Tiga Jutaan Pelaju Harian di Jabodetabek Belum Andalkan Angkutan Publik
Kemacetan menjadi masalah kronis dan telah mengakibatkan kerugian ekonomi di Jakarta sebesar Rp 65 triliun per tahun.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebab kemacetan berkelanjutan di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi, salah satunya dikaitkan dengan keengganan masyarakat memanfaatkan angkutan umum secara maksimal. Tidak sinerginya satu moda angkutan dengan lainnya dan simpul-simpul transportasi yang sporadis menjadi masalah yang perlu diselesaikan secepatnya.
Diskusi publik virtual bertema ”Peranan Transportasi Daring dalam Penggunaan Transportasi Massal” yang diselenggarakan Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), Selasa (5/8/2020), menyorot persoalan itu. Turut hadir sebagai narasumber Direktur Utama PT Transjakarta Sardjono Jhony Tjitrokusumo dan Presiden Direktur Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang hadir sebagai pembicara kunci mengungkapkan, di Jabodetabek tercatat 3,2 juta pelaju setiap hari. Jumlah ini menempatkan Jabodetabek sebagai wilayah aglomerasi terpadat di dunia dengan angka pergerakan orang 88 juta setiap hari. Satu penduduk Jabodetabek biasanya sangat dinamis dengan pergerakan bisa di atas tiga kali setiap hari.
”Akibat tingginya pergerakan dan minimnya pemakaian angkutan umum, kemacetan menjadi masalah kronis dan telah mengakibatkan kerugian ekonomi di Jakarta sebesar Rp 65 triliun per tahun. Kemacetan adalah beban logistik terbesar karena bisa mencapai 25 persen dari total biaya,” katanya.
Kementerian Perhubungan mencatat, pengguna angkutan umum di Jabodetabek, Bandung (Jawa Barat), dan Surabaya (Jawa Timur) tidak mencapai 20 persen dari populasi. Untuk itu, pemerintah mengupayakan kemudahan akses, seperti pemesanan tiket secara daring dan pembayaran nontunai.
Salah satu kendala terbesar bagi masyarakat adalah minimnya angkutan pengumpan (feeder) dari tempat tinggal menuju terminal ataupun stasiun. Oleh sebab itu, sinergi dengan perusahaan penyedia angkutan daring harus kian diperkuat.
SBM ITB pada kurun Desember 2019 hingga Maret 2020 melakukan survei kepada 5.064 pelaju di Jabodetabek. Jarak rata-rata satu arah yang ditempuh tiap pelaju adalah 25 kilometer dengan waktu tempuh 1 jam 12 menit. Umumnya, mereka menggunakan tiga moda transportasi. Misalnya, dari rumah ke stasiun menggunakan ojek daring. Setelah itu disambung transjakarta menuju titik berikutnya dan bisa disambung lagi dengan MRT, LRT, ataupun KRL.
”Pemakaian transportasi daring, seperti ojek dan taksi online, sebagai moda angkutan pengumpan mencapai 48 persen dari responden,” kata Yos Sunitiyoso, Kepala SBM ITB Kampus Jakarta.
Genjot angkutan umum
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Polana Banguningsih Pramesti mengungkapkan bahwa sinergi antarmoda angkutan umum terus ditingkatkan. Sejauh ini, BPTJ mengidentifikasi ada 17 simpul keramaian yang belum bersinergi dengan moda angkutan umum dan akan diintegrasikan.
Selain ada akses bus ataupun kereta, juga akan dialokasikan lahan untuk angkutan daring, terutama ojek, agar bisa mengantarjemput penumpang secara teratur. ”Sudah ada bus pengumpan Jakarta Residence Connexion dan dibantu dengan transportasi daring. Nanti dibangun terminal-terminal pengumpan yang layak dengan jadwal setiap jenis angkutan yang tertata dan hanya menggunakan pembayaran elektronik,” katanya.
BPTJ membidik target 60 persen masyarakat Jabodetabek memakai angkutan umum per tahun 2029. Sejatinya, pada tahun 2019 mereka menginginkan target sebesar 32 persen, tetapi sukar dicapai karena adanya pandemi Covid-19.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo menjabarkan bahwa khusus di Ibu Kota setiap hari ada 26 juta pergerakan. Akan tetapi, hanya 5,7 juta pergerakan yang memakai angkutan umum. Tahun 2022 ditargetkan setidaknya 30 persen dari jumlah pergerakan harian memakai angkutan umum, minimal satu jenis moda.
”Selain membenahi layanan angkutan umum, sinergi antarmoda, dan pemberlakuan ganjil-genap kendaraan pribadi, juga akan diambil langkah disinsentif, seperti membatasi jumlah lahan parkir dan menaikkan tarif parkir per jam. Hal ini agar masyarakat kian enggan memakai kendaraan pribadi,” ujarnya.
Pemerintah juga mendorong pemanfaatan kendaraan nonmotor, seperti sepeda dan skuter listrik, sebagai pilihan transportasi menuju tempat akhir atau setidaknya sebagai pengganti angkutan pengumpan. Saat ini tengah dikembangkan konsep berbagi sepeda motor dengan harga terjangkau. Rencana ini masih ditahan karena Jakarta belum bebas dari Covid-19.
Menurut Syafrin, tujuan program Jak Lingko bukan sekadar menyinergikan semua moda transportasi publik, melainkan juga mendefinisi ulang makna pergerakan manusia di Ibu Kota agar lebih praktis, efisien, dan ramah lingkungan.