Pekerja Khawatirkan Pelonggaran Protokol di Kantor
Pekerja mencemaskan keamanan di kantor dengan merebaknya kluster Covid-19 di perkantoran. Perpanjangan tangan pemerintah daerah dibutuhkan untuk menegaskan pengelola perkantoran menegakkan aturan pencegahan penyebaran.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar/Aguido Adri/I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengungkapkan melalui dialog dengan para pekerja, mayoritas pekerja kini cemas. ”Di satu sisi, mereka harus bekerja demi menafkahi diri dan keluarga. Di sisi lain, mereka khawatir tertular virus korona jenis baru,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Para pekerja umumnya mengeluhkan kendurnya protokol keamanan Covid-19 di tempat kerja. Padahal, perusahaan atau lembaga mewajibkan mereka untuk masuk kerja dengan alasan bekerja dari rumah tak efektif untuk meningkatkan produktivitas kantor.
Timboel menjelaskan, ada dua jenis hal yang dikeluhkan pekerja. Pertama, kantor pada awal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sangat ketat menerapkan protokol keamanan. Setiap orang yang datang selalu diperiksa suhu tubuhnya, diminta mencuci tangan dengan sabun atau minimal disediakan cairan antiseptik, wajib memakai masker, dan di ruang kerja diterapkan menjaga jarak fisik minimal 1,5 meter.
Menunggu pekerja mengutarakan protes kepada manajemen bukan solusi.
Namun, di kantor yang sama selama sebulan terakhir protokol itu melonggar. Tak ada lagi pengecekan suhu tubuh ataupun pengawasan kedisiplinan pekerja. Karyawan bergerombol mengobrol pada jam istirahat, di sela-sela pekerjaan, dan ketika menunggu kendaraan umum di depan kantor dibiarkan oleh manajemen ataupun petugas keamanan.
Adapun kantor jenis kedua ialah yang sedari awal enggan menerapkan protokol keamanan. Baik atasan maupun bawahan sama-sama tidak disiplin menjaga jarak ataupun memakai masker.
Hal ini belum ditambah kecemasan pekerja yang harus naik angkutan umum untuk berangkat dan pulang kerja. Kebijakan ganjil genap untuk kendaraan milik pribadi mengakibatkan mereka yang tidak memiliki dua kendaraan harus naik bus, kereta, MRT, ataupun angkutan kota. Fasilitas antar-jemput oleh kantor jarang ditemukan karena banyak perusahaan mengaku tidak mampu menyediakannya.
”Menunggu pekerja mengutarakan protes kepada manajemen bukan solusi. Pemerintah pusat dan daerah bisa menurunkan pengawas yang rutin datang melihat dan memastikan setiap tempat kerja menegakkan kedisiplinan protokol,” kata Timboel.
Petugas dari dinas ketenagakerjaan dan sejumlah lembaga terkait bisa menjadi personel yang datang memeriksa perkantoran. Ia menambahkan, bisa pula dipertimbangkan untuk membuka piket kerja pada hari Sabtu dan Minggu. Cara ini bisa memecah kepadatan yang terjadi pada hari kerja reguler.
Sebelumnya, Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Diana Dewi menerangkan bahwa 60 persen perusahaan di Jakarta bergerak di sektor strategis yang semasa PSBB mendapat pengecualian serta tetap bisa beroperasi penuh. Kantor-kantor ini memiliki banyak pekerjaan yang belum bisa dilakukan dari jarak jauh karena berkenaan dengan operasional permesinan ataupun pelayanan tatap muka.
Pada kesempatan berbeda, ekonom pakar ketenagakerjaan dari Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, pandemi menggenjot kebutuhan bagi perusahaan, terutama di Jakarta dan sekitarnya, untuk memanfaatkan teknologi digital.
”Pekerjaan manual yang dilakukan oleh pekerja blue collar, seperti petugas kebersihan dan keamanan, bisa diteruskan secara luring. Namun, pekerjaan seperti administrasi dan akuntansi bisa dialihkan ke digital. Caranya dengan meningkatkan kompetensi sumber daya manusia di bidang itu untuk menguasai program komputer yang bisa membantu mereka,” tuturnya.
Ia mengingatkan kepada perusahaan bahwa investasi di teknologi dan pelatihan pekerja bukan biaya, melainkan investasi. Sakit adalah biaya dan kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan.
Terhitung hingga Selasa sesuai data di situs https://corona.jakarta.go.id/id, ada 7.648 kasus positif di Jakarta dan total se-Indonesia 22.909 kasus. Untuk nasional, tingkat kesembuhan 62,8 persen, persentase kasus positif 5,5 persen, dan tingkat kematian 3,8 persen.
Di Jakarta, kluster penularan beragam, mulai dari kluster komunitas, permukiman padat, kegiatan ibadah, hingga perkantoran. Hingga akhir Juli, ada 90-an kluster perkantoran dengan 450-an kasus.
Terus naik
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Tangerang Selatan, Selasa, ada penambahan 10 kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Dengan penambahan 10 kasus baru tersebut, jumlah kasus terkonfirmasi positif di Tangsel kini menjadi 582 kasus. Adapun korban meninggal yang terkonfirmasi positif sebanyak 39 orang, bertambah satu orang dari hari sebelumnya.
Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany mengakui terjadi peningkatan jumlah kasus Covid-19 secara akumulasi hingga akhir Juli 2020. Menurut Airin, penambahan kasus Covid-19 di wilayahnya rata-rata disebabkan kasus dari luar. Artinya, ada warga luar atau warga Tangsel yang kembali dari luar daerah dan membawa virus.
Upaya pencegahan yang dilakukan Pemerintah Kota Tangsel sejauh ini sebatas pada mengedukasi dan menyosialisasikan protokol kesehatan kepada masyarakat tanpa diiringi sanksi tegas seperti denda.
Sementara Pemkot Bogor, Jawa Barat, mengikuti Kota Bekasi, memperpanjang PSBB proporsional praadaptasi kebiasaan baru hingga 3 September. Wali Kota Bima Arya mengatakan, berdasarkan data Gugus Tugas Covid-19, kasus positif mencapai 301 kasus. Kenaikan itu, kata Bima, terjadi karena kedisiplinan protokol kesehatan dan kekhawatiran warga mulai menurun.
”Saya membaca satu situasi yang sangat mengkhawatirkan. Kasus positif naik, tetapi kekhawatirannya menurun dan kedisiplinan menurun. Ini yang sangat berbahaya,” ujar Bima.