Perpanjangan PDBB tak ada artinya jika implementasi kebijakan protokol kesehatan tak dijalankan secara serius.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kota Bogor kembali memperpanjang pembatasan sosial berskala besar atau PSBB proporsional praadaptasi kebiasaan baru hingga 3 September 2020. Dalam perpanjangan PSBB kali ini, pemerintah diminta benar-benar mampu mengimplementasikan aturan protokol kesehatan hingga semua lapisan masyarakat tanpa kecuali.
Kebijakan perpanjangan PSBB proporsional praadaptasi kebiasaan baru (pra-AKB) itu tertuang dalam Surat Keputusan Wali Kota Bogor Nomor 900.45-552 Tahun 2020. ”Perpanjangan keenam pemberlakuan PSBB proporsional pra-AKB dalam penanganan Covid-19 di Kota Bogor terhitung 4 Agustus hingga 3 September 2020,” kata Wali Kota Bogor Bima Arya, Selasa (4/7/2020).
Berdasarkan evaluasi dan informasi penanganan Covid-19 di Kota Bogor, pelaksanaan PSBB sebelumnya menunjukkan angka penyebaran yang fluktuatif dan belum ada pengurangan secara signifikan. Oleh karena itu, Kota Bogor melanjutkan PSBB proporsional praadaptasi kebiasaan baru dengan menerapkan protokol kesehatan.
Saya membaca satu situasi yang sangat mengkhawatirkan. Kasus positif naik, tetapi kekhawatirannya menurun dan kedisiplin menurun. Ini yang sangat berbahaya. (Bima Arya)
Bima mengatakan, kasus konfirmasi positif Covid-19 di Kota Bogor terus bertambah. Berdasarkan data Gugus Tugas Covid-19, kasus positif mencapai 301 kasus. Kenaikan kasus tersebut terjadi karena kedisiplinan protokol kesehatan dan kekhawatiran warga mulai menurun.
”Saya membaca satu situasi yang sangat mengkhawatirkan. Kasus positif naik, tetapi kekhawatirannya menurun dan kedisiplin menurun. Ini yang sangat berbahaya,” ujarnya.
Bima mengatakan, naiknya jumlah kasus konfirmasi positif di Kota Bogor merupakan salah satu indikator menuju puncak Covid-19. Saat ini Kota Bogor menghadapi situasi sejumlah kluster persebaran Covid-19 di kluster keluarga, luar kota, fasilitas kesehatan, hingga kluster perkantoran.
Sulitnya menekan kasus penularan salah satunya karena Kota Bogor sebagai daerah yang terintegrasi ke Jakarta dan daerah sekitarnya. Meski hal itu sulit, Pemkot Bogor terus berupaya meningkatkan kewaspadaan.
Sementara itu, Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan, PSBB proporsional Pra-AKB keenam memberikan proporsi untuk menggerakkan ekonomi rakyat yang sejauh ini sangat terdampak karena pandemi Covid-19.
Dedie mengatakan, kesadaran kedisiplinan protokol kesehatan dan keterlibatan masyarakat akan semakin ditingkatkan. Mengerakkan ekonomi harus sejalan dengan protokol kesehatan secara maksimal.
”Aspek kesehatan tetap harus diperhitungkan dan diperhatikan, tetapi ekonomi juga penting. Untuk itu, kami sedang menyiapkan petunjuk teknis terkait pengetatan protokol kesehatan agar fokus aspek kesehatan dan ekonomi bisa berjalan,” tuturnya.
Untuk menunjang penegakan aturan dan pengetatan protokol kesehatan, sudah terbit Pergub Nomor 60 Tahun 2020 tentang Pengenaan Saksi Administrasi terhadap Pelanggaran Tertib Kesehatan. Dari pergub tersebut, Pemkot Bogor menurunkan Peraturan Wali Kota Nomor 64 Tahun 2020 untuk mengimplementasikan aturan pengetatan protokol kesehatan berupa operasi razia terhadap pelanggar protokol kesehatan yang menyasar seluruh lapisan masyarakat.
”Saat razia ada teguran lisan, denda Rp 100.000 hingga Rp 1,5 juta hingga penutupan tempat usaha atau pencabutan izin. Dari perwali, kami akan menyusun langkah teknis razia dari perwali itu. Sementara kami sosialisasikan dulu aturan pengetatan protokol kesehatan,” kata Dedie.
Tidak implementatif
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan, berulang kali kebijakan perpanjangan PSBB proporsional pra-AKB di Bodebek dan PSBB transisi di Jakarta tidak menghasilkan dampak penurunan jumlah kasus Covid-19. Perpanjangan PSBB justru meningkatkan risiko penularan.
Trubus menilai, pemerintah tidak paham dan tidak memaknai PSBB sebagai upaya memutus mata rantai penularan dan penyebaran Covid-19. Aturan yang dibuat pemerintah pusat, provinsi, dan daerah tidak aplikatif dan tidak implementatif sampai ke bawah.
Data dan fakta lapangan berdasarkan tim Gugus Tugas Covid-19 di masing-masing daerah menunjukan tingkat peningkatan epidemiologi, seperti kasus meninggal, ODP, OTG, dan PDP. Begitu pula dengan tingkat penularan dengan muncul kluster baru.
”Data fakta lapangan tidak menjadi cermin pemerintah melakukan langkah strategis untuk penanganan pandemi. Kenaikan kasus tidak tertangani, penanganan seperti bersifat di atas kertas, di lapangan implementasi aturan sangat kurang. Implementasi kebijakan harus dijalankan secara serius, harus sampai bawah,” katanya.
Ironisnya, lanjut Trubus, kasus positif juga banyak dari kalangan terdidik atau kelas menengah karena keabaian protokol kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa hanya menyorot kepatuhan protokol kesehatan di masyarakat kelas menengah ke bawah rendah.
”Tidak bisa menyalahkan masyarakat. Semuanya lapisan bisa kena. Masyarakat itu mengikuti aturan pemerintah, sementara aturan pemerintah tidak jelas dan justru buat bingung masyarakat. Pemerintah buat aturan, tapi tidak mereka jalankan. Keabaian warga itu karena ketidakjelasan dan ketidaktegasan pemerintah,” lanjut Trubus.