Penerapan ganjil genap merupakan pilihan lain selain kembali ke PSBB awal yang serba ketat.
Oleh
Helena F Nababan
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai Senin (3/8/2020), Dinas Perhubungan DKI Jakarta menerapkan kembali kebijakan ganjil genap di 25 ruas jalan di Ibu Kota sebagai upaya membatasi pergerakan orang. Namun, sejumlah kalangan menilai cara itu kurang tepat karena justru mendorong peningkatan kepadatan di angkutan umum yang mengganggu penerapan protokol kesehatan di angkutan umum.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Minggu (2/8/2020), di kawasan Bundaran Hotel Indonesia menjelaskan, kebijakan ganjil genap diterapkan kembali pada masa PSBB transisi sesuai hasil evaluasi volume kendaraan dan kinerja lalu lintas di sejumlah ruas jalan Ibu Kota. Sejumlah titik yang menjadi area pantau dan evaluasi, seperti di areal Cipete, sebelum pandemi berlangsung, kondisi lalu lintasnya sekitar 74.000 kendaraan per hari. Saat ini angka itu sudah terlampaui menjadi 75.000 kendaraan per hari.
Di kawasan Senayan, yaitu Jalan Sudirman, rata-rata volume lalu lintas sebelum pandemi sekitar 127.000 per hari. Saat ini kondisi itu terlampaui menjadi 145.000 per hari.
Atas kondisi ini, terlihat upaya Pemprov DKI Jakarta untuk tetap menjaga agar tidak terjadi kepadatan di perkantoran belum efektif berjalan. Di dalam Pergub No 51/2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif, Syafrin menjelaskan, sudah disebutkan bahwa dalam situasi tertentu ada dua emergency break atau kebijakan darurat yang bisa diterapkan Pemprov DKI Jakarta. Pertama dengan ganjil-genap dan yang kedua kembali ke pelaksanaan PSBB.
Kemudian, lanjut Syafrin, perlu dipahami bahwa sejak pemberlakuan surat izin keluar masuk (SIKM) Jakarta ditiadakan pada 14 Juli, instrumen pembatasan pergerakan orang di Jakarta itu otomatis tidak ada lagi. Oleh karena itu, kebijakan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil genap menjadi satu instrumen Pemprov DKI Jakarta untuk membatasi pergerakan masyarakat.
Dasar hukum penerapan kebijakan ganjil genap itu, jelas Syafrin, adalah Pergub No 88/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur No 155/2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil Genap. Pembatasan lalu lintas sesuai pelat nomor itu akan kembali berlaku di 25 ruas jalan. Periode waktunya dibagi dalam dua periode waktu sibuk, jam sibuk pagi pada pukul 06.00 sampai 10.00 pagi. Kemudian sore hari pukul 16.00 sampai jam 21.00.
Tilang pelanggaran
Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, di lokasi yang sama menambahkan, dengan penerapan kembali kebijakan ganjil genap yang sudah ditiadakan sejak Maret 2020 atau sejak awal pandemi Covid-19, kepolisian dan dinas perhubungan akan kembali melakukan sosialisasi. Kegiatan sosialisasi dimulai pada Minggu (2/8/2020) hingga Rabu (5/8/2020).
Untuk penindakan pelanggaran ganjil genap akan mulai dilakukan Kamis (6/8/2020). ”Penindakan dilakukan dengan melakukan tilang mulai Kamis 6 Agustus,” ujar Sambodo Purnomo Yogo.
Sambodo menjelaskan, selama masa sosialisasi, petugas kepolisian dan Dishub DKI Jakarta akan memberhentikan warga yang melanggar ganjil genap dan akan diberikan teguran. Sementara mulai Kamis, katanya, penindakan tilang akan mulai diberlakukan baik secara manual dan tilang elektronik (e-TLE).
Kurang tepat
Secara terpisah, Deddy Herlambang, Direktur Eksekutif Institute Studi Transportasi (Instran), menyatakan, penerapan kebijakan ganjil genap saat pandemi Covid-19 dinilai tidak tepat. Saat ini angka kasus terus meningkat.
Deddy meyakini, jika ganjil genap diterapkan, otomatis publik akan kembali menggunakan angkutan umum massal. Di sisi lain, angkutan umum massal juga masih dibatasi keterisiannya atau keterangkutannya. Saat ini moda MRT, KRL, dan Transjakarta yang ada di Jakarta telah nyaman sesuai protokol kesehatan untuk dengan load factor (LF) 30-50 persen.
Jika ganjil genap berlaku, LF bisa lebih dari 50 persen karena pengguna kendaraan pribadi akan beralih mengunakan angkutan umum massal. Jika hal ini dipaksakan, pengondisian jaga jarak antarpenumpang sesuai arahan satuan tugas Covid-19 akan gagal.
Bagi golongan masyarakat mampu, Deddy melanjutkan, rekayasa ganjil genap bukan masalah. Mereka dapat membeli mobil lagi sesuai nomor polisi ganjil genap yang dikehendaki atau beli kendaraan roda dua baru. ”Tentunya tidak semua golongan masyarakat kita mampu membeli mobil lagi dan beli kendaraan roda dua. Yang tidak mampu, mereka inilah yang bakal menggunakan angkutan massal, seperti MRT, KRL, dan BRT,” katanya.
Prediksi peningkatan jumlah penumpang karena peralihan dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum, lanjut Deddy, harus diantisipasi sejak dini. ”Jangan selalu di hilir, khususnya di sektor transportasi selalu dianggap titik penyebaran Covid-19 dan menjadi kluster baru jika memang tiada ruang lagi untuk physical distancing. Mengingat kita belum mencapai puncak pandemi atau belum ada tren penurunan, pemberlakuan ganjil genap ini adalah gambling kesehatan publik jika terpaksa menggunakan angkutan umum massal,” katanya.
Sejumlah antisipasi, menurut Deddy, bisa dilakukan. Pemda yang dilewati KRL semestinya ikut bertanggung jawab menyediakan angkutan alternatif bagi penumpang.
Sebenarnya telah ada bus bantuan khusus hari Senin pada pagi hari dari Pemprov DKI (bus sekolah), bus BPTJ, dan bus Damri untuk opsi kepadatan di Stasiun Bogor dan Bojonggede. Namun, sarana bus yang tersedia masih kurang banyak karena masih ada penerapan protokol kesehatan jaga jarak minimal 1 meter.
”Persoalan ini idealnya juga menjadi tanggung jawab pemda setempat dalam mengatur pergerakan warganya jika akan bekerja. Sebaiknya Pemkot Bogor dan Pemkab Bogor mengadakan bus-bus juga untuk transportasi warganya jika mau bepergian/bekerja ke Jakarta untuk mendukung new normal (kebiasaan baru),” kata Deddy.
Skenario yang lain yang bisa diterapkan adalah mengembalikan jadwal KRL/MRT dan BRT seperti semula (normal sebelum pandemi) untuk mengurai kepadatan di stasiun KRL dan halte BRT. Jika saat ini jam operasi KRL dibatasi sampai pukul 21.00 dan BRT pukul 22.00, lebih baik ditambah sampai pukul 23.30 untuk antisipasi jika ada yang bekerja sampai sif malam sebagai dampak pembagian jam kerja semasa pandemi.
”Skenario yang terakhir inilah yang sudah sering kita sampaikan bahwa yang terpenting adalah atur hulu, bukan di hilir. Di hilir, di sektor transportasi semua sarana dan prasarana terbatas, kapasitas tidak akan bisa ditambah langsung 50 persen. Makanya khusus masa pandemi ini sangatlah paradoks apabila ganjil genap diterapkan, sementara angkutan umum massal masih sangat terbatas,” katanya.
Senada dengan Deddy, Anthony Winza, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), juga menilai kebijakan itu tidak tepat. ”Kebijakan ganjil genap bertujuan mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum di masa normal. Namun, di masa pandemi Covid-19, transportasi umum memiliki risiko tinggi. Oleh karena itu, kebijakan ganjil genap justru akan meningkatkan penyebaran virus,” katanya.
Itu sebabnya, lanjut Anthony, PSI DKI Jakarta menilai kebijakan untuk memberlakukan kembali ganjil genap itu kontraproduktif dengan upaya penanganan Covid-19.
Syafrin melanjutkan, terkait penerapan kebijakan itu, diharapkan ada penyesuaian dari seluruh perkantoran atau instansi atau lembaga dengan kendaraan yang dimiliki karyawannya. Ia mencontohkan, warga dengan kendaraan bernopol belakang ganjil, diharapkan yang bersangkutan meminta jadwal kerja dari rumah pada hari genap, lalu tanggal ganjil ke kantor.
”Ini upaya kita bersama. Dengan kebijakan ini kami sudah lakukan antisipasi terhadap potensi terjadinya shifting ke angkutan umum, di mana MRT, Transjakarta, dan LRT kami siapkan,” kata Syafrin.
Tujuan utamanya jelas, supaya seluruh warga tetap waspada terhadap pandemi Covid-19, tetap tinggal di rumah, tidak pergi untuk perjalanan yang tidak penting.