Terpaksa Berimpitan di Dalam Angkutan
Warga Jakarta dihadapkan pada pilihan sulit saat pembatasan kendaraan diberlakukan lagi. Pengguna angkutan umum kemungkinan bakal makin banyak sehingga upaya menjaga jarak antarorang sulit dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS — Hampir lima bulan pandemi Covid-19 belum terkendali. Alih-alih mencegah kegiatan di luar ruangan, warga justru terjebak pada situasi sulit. Mereka kerap terjebak pada kepadatan penumpang di angkutan umum. Perjalanan dengan kendaraan pribadi pun belum tentu lancar pada jam berangkat dan pulang kerja.
Situasi ini terjadi bersamaan dengan berlakunya pembatasan kendaraan dengan pelat nomor ganjil dan genap di 25 ruas jalan pada Senin (3/8/2020). Sosialisasi aturan yang baru berlaku mulai Senin, sejumlah kepadatan di jalan dan moda angkutan umum juga terus terjadi.
Raka (29) merasa khawatir saat berada di Halte Bus Transjakarta Cawang, Jakarta Timur. Senin pagi tadi, desakan penumpang bus yang mengantre menuju pusat kota seakan tidak terelakkan. Sekitar pukul 09.30, puluhan warga yang mengantre di tiap koridor halte membuatnya tampak tertegun.
Pekerja kantoran di bilangan Semanggi, Jakarta Pusat, ini tak bisa menjaga jarak saat berada di antrean bus rute PGC-Grogol. Alhasil, dia berusaha untuk tidak menyentuh interior di dalam bus bernomor koridor 9A tersebut.
Baca juga: Kebijakan Ganjil Genap Berisiko Picu Penularan
Seiring bus bertolak dari halte semula hingga ke halte selanjutnya, penumpang yang tadinya dibatasi sekitar 20 orang kemudian bertambah hingga membeludak. Setelah melewati empat halte, setidaknya ada penambahan sekitar tiga sampai empat orang di setiap perhentian. Bus itu lantas menjadi sangat padat karena diisi penumpang dengan jumlah lebih dari 30 orang.
Saat itu tidak ada jaga jarak minimal satu meter di antara penumpang. Raka pun berkeras untuk tidak bersenggolan dengan penumpang lain, tetapi tidak mampu menahan diri di tengah desakan dalam bus. ”Sejujurnya sudah sejak berbulan-bulan lalu kondisinya seperti ini, tetapi sepertinya masa kepadatan penumpang semakin lama saat berlakunya ganjil genap,” ujar Raka, yang hari ini sengaja berangkat terlambat demi menghindari situasi padat di bus.
Penumpang angkutan umum tidak mudah menghadapi situasi ini. Seiring berlakunya pembatasan dengan sistem ganjil genap, bepergian dengan kendaraan pribadi harus menyesuaikan tanggal dengan nomor kendaraan. Sementara itu, jika memilih angkutan umum, penumpang harus siap dengan kepadatan antarorang. Pada kondisi itu, jarak fisik antarpenumpang tidak lagi ideal seperti anjuran ahli kesehatan sehingga risiko penularan virus korona baru penyebab Covid-19 makin besar.
Karena dilema itu, Ika Safitri (26) turut dilanda ketidakmampuan menghindari kepadatan penumpang di bus koridor 5C rute PGC-Harmoni. Saat perjalanan, upaya menjaga jarak kerap terabaikan ketika ada antrean di halte tertentu. Saat sampai di Halte Kampung Melayu, misalnya, tidak ada petugas yang membatasi jumlah penumpang di bus.
Baca juga: Angkutan Umum Tambah Frekuensi Layanan Selama PSBB Transisi
Ika yang masuk kantor lima hari dalam sepekan sejak Juli silam mengkhawatirkan situasi ini semakin parah saat pembatasan kendaraan ganjil genap. ”Ini saja kalau padat sudah hampir enggak bisa gerak. Kalau bisa dibatasi secara tegas di bus itu jumlah penumpangnya berapa, jadi masih bisa jaga jarak,” tutur pegawai bidang pemasaran yang berkantor di Mangga Besar, Jakarta Barat, ini.
Sebagian penumpang bahkan geram dengan kepadatan di bus yang tidak tertata dengan baik saat perjalanan. Saking kesalnyab Sumardjo (50), akademisi yang juga penumpang bus, saat itu sempat marah dengan antrean penumpang di sebuah halte saat menuju Grogol, Jakarta Barat.
”Pak, Bu, mana social distancing-nya, jaga jaraknya. Mas (petugas), tolong dong dibantu, diawasi agar penumpangnya engga berdesakan di bus. Katanya protokol Covid-19,” ucap pengajar perguruan tinggi swasta di bilangan Jakarta Barat itu.
Wanti-wanti
Kepadatan di angkutan umum sebenarnya telah diantisipasi Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko. Menurut Tri, moda angkutan umum berpotensi besar menjadi kluster penularan Covid-19 karena terjadinya perjumpaan berbagai macam orang. Saat ada kerumunan, pembatasan sosial juga kerap terbengkalai.
”Saya khawatir kepadatan di bus dan kereta saat ini adalah pemicu penularan, hanya mungkin tidak sepenuhnya terdeteksi karena mobilitas di sana terjadi dengan cepat. Kluster penularan di kantor dan tempat lainnya, bisa jadi juga terjadi karena sebelumnya warga mengakses angkutan umum,” ungkap Tri.
Tri menekankan, sudah semestinya ada pembatasan mobilitas warga di tengah situasi pandemi. Warga perlu dicegah untuk bepergian, kalau bisa dengan cara mengetatkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Baca juga: Protokol Ketat Syarat Mutlak PSBB Lanjutan
Kepala Dinas Perhubungan Syafrin Liputo menjelaskan, pembatasan kendaraan dengan skema nomor ganjil genap adalah upaya untuk mengerem mobilitas warga selama pandemi. Minggu (2/8/2020) kemarin, dia menegaskan, kebijakan ganjil genap adalah salah satu instrumen untuk menekan mobilitas warga di masa PSBB transisi.
”Dengan pertimbangan munculnya kluster penularan baru dan kepadatan kendaraan di jalan yang semakin ramai, ganjil genap ini kembali berlaku. Namun, perlu diingat, ganjil genap ini bukan satu-satunya kebijakan. Seluruh kebijakan sedang disandingkan untuk menekan mobilitas orang, mulai dari angkutan umum hingga kebijakan bekerja dari rumah,” ungkap Syafrin dalam siaran Kompas TV, Minggu malam.
Direktur Eksekutif Institute Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menyatakan, penerapan kebijakan ganjil genap saat pandemi Covid-19 dinilai tidak tepat. Apabila ganjil genap berlaku, otomatis akan terjadi penambahan keterisian penumpang atau load factor (LF) sekitar 30-50 persen. Dampaknya adalah terjadi peningkatan kepadatan di moda angkutan umum.
Jika dipaksakan, upaya untuk menjaga jarak antarpenumpang bisa gagal. Kemungkinan adanya peningkatan jumlah penumpang karena peralihan dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum harus segera diantisipasi sejak dini.
”Jangan selalu di hilir, khususnya di sektor transportasi selalu dianggap titik penyebaran Covid-19 dan menjadi kluster baru jika memang tiada ruang lagi untuk physical distancing. Mengingat kita belum mencapai puncak pandemi atau belum ada tren penurunan, pemberlakuan ganjil genap ini adalah gambling kesehatan publik jika terpaksa menggunakan angkutan umum massal,” kata Deddy.
Baca juga: Ganjil Genap Berlaku Senin, Karyawan Waswas
Sejumlah antisipasi, menurut Deddy, tetap bisa dilakukan dengan menyediakan angkutan alternatif bagi penumpang. Misalnya, dengan memanfaatkan bus bantuan khusus hari Senin pada pagi hari dari Pemprov DKI (bus sekolah), bus BPTJ, dan bus Damri untuk opsi kepadatan di Stasiun Bogor dan Bojonggede. Namun, sarana bus yang tersedia masih kurang banyak karena mesti menerapkan protokol kesehatan jaga jarak minimal 1 meter.
”Persoalan ini idealnya juga menjadi tanggung jawab pemda setempat dalam mengatur pergerakan warganya jika akan bekerja. Sebaiknya Pemkot Bogor dan Pemkab Bogor mengadakan bus-bus juga untuk transportasi warganya jika mau bepergian/bekerja ke Jakarta untuk mendukung new normal (kebiasaan baru),” kata Deddy.
Tri Yunis Miko menekankan, orkestrasi kebijakan antara menekan mobilitas dan pembatasan di kota harus berjalan beriringan. Intinya, warga harus sadar untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat, pemerintah pun berperan mengingatkan dengan tegas penerapan protokol yang ada.
”Perlu dipahami juga, pembatasan mobilitas warga adalah bagian dari upaya mencegah penularan. Pemerintah perlu mengawasi agar semua kebijakan berjalan seiring. Kalau warga dibatasi bepergian ke kantor, pastikan juga kantor-kantor pekerja ini menerapkan kebijakan bekerja dari rumah. Jangan pula nanti mereka yang menjadi susah karena aturan tidak sejalan,” ujar Tri.