Berkorban untuk Bersama
Idul Adha bagi umat Islam mengandung nilai sarat makna. Melalui ibadah kurban di hari raya penyembelihan itu terpancar kesyukuran dan kepasrahan kepada Sang Khalik.
Idul Adha bagi umat Islam mengandung nilai sarat makna. Melalui ibadah kurban di hari raya penyembelihan itu terpancar kesyukuran dan kepasrahan kepada Sang Khalik. Sekaligus menyuburkan rohani keimanan agar menjadi insan penyebar amal saleh yang otentik bagi kemanusiaan semesta.Kesyukuran seorang hamba beriman merupakan kesadaran rohaniah terdalam atas anugerah Al-Kautsar. Sebagaimana firman Allah: ”Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS Al-Kautsar: 1-3).
Betapa kecil harga seekor hewan ternak bagi yang mampu jika dibandingkan dengan nikmat Tuhan yang tak terbilang.
Baca juga : MUI Imbau Shalat Idul Adha Perhatikan Zona Penyebaran Covid-19
Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan putra tercinta Ismail bahkan rela berkorban nyawa mengikuti perintah Tuhan hanya lewat sebuah mimpi. Meski, akhirnya perhambaan yang luhur itu diganti dengan seekor hewan kurban.
Itulah wujud ketaatan yang tulus kepada Allah dan membebaskan diri dari sangkar besi duniawi. Ketiganya membuktikan hakikat keberimanan yang hanif (otentik) melampaui rukun verbal keberagamaan.
Aktualisasi takwa
Berkurban tidak berhenti pada aktivitas fisik menyembelih hewan sesuai syariat. Tujuan utamanya menguji derajat ketakwaan, sebagaimana firman Allah, ”Daging-daging hewan itu dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (ke-ridha-an) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (QS Al Hajj: 37). Jika seekor hewan kurban saja berat untuk dikorbankan, di mana jiwa takwa orang beriman? Ibadah jangan berhenti pada titik rukun dan syiar belaka.Takwa merupakan puncak kerohanian tertinggi orang beriman yang hidupnya selalu dekat dengan Sang Khalik dan memproduksi segala kebajikan hidup bagi diri, sesama, dan lingkungan sekitar. Itulah jantung terdalam iman yang membuahkan kesalehan dan amal kebajikan yang menebar rahmatan lil-’alamin.
Baca juga: Tak Ada Mudik Idul Fitri, Mudik Idul Adha Pun Jadi
Iman yang membebaskan jiwa seperti itu menjadi proses dekonstruksi bagi egoisme beragama, sikap merasa paling bersih, dan kecenderungan takfiri yang boleh jadi masih bersemi dalam diri sebagian orang yang mengaku beriman.
Takwa merupakan jantung rohani profetik yang mencerahkan akal budi insan beriman yang memancarkan energi positif bagi sesama dan lingkungan. Dari takwa yang otentik lahir perangai damai, toleran, cinta sesama, lapang hati atas keragaman, dan mengutamakan budi luhur.
Amar makruf dan nahi mungkar pun diperankan dengan hikmah, edukasi, dan dialogis sesuai keutamaan dakwah. Bukan takwa jika sekadar indah di kata, sementara pikiran dan perangai jauh panggang dari api, seperti kebiasaan menghujat, memprovokasi, dan menyulut amarah yang menebar gaduh di ruang hidup bersama.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, jiwa takwa niscaya menghadirkan perilaku utama dari setiap elite dan warga negara. Teladan yang mengedepankan kata sejalan tindakan.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Berprinsip di atas kebenaran yang menyediakan ruang dialog dengan suluh ilmu dan hikmah. Menebar kebaikan, toleransi, dan menjunjung kepentingan bersama sebagai keadaban kolektif.
Bukan elite dan warga bangsa yang mengedepankan ego diri dan kroni, mencederai kebersamaan, merendahkan martabat satu sama lain, dan mengkhianati cita-cita luhur para pendiri negeri serta merusak masa depan Indonesia tercinta.
Dalam skala mikro berperilaku, di antara ciri bertakwa ialah ”orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali Imran: 134).
Dalam sabda Nabi, ciri orang beriman ialah yang mencintai sesama seperti mencintai dirinya (HR Bukhari & Muslim). Inilah sukma iman dan takwa sebagai nilai fungsional bermakna yang melampaui rukun formal beragama.
Baca juga: PBNU: Perhatikan Zona Penyebaran Covid-19 Saat Idul Adha
Di kala pandemi Covid-19 saat ini, dengan ijtihad berbasis takwa, ritual menyembelih hewan kurban dapat dikonversikan dananya untuk membantu sesama yang menderita. Tanpa perlu merasa kehilangan pahala dan nilai ibadahnya.
Alih fungsi ibadah kurban itu punya nilai kemanfaatan yang luhur dan relevan untuk membantu sesama di kala genting. Sekaligus penanda agama memberi solusi untuk pemecahan masalah kemanusiaan dan penyelamatan hidup bersama.
Rela bersama
Pengorbanan yang dilakukan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar melalui ibadah kurban boleh jadi dalam nalar Homo Deus Yuval Noah Harari yang cenderung positivistik, sulit dipahami. Apalagi apabila ditakar dari misi andalan manusia modern untuk mengalahkan kematian dan memberi manusia usia muda abadi sampai 500 tahun.
Islam lewat kasus kurban dari tiga kekasih Tuhan itu justru ingin memberikan pesan metafisik bahwa hidup dan mati itu bukan persoalan teknis, melainkan merupakan ranah profetik yang—meminjam istilah Kuntowijoyo— berdimensi transendensi, humanisasi, dan liberasi.
Ketika manusia kehilangan sukma dalam kehidupan (lost of soul), mereka memerlukan jalan cerah agama.
Hidup dan mati merupakan habitus sakral (suci penuh arti) sekaligus profan (duniawi yang berarti) yang harus dapat memberi makna bagi diri, sesama, dan lingkungan kehidupan di mana setiap insan beriman hidup.
Agama, tulis Peter L Berger, harus menjadi ”pelindung suci” (the sacred canopy) bagi kehidupan manusia yang mengalami ”chaos”. Ketika manusia kehilangan sukma dalam kehidupan (lost of soul), mereka memerlukan jalan cerah agama.
Agama dalam deklarasi Tanwir Muhammadiyah tidak lain sebagai risalah pencerahan untuk menerangi akal budi dan sistem kehidupan manusia di alam semesta.
Chaos dapat dimaknai sebagai hilangnya keteraturan, kedamaian, keadaban, dan arah hidup dalam diri manusia modern karena terlalu mendewakan—istilah Max Weber—nalar instrumental, sekaligus memuja materi.
Sehingga sesuatu yang metafisik dan tak terjangkau akal indrawi bukanlah ilusi dan magis, melainkan sebagaimana telaah Michael Polanyi sebagai ranah ”pengetahuan tak terjangkau” (tacit knowledge).
Justru insan modern perlu reorientasi akan makna hidupnya agar hidup dan mati tidak sekadar urusan teknis, yang kehilangan makna sejati. Bukankah manusia itu sejatinya berakal-budi, yang tidak dimiliki makhluk Tuhan lainnya.
Dalam konteks aktual, ibadah kurban di hari raya Idul Adha meniscayakan pemaknaan jiwa beragama sebagai jalan terang berbuat kebajikan yang melintasi dan membuat kehidupan bersama menjadi sarat makna, damai, dan saling memerlukan meski dalam keragaman.
Berkurban harus dimaknai sebagai kesediaan berbagi dalam memanfaatkan alam ciptaan Tuhan secara bersama.
Baca juga : Menag: Hari Raya Kurban Refleksi Ketakwaan
Tuhan menciptakan Al-Kautsar di dunia berupa alam semesta untuk dinikmati dan dimakmurkan bersama, bukan untuk segelintir orang yang tamak. Berhentilah tamak, meski banyak peluang untuk itu, karena kerakusan itu menghancurkan negeri dan kelangsungan hidup bersama.
Dalam kearifan Mahatma Gandhi, semesta ini akan penuh sesak hanya oleh seorang yang rakus. Ketamakan segelintir orang itulah yang menjadikan bumi dan tatanan kehidupan semesta hancur binasa (QS Al-Isra: 16).
Dari spirit berkurban dapat digelorakan altruisme kebangsaan. Altruisme berkarakter profetik yang menyenyawakan pesan langit dan bumi.
Perbanyak kebajikan yang dapat menyelamatkan saudara-saudara sebangsa dari derita. Jadikan misi keagamaan sebagai jalan pemberdayaan, pembebasan, dan pencerahan kemanusiaan semesta. Buktikan iman melahirkan cinta dan peduli sesama, bukan aura arogansi dan egoisme beragama. Bukankah Tuhan akan bersama para hamba-Nya, ketika hamba-hamba itu membela saudaranya (HR Ahmad).
Para aghniya, yakni mereka yang kaya dan pemangku takhta yang menguasai segala akses kehidupan dunia, melalui spirit berkurban terbuka jalan meraih Al-Kautsar apabila rela berbagi untuk sesama anak bangsa dan menyelamatkan nasib negeri.
Berhentilah haus materi dan kursi yang merugikan hajat hidup sesama. Ikuti suara kebenaran meski terdengar sayup-sayup, apalagi yang bergemuruh, agar akal budi tetap cerah dan hidup menjadi bermakna mengikuti jejak teladan Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar nan mulia. Relalah berkorban, demi menyelamatkan hidup bersama!
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah