Otak-atik Otak Hadapi Ganjil Genap
Ganjil genap kembali diberlakukan, Senin (3/8/2020). Warga yang mesti keluar rumah untuk bekerja harus memutar otak demi mendapatkan moda transportasi teraman di tengah pandemi Covid-19.
Yulvia Chrisdiana (31) meradang ketika mengetahui kebijakan ganjil genap nomor kendaraan bermotor untuk mobil diberlakukan lagi. Warga Kota Bekasi, Jawa Barat, ini mencemaskan nasib ibunya yang menjadi tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta.
Pada Senin (3/8/2020) ini, ia nekat masuk Jakarta untuk mengantar ibunya dengan mengendarai mobil pelat nomor berakhiran genap. Ia mengetahui bahwa selama tiga hari ke depan, kebijakan ganjil genap masih dalam tahap sosialisasi. Dengan demikian, belum ada penilangan bagi pelanggar.
”Gue berangkatnya subuh, pukul 05.00, enggak ketemu polisi juga di jalan. Mungkin masih apel,” katanya, ketika dihubungi dari Jakarta.
Baca juga : Ganjil Genap Belum Genapi Pendapatan Pengojek
Ibu Yulvia tidak bisa mengendarai mobil. Dia dan ayahnya bergantian menyopiri ibunda ke Jakarta. Jika keduanya berhalangan, sang ibu naik mobil minibus yang mengetem di dekat Gerbang Tol Bekasi Timur. ”Tetapi, mobil itu kan berpelat hitam, gue yakin bakal kena ganjil genap juga,” katanya.
Selain mobil minibus di pintu tol, pemerintah juga menyiapkan bus sekolah untuk mengangkut tenaga kesehatan yang berdomisili di luar Jakarta. Namun, jadwal bus ini hanya melayani tenaga kesehatan dengan keberangkatan sif pagi dan sif siang. Sementara itu, tidak ada jadwal bus untuk ibunya yang masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 15.30.
Pilihan lain menggunakan bus Mayasari Bakti atau kereta rel listrik. Yulvia tidak menganjurkan ibunya naik angkutan umum itu lantaran berisiko tertular Covid-19. ”Mayasari Bakti kalau pagi-pagi itu dempet-dempetan, apalagi KRL, aduh,” katanya.
Harapan terakhir ada pada bus transjakarta. Sayangnya, kata Yulvia, transjakarta rute Juanda-Bekasi Timur tidak beroperasi sejak pandemi Covid-19.
”Kalaupun kebijakan ganjil genap diterapkan, solusinya harus ada dong. Paling tidak, akses angkutan umum jangan dibatasi. Ini bus transjakarta saja enggak ada. Atau kasih pengecualian bagi tenaga kesehatan yang menggunakan mobil pribadi. Dikasih stiker atau apa gitu, yang menandakan bahwa penumpangnya tenaga medis,” katanya lagi.
Baca juga : Ganjil Genap Tak Selesaikan Masalah Tingginya Mobilitas Warga Saat PSBB Transisi
Dihubungi terpisah, Kepala Divisi Sekretaris Korporasi dan Humas PT Transjakarta Nadia Disposanjoyo menjelaskan, Transjakarta B 22 jurusan Bekasi Timur-Juanda belum beroperasi. ”Kami masih menunggu aba-aba dari Pemprov DKI. Kalau semua dibuka, khawatirnya tidak bisa menekan penularan virus korona baru. Status sekarang, kan, masih PSBB transisi,” ujarnya.
Terkait pengecualian kebijakan ganjil genap bagi tenaga medis, Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo menjelaskan, polisi bisa memberikan diskresi. Hal ini diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2019 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil Genap.
Pasal 4 Ayat 1 Huruf M menyatakan, pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil genap tidak diberlakukan untuk kendaraan untuk kepentingan tertentu dengan pengawalan dan/atau sesuai asas diskresi petugas Polri. ”Untuk proses identifikasi di lapangan, bisa dengan menunjukkan ID dan surat tugas,” katanya.
Rina, pegawai di salah satu lembaga pemerintah yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta, merasa sangat terbantu ketika Pemprov DKI meniadakan kebijakan ganjil genap. Ia bisa mengendarai mobil pribadi dari rumahnya di Ciledug, Tangerang, Banten, ke Jakarta. Dengan demikian, dia bisa terbebas dari angkutan umum yang berpotensi menimbulkan kerumunan.
Baca juga : Karyawan Belum Semua Beraktivitas di Kantor
Di kantornya, belum ada pembicaraan tentang penyesuaian pelat nomor pegawai dengan hari bekerja di kantor. Namun, ia sudah pesimistis dengan solusi ini. ”Bisa jadi jumlah pegawai yang memiliki nomor kendaraan ganjil dan genap jumlahnya tidak persis 50:50, nah pasti sulit juga menyesuaikan sifnya,” katanya ketika dihubungi.
Di sisi lain, Rina menilai ganjil genap tak akan efektif jika pengguna mobil pribadi menghindari jalur ganjil genap dengan mencari jalan alternatif. Walhasil, ganjil genap terkesan hanya memindahkan kemacetan dari jalan yang terkena aturan ganjil genap ke jalan lain.
”Kalau buat aku, mending tetap aman bawa mobil tapi macet menghindari ganjil genap daripada berisiko berdesakan di kendaraan umum. Risiko tertular virus korona baru jadi dua kali lipat, di kantor dan di bus/kereta. Pemerintah semestinya juga mempertimbangkan ini,” ujarnya.
Pakai angkutan umum
Pemberlakuan kembali aturan ganjil genap juga memaksa Usman (57), wiraswasta asal Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, bepergian menggunakan bus transjakarta pada Senin siang. Pasalnya, mobil yang ia miliki berpelat nomor genap.
Baca juga : Kluster Perkantoran di DKI Sumbang Penambahan Kasus di Tangerang
Padahal, penyedia jasa event organizer (EO) ini harus bertemu dengan beberapa kliennya di lokasi yang berbeda-beda siang itu. Setelah bertemu klien di bank di Kuningan, misalnya, ia harus bertemu dengan klien lain di Cipayung, Jakarta Timur. ”Pekerjaan saya memang menuntut mobilitas tinggi setiap hari, dari satu klien ke klien lain,” katanya saat ditemui di sekitar halte bus transjakarta GOR Sumantri, Kuningan, Jakarta Selatan.
Bus transjakarta adalah angkutan umum yang paling memungkinkan untuk dia akses saat ini. Jika akses bus tidak memungkinkan ke lokasi tujuan, alternatif moda transportasi yang bisa dia andalkan adalah ojek daring atau taksi daring.
Usman mengaku masih sangat khawatir dengan potensi penularan di angkutan umum. Semua penumpang rata-rata sudah memakai masker. Akan tetapi, masih sangat sulit mengatur jarak antarpenumpang di halte dan bus transjakarta.
Di Halte Mampang Prapatan, misalnya, Usman terpaksa harus bersenggolan dengan penumpang lain. Beberapa dari mereka bahkan tidak mengenakan jaket atau kaos berlengan panjang.
Kapasitas halte tersebut, menurutnya, tidak sebanding dengan jumlah penumpang yang menunggu bus. ”Saya khawatir sekali ya. Apalagi kalau di Halte Mampang Prapatan itu tempatnya sempit. Saya sering lewat halte itu,” ujarnya.
Usman berharap aturan ganjil genap dapat dikaji ulang. Sebab, pada masa pandemi saat ini, penggunaan mobil pribadi cukup krusial menekan penularan Covid-19. Menurut dia, orang-orang yang menggunakan mobil pribadi kebanyakan memiliki keperluan mendesak.
”Saya pikir, orang-orang yang enggak perlu-perlu amat enggak akan keluar kok. Misalnya, beberapa kali anak saya minta jalan-jalan ke mal, tapi belum bisa saya turuti kalau tidak penting-penting amat,” katanya.
Sementara itu, Timothy (30), karyawan swasta asal Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat, memilih menggunakan sepeda motor menuju tempat kerjanya di kawasan Gunung Sahari, Jakarta. Sebelumnya, ia selalu menggunakan mobil pribadi selama pandemi Covid-19.
”Kalau tanggal ganjil berarti saya harus naik sepeda motor. Kalau tanggal genap pasti saya naik mobil,” katanya.
Menurut Timothy, dibukanya kembali aturan ganjil genap tidak banyak memberi berpengaruh terhadap pengendalian Covid-19 di angkutan umum. Sebab, akhir-akhir ini ia mengamati protokol kesehatan sangat sulit diterapkan di banyak tempat.
Ia beruntung, saat ini kantornya masih menerapkan sistem kerja terbatas. Setiap hari, setidaknya hanya ada 30 persen karyawan yang bekerja dari kantor. Sisanya diminta bekerja dari rumah.
”Pihak kantor juga masih mengimbau karyawan-karyawan sebisa mungkin menghindari kendaraan umum,” katanya.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho berpendapat, pemberlakuan kebijakan ganjil genap di tengah kasus positif Covid-19 yang terus bertambah merupakan keputusan terburu-buru. Menurut dia, kemacetan di jam sibuk dan kepadatan penumpang di angkutan umum disebabkan oleh ketidakpatuhan instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta dalam membatasi jumlah pegawai yang harus masuk bekerja.
”Jadi yang harus dibatasi adalah jumlah pelaju yang berangkat dan pulang kerja ke Jakarta. Itu hanya mungkin dilakukan jika pemprov secara tegas membatasi jumlah pegawai dari instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta yang bekerja di Jakarta,” ujarnya, dalam keterangan tertulis.
Dia melanjutkan, memberlakukan ganjil genap tanpa pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga, dan perusahaan yang melanggar hanya akan mengalihkan para pelaju dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum.