berlangsung pada pekan ini.
”Sejauh ini belum ada langkah yang progresif untuk menekan mobilitas orang-orang di Jakarta. Pembatasan sosial berskala transisi (PSBB) transisi cenderung memberi kelonggaran. Begitu pula pengawasan protokol kesehatan yang tidak berlangsung secara ketat,” ucap Tri.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengingatkan, moda transportasi turut berperan dalam memindahkan orang dengan virus dari satu tempat ke tempat lain. Hal itu yang menyebabkan lokasi perhentian angkutan umum menjadi wilayah riskan untuk penularan Covid-19.
Karena kondisi tersebut, dia menyarankan sebaiknya pemerintah mengondisikan agar permintaan warga terhadap moda angkutan umum menurun. Cara itu bisa dilakukan melalui berbagai macam kebijakan, misalnya menerapkan kebijakan bekerja dari rumah yang lebih masif untuk sektor tertentu.
Selagi mengurangi permintaan, pemerintah tetap menyediakan lebih banyak moda agar praktik jaga jarak tetap bisa dilakukan. Penambahan unit bus Transjakarta dinilai sebagai langkah yang baik, tetapi harus tetap dibarengi pengawasan praktik berjaga jarak yang ketat oleh petugas lapangan.
Terkait hal itu, Direktur Utama PT Transjakarta Sardjono Jhony Tjitrokusumo mengatakan, berbagai upaya untuk mengingatkan protokol kesehatan di angkutan telah dijalankan. ”Saya tekankan, kapasitas lebih dari 50 persen itu sudah tidak boleh. Kami mencegah kerumunan jika bus kelihatan penuh," ungkapnya dalam konferensi pers di Halte Monas, Kamis sore.
Selain penambahan moda angkutan dari lembaga, Djoko juga menyarankan agar moda bus JR Connexion juga digunakan secara optimal. Keberangkatan moda bus dari permukiman bisa mengurangi kepadatan di moda Transjakarta. ”Kalau warga berangkat naik JR Connexion, kan, lebih nyaman karena dari rumah. Physical distancing juga terjaga,” ujarnya.